Rabu, 20 November 2013

OTONOMI DAERAH ANCAMAN DISINTEGRASI




Desentralisasi merupakan salah satu alternatif untuk mengakomodasi perbedaan pandangan dan kepentingan dalam politik, sosial budaya maupun ekonomi, yang terjadi antara daerah dan pusat. Perbedaan wewenang untuk daerah tertentu dibatasi secara legal dalam hal keuangan dan pelayanan publik. Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian dalam praktik memang tidak mudah. Kondisi geografis, tingkat kesuburan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak merata, berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga dengan jumlah penduduk, kualitas intelektual, termasuk sebarannya juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi geografis dan demografi tersebut dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah dilaksanakan. Daerah mulai berbenah diri. Namun seperti diperkirakan sebelumnya, membawa masalah tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaklengkapan materi pengaturan sehingga membuat potential problem dalam pelaksanaannya. Meskipun UU tentang pemerintahan daerah ini telah mengalami beberapa revisi tetapi sampai saat ini masih dirasakan kurang lengkap dan kerancuan materi pengaturan tersebut jelas merupakan sebuah kondisi kekosongan dan kekacauan hukum. Kekurangan mendasar semacam ini dilihat dari perspektif  keamanan nasional sangat rentan mengingat kedudukan Gubernur mewakili pemerintah pusat dan status propinsi sebagai wilayah administratif menjadi tidak jelas.

  Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah Terhadap Stabilitas

Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, memang masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

a.         Masalah hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah.
Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dan berkedudukan sejajar dengan Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Pola pikir yang harus sama adalah sadar terhadap apa yang harus pertahankan, upayakan, yaitu integritas dan identitas bangsa serta berbagai upaya untuk memajukan dan mencapai tujuan bangsa. Pola sikap yaitu, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai kemampuan dan kontribusi seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang komprehensif, terkordinasi dan terkomunikasikan.

b.         Masalah Perimbangan Keuangan.
 Pada saat sekarang ini, banyak daerah yang mengeluh tentang tidak proporsionalnya jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima, baik oleh Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Banyak daerah yang DAU-nya hanya cukup untuk membayar gaji pegawai daerah dan pegawai eks kanwil, Kandep/Instansi vertikal di daerah. Disamping itu, kriteria penentuan bobot setiap daerah dirasakan oleh banyak daerah kurang transparan. Kriteria potensi daerah dan kebutuhan daerah tampaknya kurang representatif secara langsung terhadap pembiayaan daerah. Kemudian, pembagian bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan kurang mengikuti prinsip-prinsip pembiayaan yang layak yang sejalan dengan pemberian kewenangan Kepala Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti halnya dalam paradigma lama, melalui paradigma baru pun bagian daerah selalu jauh dari Sumber Daya Alam yang kurang potensial (seperti: perkebunan, kehutanan, pertambangan umum dan sebagainya), sedangkan disektor minyak dan gas alam, hanya mendapat porsi kecil. Bagian bagi hasil di bidang ini perlu diperbesar, sehingga daerah penghasil mendapat bagian yang proporsional sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi SDA tersebut.

c.         Perangkat Daerah.
Dengan bergesernya paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab difokuskan di daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi terbatas difokuskan di daerah Propinsi, kenyataan ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam tatanan organisasi Pemerintah Daerah. Dengan luasnya otonomi daerah di daerah kabupaten dan kota, mengharuskan daerah untuk melakukan restrukturisasi kelembagaan Pemerintah Daerah sesuai  dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yakni mulai perangkat desa yaitu unsur staf di lingkungan Pemerintah Daerah yang membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Perangkat daerah terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Lembaga Pengawasan Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah dan lain-lain. Hingga saat ini semua daerah otonomi telah melakukan langkah-langkah penyusunan dan perumusan kelembagaan dan organisasi perangkat desa, namun disayangkan langkah yang dilakukan daerah itu masih belum mampu sepenuhnya didasarkan pada bobot kewenangan yang akan dilaksanakan sesuai dengan karakteristik kemampuan dan kebutuhan daerah. Isu yang berkembang dalam rangka pengisian formasi perangkat daerah cenderung mengutamakan aspek kedaerahan yang kurang memperhatikan aspek kualitas profesional. Padahal salah satu syarat suksesnya penyelenggaraan otonomi daerah adalah dukungan sumber daya aparatur yang cakap dan profesional. Ada kekhawatiran di daerah dengan makin berkurangnya kewenangan Pusat dan Pemerintah Propinsi, berarti banyak Pegawai Negeri Sipil yang dialihtugaskan ke daerah kabupaten dan kota, Padahal kebijakan ini membuka kesempatan kepada daerah kabupaten dan kota untuk memilih dan/atau menyeleksi tenaga yang dimanfaatkan guna memenuhi pengisian formasi perangkat daerah yang sesuai kebutuhan daerah. Dengan demikian kekhawatiran itu tidak perlu terjadi karena kebijaksanaan tersebut tidak bersifat intervensi atau pemaksaan, tetapi didasari pada pertimbangan pada prinsip-prinsip keseimbangan, keserasian dan harmonisasi dalam rangka pemberdayaan sumber daya aparatur pemerintahan secara nasional.

d.         Keterbatasan Kemampuan Sumber Daya Manusia Aparatur Daerah.
Pada umumnya, Sumber Daya Manusia pada pemerintah daerah memiliki sumber informasi dan pengetahuan yang lebih terbatas dibandingkan dengan sumber daya pada Pemerintah Pusat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh sistem kepegawaian yang masih tersentralisasi sehingga Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam mengelola Sumber Daya Manusianya sesuai dengan kriteria dan karakteristik yang dibutuhkan oleh suatu daerah.

e.         Partisipasi Masyarakat.
Sebagai dampak dari agenda reformasi nasional dan pengaruh isu global terutama demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan haknya sebagai warga negara. Namun ada kecenderungan mereka kurang memahami akan kewajibannya. Masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti apa yang menjadi kesulitan dan/atau permasalahan yang dihadapi pemerintah termasuk Pemerintah Daerah. Kondisi ini merupakan suatu realita yang terjadi di seluruh pelosok tanah air dan realitas ini dapat dipahami sebagai refleksi dinamika demokratisasi yang berorientasi pada kebebasan tanpa didasari etika nilai budaya bangsa yang terakomodasi di dalam Pancasila. Pada era Orde Baru, masyarakat lebih banyak dituntut untuk berperan serta ketimbang untuk berperan aktif. Akibatnya masyarakat menjadi pasif karena mereka berada di dalam suatu program yang diarahkan Pemerintah, namun tidak dalam posisi untuk membangun suatu program.

f.          Potensi Disintegrasi.
Masalah lain yang dapat dipandang sebagai potensi dalam pelaksanaan otoda antara lain:
1)         Arogansi sektoral.
Disintegrasi dapat juga terjadi karena beberapa daerah cenderung eksklusif, mementingkan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan daerah lain, termasuk kepentingan pemerintah pusat.  Penolakan terhadap  calon kepala daerah dari luar (hanya mau putra daerah), dan penolakan pengalihan pegawai pusat ke daerah merupakan beberapa contoh yang bila tidak diatasi dapat mengancam integrasi bangsa.

2)         Perbedaan Sumber Daya.
Sebagian daerah punya potensi sumber daya/kekayaan alamnya yang berlimpah/berlebih, sehingga daerah-daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena hasil sumber daya alam dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya melebihi kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintah. Kondisi seperti ini akan memunculkan konflik horizontal dengan daerah tetangga yang tidak punya kemampuan.

Meluruskan, Mengamankan dan Memberdayakan Otoda dalam Mencegah
Disintegrasi

Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. Kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasinasional dapat dituangkan dalam langkah sebagai berikut :

a.     Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang masa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan harus terus dihadirkan dalam hati sanubari dan amal pikiran bangsa Indonesia.

 b.     Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Bagi Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya demikian amat diperlukan. Tentulah penghormatan dan pengakuan kepada mayoritas diperlukan, sebaliknya perlindungan terhadap mitos-mitos tidak boleh pula diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Oleh karena itu premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way”, harus kita pahami secara arif dan kontekstual. Jika kita sepakat bahwa demi keadilan yang mayoritas perlu mendapatkan tempat dan peran yang tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka peran itu kiranya dapat diabadikan untuk memperkukuh persatuan, menaburkan keadilan dan memajukan kehidupan seluruh masyarakat.

c.  Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Membangun integrasi nasional tidak hanya dilakukan secarastruktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik dan represif approach digunakan jika persuasive approach dinyatakan gagal.

d.  Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun non formal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional kita. Kesalahan yang lazim terjadi adalah, kita sering berbicara tentang kondisi obiektif dari kurang kukuhnya integrasi nasional di negeri ini serta setelah itu “bermimpi” tentang kondisi yang kita tuju (end states), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan proses dan kerja keras yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif disemua lini, akhirnya merupakan penentu yang bisa menciptakan iklim dan langkah bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional ini. Frame work kelima langkah tersebut harus diikuti dengan strategi yang berdimensi ruang masalah dan waktu, sehingga perlu langkah-langkah jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dalam menyikapi permasalahan mencegah keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dalam bingkai NKRI. Menyikapi permasalahan daerah tentunya dalam jangka pendek kita harus mampu meredam, menetralisasi dan mengikis ide tersebut oleh pemerintah pusat, karena pemerintah daerah di wilayah separatisme cenderung ambivalent dan lumpuh, sedangkan Untuk jangka sedang perlu langkah rehabilitasi dan sosialisasi wawasan kebangsaan dalam daerah, sedangkan untuk jangka panjang secara simultan penyelesaian konflik dalam wilayah perlu didekati secara komprehensif dan terkoordinasikan. Strategi penyelesaian konflik akibat pertikaian elite seharusnya akar masalahnya yaitu para elite dan jaringannya untuk dapat dinetralisasi dengan lebih transparan dengan waktu yang singkat. Demikian pula konflik yang diakibatkan oleh masalah otonomi daerah. Jalan menuju terbangunnya integrasi nasional agaknya cukup panjang, dengan segala tantangan dan permasalahannya. Tantangan itu juga bukan hanya berasal dari dalam negeri karena masih banyaknya benih-benih konflik dilingkungan masyarakat, tetapi juga dari luar negeri yang karena dampak globalisasi dapat memunculkan konflik nilai dan konflik kepentingan, sehingga keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari pangkuan Ibu Pertiwi merupakan refleksi kewajaran seiring dengan perubahan zaman dengan akumulasi permasalahannya. Kiranya apapun yang terjadi maka NKRI harus dipertahankan.

 KESIMPULAN

Dari uraian makalah diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Beberapa milik bangsa yang hilang akibat hoforia reformasi (rasa kebanggaan, kepercayaan, rasa aman, rasa hormat) harus dibangun kembali dengan upaya yang keras dari seluruh bangsa
b. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih. Dengan demikian diperlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran tersendiri.
c. Pemberlakuan UU No. 32 tentang pemerintahan daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan pemerintahan Daerah di Indonesia. Ada potensi untuk menciptakan pengentalan heterogenitas dibidang SARA dan dapat berdampak pada suatu konflik yang pada akhirnya berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
d. Berbagai masalah yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, berpeluang untuk direkayasa menjadi permasalahan dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu dengan sasaran tejadinya instabilitas yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Dengan otonomi daerah, jalur lebih pendek, aparat terkait diharapkan akan lebih
peka dan cepat mengatasinya.
e. Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elite politik nasional sampai kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik pada stadium dini. Peredaman konflik pada stadium lanjutan memerlukan tingkat profesionalisme aparat keamanan secara terpadu dan tidak melakukan keberpihakan-keberpihakan.


  (Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar