Kamis, 13 November 2014

PLURALISME LEMBAGA NEGARA



Pluralisme kelembagaan negara dalam 10 tahun terakhir merupakan akibat dari respon terhadap kebutuhan sistem tata negara yang terus berkembang karena dinamika, permasalahan dan tuntutan perkembangan demokratisasi. Perubahan-perubahan terhadap kelembagaan dan birokrasi negara dilakukan secara mendasar di semua bidang dan sektor. Hal tersebut sebenarnya juga terjadi di negara-negara lain, terutama yang memiliki demokrasi yang sudah mapan seperti Amerika dan Perancis yang pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak  bertumbuhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen. Dari pengalaman di berbagai negara tersebut, ketika di Indonesia ide pembaruan kelembagaan diterima sebagai pendapat umum, maka dimana di semua lini dan semua bidang, orang berusaha untuk menerapkan ide pembentukan lembaga dan organisasi-organisasi baru itu dengan idealisme, yaitu untuk modernisasi dan pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah proses pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa didasarkan atas desain yang matang dan komprehensif. 

Timbulnya ide yang bersifat reaktif, sektoral dan bersifat dadakan  dalam pembentukan lembaga-lembaga baru itu pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala bidang, seperti misalnya ketika Presiden langsung membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada saat menghadapi permasalahan isu korupsi, pembentukan Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional yang hanya berdasarkan Keputusan Presiden, pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnasham), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Kedokteran Indonesia (KPI) dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tren pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh dengan jumlahnya yang sangat banyak, tanpa disertai oleh penciutan peran birokrasi yang besar. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan justru menambah inefisiensi karena meningkatkan beban anggaran negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Ada pula lembaga yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu, tetapi karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para peng­urusnya terus menerus digaji dari anggaran pendapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja daerah. 

Menelaah hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR melalui amandemen sebanyak empat kali, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tetapi oleh UUD, Pasal 1 ayat (2). Sehingga hal ini merubah sistem dan hubungan kelembagaan negara. UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, pembagian kekuasaan (distribution of power) yang bersifat vertikal dan tidak mengenal  pemisahan yang tegas.

Setelah amandemen UUD 1945 MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara, maka dianut sistem pemisahan kekuasaan (sparation of power) yang bersifat horizontal, yang  secara tegas tercer­min pada lembaga negara yang menjalankan fungsinya dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 lembaga negara yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945 dan masih banyak lagi lembaga-lembaga yang disebut secara eksplisit atau tidak disebut dalam  UUD 1945 yang pembentukannya berdasarkan UU atau peraturan dibawah UU. Dengan banyaknya lembaga negara yang dengan sistem pemisahan kekuasaan (sparation of power) berarti bahwa kedudukan antara lembaga-lembaga negara tersebut adalah setara, sehingga dapat saling melakukan pengecekan dan penyeimbangan. Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan Lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Memang sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu :

1 Presiden dan Wakil Presiden
2 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
5 Mahkamah Konstitusi (MK)
6 Mahkamah Agung (MA)
7 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Lembaga-lembaga negara sebagai lapis kedua itu adalah:
1 Menteri Negara
2 Tentara Nasional lndonesia
3 Kepolisian Negara
4 Komisi Yudisial
5 Komisi pemilihan umum
6 Bank sentral
 Lembaga-lembaga daerah itu adalah:

1) Pemerintahan Daerah Provinsi
2) Gubemur
3) DPRD provinsi
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten
5) Bupati                                                                                                                                                 

6) DPRD Kabupaten
7) Pemerintahan Daerah Kota                                                                                         
8) Walikota
9) DPRD Kota 

Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnasham), Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman Nasional dan sebagainya, merupakan lembaga negara juga yang dibentuk berdasarkan UU atau peraturan dibawah UU yang memiliki kedudukan sama dan kuat secara konstitusional. Dengan begitu banyaknya lembaga-lembaga negara baik itu yang bersifat primer atau penunjang yang dibentuk bertujuan untuk efisiensi dan efektif karena pembentukannya tidak didesain dengan baik dan bersifat sektoral serta tidak komprehensif justru menghasilkan ketidakefektifan, penyimpangan, konflik dan tumpang tindih pekerjaan. Suatu contoh kasus pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) bersinggungan dengan lembaga Kepolisian Negara dimana dalam UU Kepolisian dan KUHP masih disebutkan bahwa Kepolisian adalah penyidik tunggal, tetapi dalam hal ini KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, meskipun KPK juga diatur oleh UU Tipikor tetapi tumpang tindih UU dan ketidak pastian batasan kewenangan menimbulkan gesekan dan konflik kepentingan antara lembaga negara tersebut.

Misalnya dalam menangani kasus mafia pajak Gayus Tambunan, siapa yang berhak menangani apakah Kepolisian atau KPK. Ketidak jelasan aturan dan tumpang tindih fungsi lembaga menimbulkan konflik sehingga terjadilah seperti; kasus ’Cicak vs Buaya’, kasus Bibit Candra, Century, Susnoduadji dan sebagainya. Kemudian dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) padahal sudah ada Kementerian Menkominfo, Komisi Kedokteran Indonesia padahal sudah ada Kementerian Kesehatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bayaknya lembaga negara justru bisa mengakibatkan kontra produktif dan pemborosan anggaran apabila tidak diatur dengan ketentuan perundang-undangan yang jelas, tegas dan komprehensif antara satu dengan yang lain, karena tiap kelembagaan negara membutuhkan dana operasional negara yang besar. Dengan kondisi seperti ini tentu antar lembaga negara tidak bisa melakukan checks and balances karena tumpang tindihnya pekerjaan dan kewenangan yang dimiliki. Apabila checks and balances tidak bisa dilakukan dengan baik maka jelas dampaknya akan terjadi banyak penyimpangan, seperti; manipulasi, kolusi, korupsi dan kesewenang-wenangan, sehingga tidak heran apabila saat ini masih terjadi pembusukan pengelolaan kekuasaan dan belum menghasilkan nilai-nilai tata pemerintahan yang baik.      
               
Sebetulnya yang lebih mendasar lagi dari penyebab carut marutnya sistem kelembagaan negara adalah kondisi demokrasi kita. Demokrasilah yang mendorong munculnya lembaga-lebanga negara yang begitu banyak, tetapi sayangnya demokrasi yang dijalankan saat ini masih sebatas struktural dan belum pada tataran fungsional. Contoh yang jelas adalah pada saat pelaksanaan Pemilu. Pemilu dilaksanakan untuk menunjukkan sistem demokrasi dan aspirasi dari rakyat, tetapi apakah betul-betul secara fungsional itu dapat menunjukkan aspirasi dan demokrasi yang sesungguhnya, bila dalam Pemilu politik uang (money politic) sebagai penggeraknya. Padahal Pemilu adalah sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang nantinya akan mewakili dan merumuskan perundang-undangan (regulation) yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara. Kalau hasil pemilihan wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan tidak sesuai kelayakan dan penuh dengan intrik politik dalam pemilihannya, maka perundang-undangan (regulation) yang dihasilkannya pasti tidak jelas karena penuh dengan kepentingan. Ketidak jelasan aturan berarti akan menghasilkan kekacauan dan kegagalan sistem di semua lini dan bidang seperti saat ini.

ANALISIS SOLUSI
1. Telah dirumuskan di atas bahwa akar permasalahan adalah pelaksanaan demokrasi kita yang masih belum baik. Oleh karena itu yang perlu dibenahi terlebih dahulu adalah bagaimana bisa melaksanakan demokrasi secara baik dan benar. Demokrasi yang baik adalah dengan melakukannya sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Jadi memang harus ada pemaksaan untuk penegakan hukum, kepastian hukum dan penindakan yang tegas bagi yang melanggar karena kita juga sudah memiliki perangkat hukum. Realitanya adalah pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil sebagai penyaluran aspirasi rakyat dalam memilih wakil-wakilnya serta kepala pemerintahan yang betul-betul credible, layak dan memiliki integritas yang tinggi. Perlunya jaminan tidak ada politik uang (money politic) dan pemaksaan politik lain dalam Pemilu. Apabila wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan dipilih benar- benar sebagai aspirasi rakyat dan memenuhi kelayakan maka dapat dipastikan hasil kerja dalam perumusan perundang-undangan (regulation) akan baik dan kepemimpinan pemerintahan yang kuat karena didukung sepenuhnya oleh rakyat. Perundang-undangan (regulation) yang baik, jelas, tegas dan komprehensif akan mudah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang telah dibentuk, tidak menimbulkan keraguan, sehingga tercapai tujuan efektif dan efisen dan tidak ada bersinggungan, tumpang tindih pekerjaan dan kepentingan. 

2. Lembaga-lembaga Negara yang dibentuk disesuaikan dengan kebutuhan dan telah di desain dengan matang dan komprehensif sesuai yang tertuang dalam UUD 1945, UU ataupun peraturan dibawah UU. Tidak membentuk lembaga yang baru apabila pekerjaan tersebut sudah dan dapat dilakukan oleh lembaga negara yang sudah ada. Tentu hal ini harus diimbangi oleh peningkatan kemampuan (capability) dan kepercayaan (trust) terhadap lembaga negara tersebut. 

Suatu contoh kasus korupsi harusnya bisa ditangani secara keseluruhan oleh Kepolisian Negara, dengan membentuk biro-biro penanganan bidang kasus, misalnya biro korupsi dan biro lain seperti; biro kejahatan ekonomi, biro narkoba, biro kejahatan informatika dan sebagainya, sehingga tidak perlu di bentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sebetulnya biro-biro ini sudah ada di Kepolisian Negara, tinggal memberdayakan dan memberi kepercayaan karena pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru sering disebabkan karena tidak adanya kemampuan (capability) dan kepercayaan (trust) terhadap lembaga yang sudah ada. Jadi kelembagaan negara haruslah dibuat ramping tetapi efektif dan efisien sehingga tidak terjadi pemborosan tenaga dan biaya negara serta memudahkan untuk melakukan checks and balances. Tidak semua permasalahan harus di atasi dengan pembentukan lembaga baru yang bersifat bebas dan mandiri.         
                                   
Apabila hal tersebut sudah ditempuh maka sistem ketatanegaraan akan dapat berjalan dengan baik dan dapat membangun tata pemerintahan demokrasi yang akuntabel dan sanggup mensejahterakan masyarakat.



BUKU: JARINGAN BARU TERORIS SOLO



Judul:Jaringan Baru Teroris Solo
Pengarang:Fajar Purwawidada
ISBN:9789799107787
KPG:901140873
Ukuran:210 x 140 mm
Halaman:378 halaman
Sebagai teror bermotif politik, terorisme senantiasa memanfaatkan situasi yang tepat untuk melancarkan aksinya. Jaringan teroris bermutasi menebarkan virus teror dan kekerasan mengatasnamakan agama. Kelompok baru, seperti Mujahidin Indonesia Barat dan Timur, serta kelompok ISIS Indonesia, terus memperluas gerakannya yang bermuara pada cita-cita berdirinya Negara Islam Indonesia.
Buku ini mencoba mengurai bagaimana kekerasan atas nama Tuhan dan
agama terus terjadi di Indonesia. Bagaimana teroris, yang anti-kemanusiaan, dapat mengakui dirinya pasukan Allah. Jaringan Teroris Solo merupakan jaringan terbesar serta terhubung dengan hampir seluruh kelompok dan aksi teror di Indonesia. Jaringan ini tidak pernah mati dan mengalami regenerasi menjadi kelompok baru meskipun aparat telah berusaha menggulungnya.
Memahami jaringan ini akan membantu memahami karakter terorisme di Indonesia, sehingga dapat merumuskan dengan tepat kebijakan strategis penanggulangan terorisme yang akan datang.

“Indonesia sebenarnya korban terorisme, dilakukan oleh anak-anaknya sendiri yang juga bekerja sama dengan warga negara lain. Pelaku teror adalah mereka yang merasa benar di jalan yang sesat dengan dalil-dalil agama.”

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar dan Mantan Ketua PP Muhammadiyah




Jumat, 07 November 2014

MERUMUSKAN UU KEAMANAN NASIONAL (NATIONAL SECURITY) # 2





MENDORONG UNDANG-UNDANG KEAMANAN NASIONAL

Perkembangan Ancaman terhadap Negara saat ini menjadi sedemikia kompleksnya. Bukan hanya mengancam terhadap ketertiban masyarakat saja, tetapi jauh lebih luas yaitu ancaman terhadap kedaulatan sebuah Negara. Pemikiran Keamanan Nasional haruslah dalam rangka mempertahankan tegaknya Negara dan pemerintahan, tidaklah hanya membentengi pertahanan terhadap serangan militer musuh dari luar, tetapi keamanan dalam negeri juga harus terjamin. Sebab kacaunya keamanan dalam negeri dapat menyebabkan Negara keropos dari dalam dan akhirnya dapat tumbang dengan sendirinya. 

Potensi ancaman yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan strategis global, regional dan domestik. Di tingkat global, dinamika lingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara negara-negara besar (great power) yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia dan negara-negara Eropa (Uni Eropa). Sementara di tingkat regional, beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap penguasaan pasar, jalur ekonomi dan sumber daya alam terutama di wilayah-wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan tersendiri. Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman krisis ekonomi dan lemahnya sistem penegakan hukum. Persoalan lain yang juga mengemuka di tingkat regional adalah terorisme. 

Ancaman militer sebagai bagian dari dimensi ancaman muncul perspektif  baru: human security. Berbeda dari perspektif sebelumnya melihat negara sebagai unsur yang paling penting, sedangkan "human security" melihat pentingnya keamanan manusia. Dalam perspektif ini kesejahteraan warga negara merupakan sesuatu yang diutamakan. Ruang lingkup keamanan tidak lagi terbatas pada dimensi militer. Istilah-istilah lain yang kemudian muncul misalnya keamanan lingkungan (environmental security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi (economic security) menunjukkan bahwa suatu entitas sosial dan/atau politik kelak menghadapi ancaman dari berbagai bidang kehidupannya.

Menjadi suatu ironi dan kesalahan fatal, dimana bangsa yang sebesar Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu landasan legal formal berupa undang-undang keamanan nasional. Adanya kesalahan pemahaman tentang “Keamanan” yang diartikan menjadi pemahaman sempit hanya sebagai pemahaman keamanan dalam rangka ketertiban masyarakat. Keamanan Nasional dalam hal ini “National Security” harus dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan nasional Indonesia yaitu tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945 serta terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional. 

Kefatalan yang mencolok ialah dikotomi pemisahan secara tegas kedua institusi keamanan dan pertahanan, dimana keamanan menjadi tugas dan wewenang kepolisian sedangkan pertahanan menjadi tugas dan wewenang TNI. Pemahaman yang sempit ini dampak dari kebijakan emosional pasca reformasi. Dimana pasca reformasi menjadi suatu gerakan yang anti terhadap TNI yang menganggapnya TNI bagian dari Orde Baru. Sikap Apriori terhadap TNI bahkan oleh elit politik dan pemerintah akhirnya melahirkan kebijakan yang bersifat memasung dan memberangus peranan TNI dan sebaliknya memberikan peranan pada institusi Kepolisian yang seluas-luasnya dengan memaknai “Keamanan” sebagai fungsi keamanan biasa yang sering difungsikan oleh Kepolisian. 

Kebijakan dengan diterbitkannya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri menjadi tonggak perseteruan wilayah tanggung jawab “Keamanan Nasonal”. Dimana pada TAP tersebut pasal 1 menyebutkan bahwa TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Pada pasal 2 disebutkan bahwa TNI adalah alat Negara yang berperan dalam pertahanan Negara; Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan; dan dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.

Peran TNI dan Polri menyebutkan bahwa pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketahanan nasional dengan menghimpun, menyiapkan dan mengerahkan kemampuan nasional yang menempatkan rakyat sebagai kekuatan dasar. Alat Negara yang berperan utama menyelenggarakan pertahanan Negara berupa Tentara Nasional Indonesia. TNI berperan sebagai komponen utama dalam system pertahanan Negara. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagai tindaklanjut maka disahkan UU No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara, UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri. UU No.2 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa “Peraturan Kepolisian adalah  segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 menyebutkan bahwa “Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasiaonal dalam rangka terciptanya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lain yang dapat meresahkan masyarakat. Pasal 6 menyebutkan bahwa “Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan pada UU No.34 2004 tentang TNI pasal 5 disebutkan bahwa “Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara, disususn dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan. Pasal 6 disebutkan “Sistem pertahanan Negara adalah system pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga Negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan dan berkelanjutan untk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahanakan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman”.

Pemahaman yang ambigu dan tidak konsisten terhadap pemaknaan “Keamanan “ antara keamanan nasional dengan keamanan dan ketertiban masyarakat pada landasan  perundang-undangan tersebut telah menyediakan lahan abu-abu sebagai wilayah keamanan nasional. Tanggung jawab siapakan keamanan nasional?  Padahal pada tahun 60-an Jenderal Nasution telah mengingatkan bahwa “Pada saat ini sudah tidak ada lagi pembedaan antara Keamanan (Keamanan Nasional) dan Pertahanan Negara, karena setiap ancaman keamanan dari dalam selalu diboncengi ancaman dari luar. Maka keamanan dan pertahanan itu menjadi satu sekarang dengan apa yang disebut Kemanana Nasional”.

Dampak dari perundang-undangan terkait pemisahan fungsi pertahanan-keamanan menimbulkan ego sektoral antar institusi. Menganggap bahwa segala ancaman dari dalam (Keamanan Nasional) hanya menjadi bagian tugas Polri, sehingga mengakibatkan Polri menjadi insitusi yang super body dengan kewenangan luar biasa langsung di bawah Presiden. Sedangkan TNI hanya menjadi bagian kementerian pertahanan yang mengurusi ancaman dari luar. Apabila melihat beberapa dari definisi yang telah ada tentang Keamanan Nasional, semisal menurut Burry Busan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde (1998) menyebutkan ada dua dimensi pemahaman nasional security, yaitu Classical Security Complex Theory (CSCT) dan Regional Security Complex Theory (RSCT). Dua dasar pikiran dari nasional security, yaitu:

1. Securitization. Sekuritisasi didefinisikan dalam pendekatan “radically constructivist” yang menyatakan bahwa ancaman mempunyai makna social—threats are socially constructed. Artinya, meskipun secara militer tidak dianggap mengancam keamanan, namun jika secara sosial dianggap mengancam keamanan, maka yang bersangkutan dapat dikenakan tindakan security. Jadi Buzan melihat keamanan dalam konteks “obyektif” dari “ancaman yang riil”, melainkan secara subyektif. 

2. Sectoral analysis. Analisis sektoral memahami bahwa security melampaui makna politik-militer, namun mencakup pula ekonomi, social dan lingkungan. Meski tidak dianggap sebagai ancaman langsung, namun berpotensi mengarah kepada ancaman militer. Analisis sektoral digunakan untuk mensimplifikasi proses analisis dengan melihat suatu ancaman sebagai kesatuan holistic yang dilihat dalam system dan sub-sistem dimana ancaman tersebut mungkin berkembang.

Menurut buku putih Dewan Ketahanan Nasional (2010) bahwa telah terjadi pergeseran paradigma konsep keamanan nasional, dari konsep yang semula berorientasi kepada state centered security bergeser dan meluas sehingga orientasinya mencakup state centered security dan people centered security. Konsekuensinya, konsep keamanan nasional menjadi bersifat komprehensif, atau tidak bersifat tunggal, melainkan majemuk, sehingga pengelolaannya menjadi tanggung jawab kolektif. Demikian pula Sayidiman Suryohadiprojo yang mendefinisikan system kemanan nasional sebagai system yang mewujudkan situasi dan kondisi kemampuan bangsa dalam melindungi semua system kehidupan nasionalnya, yang didasarkan pada system nilai internalnya sendiri, terhadap setiap ancaman dan tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Jadi dari berbagai definisi keamanan nasional di atas maka pemahaman Keamanan Nasional atau Nasional Security sangat luas tidak hanya sebatas keamanan dan ketertiban masyarakat. Mencakup segala aspek keamanan dalam negeri yang holistic untuk kepentingan nasional. Pemahaman nasional interest perlu dipahami sebagai konsep yang lebih pada ranah politik nasional daripada hubungan internasional. Demikian pula akhirnya pada pemahaman yang relevan tentang keamanan nasional, khususnya untuk konteks Indonesia. Keamanan nasional mempertanyakan tentang sesuatu yang perlu dipertahankan, sehingga ia berkenaan dengan dua pertanyaan dasar what is that we seek to defend? Dana why do wish to defend it? (Cleary, 2000:31). Ini berkenaan dengan “kepentingan nasional”. Karenanya, sebelum merumuskan tentang kebijakan keamanan nasional, maka pertama-tama perlu dipahami bahwa isu ini berkenaan dengan kepentingan nasional.

Kepentingan nasional bukan kepentingan publik. Kepentingan nasional mempunyai dua ciri, yaitu pertama, merupakan seperangkat tujuan Negara yang diperjuangkan dalam persaingan dunia dan bukan kepentingan domestik. Kedua, merupakan kepentingan strategis dengan fokus pada militer dan ekonomi (Nuechterlein, 2000). Hartman mengemukakan dua jenjang kepentingan nasional, yaitu pertama kepentingan nasional vital, kepentingan yang harus dimiliki oleh Negara manapun; hal-hal dasar yang turut mempertahankan eksistensi Negara tersebut seperti kemerdekaan Negara, menjaga keutuhan integrasi wilayah ataupun keamanan bagi warganya. Kepentingan nasional vital merupakan perwujudan Negara sebagai sebuah Negara hidup yang memiliki nyawa. Kedua, kepentingan nasional secondary perpanjangan dari kepentingan nasional vital, dan bersifat kompromi, dalam arti tidak akan mengancam kehidupan dasar Negara apabila tidak dipatuhi.

Sedangkan Nuechterlein (1979:79-80) mengemukakan empat jenjang kepentingan nasional. Pertama, kepentingan survival, yang merupakan kepentingan hidup-mati suatu Negara, berkenaan dengan ancaman militer yang mengancam militer yang mengancam wilayahnya, atau dapat dikatakan sebagai ancaman yang mematikan. Kedua, kepentingan vital, yang berkenaan dengan ancaman yang menciptakan kerusakan yang mengganggu kesinambungan hidup Negara. Ketiga, kepentingan major, berkenaan dengan kepentingan politik, ekonomi dan kesejahteraan yagn dipengaruhi oleh interaksi dengan Negara lain. Keempat, kepentingan peripheral, berkenaan dengan kesejahteraan Negara yang tidak dipengaruhi oleh interaksi dengan Negara lain. 

Dalam Buku Putih Kemhan, memilih tiga jenjang kepentingan nasional, yaitu ;

1.      Mutlak : tetap tegaknya NKRI.
2.      Vital : Keberlanjutan pembangunan nasional
3.      Utama : perdamaian dunia dan stabilitas regional.

Menurut Riant Nugroho (2014) dalam merumuskan Keamanan nasional pertama-tama harus membangun pemikiran atau kerangka berfikir perumusan kebijakan keamanan nasional. Pendekatan yang digunakan adalah sekuensi: pengumpulan kembali informasi, untuk menciptakan pemahaman, baru kemudian mengembangkan kerangka kebijakan yang lebih mantap. Informasi menghasilkan premis-premis tentang keamanan nasional, yaitu:

1.    Keamanan nasional adalah keperluan untuk memelihara kelangsungan hidup satu bangsa.
2.    Keamanan nasional adalah bagian dari ketahanan nasional.
3.    Keamanan nasional adalah kepentingan nasional (the signified what is the most important to the state-survival being at the top of the list).

Hubungannya adalah jika keamanan nasional begitu penting (bukan sekedar ketertiban domestic seperti banyak pemahaman saat ini) maka sudah pasti keamanan nasional adalah kebijakan public. Bahkan, keamanan nasional adalah “kebijakan publik inti”. Karena itu masalah genting secara aturan kelembagaan bagi Indonesia adalah:

1.      Kita belum punya kebijakan keamanan nasional
2.      Kita salah mengerti tentang keamanan nasional dan berdebat tidak ada habisnya, sementara Negara lain memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan mereka.

Untuk itu, perlu mempunyai pemahaman yang lebih memadai tentang keamanan nasional, melalui tiga cara:
1.      Memahami dengan baik makna “Keamanan Nasional” dan menyepakatinya
2.      Merumuskan “kebijakan”nya
3.      Menjadikan sebagai “jangkar keunggulan Negara bangsa”

Pemahaman mikro tentang keamanan nasional adalah tentang peran masing-masing lembaga kunci keamanan nasional, khususnya antara TNI dan Polri; Pada saat keamanan nasional pada kondisi “menghadapi tantangan” dan “menerima hambatan”, maka mesin yang bergerak pertama kali adalah Polri dan rakyat, dimana rakyat mempunyai peran lebih besar. Pada saat berada pada konteks “gangguan”, maka ketika gangguan sudah berkenaan dengan keselamatan bangsa, termasuk di dalamnya terorime, TNI mulai berperan, sementara Polri memberikan mendukungan. Pada konteks “ancaman”, maka TNI yang menjadi mesin utamanya didukung oleh Polri dan seluruh rakyat, khususnya Komponen Cadangan.

Maka pemahaman keamanan nasional berubah dari sekedar TNI bersama Polri menjadi empat pilar: TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, pemahaman atas isu Keamanan Nasional bukan masalah sengketa “Polri” atau “TNI” karena “terlalu besar” untuk diurus Polri sendirian, ataupun TNI.

Pelaksana dari Keamanan Nasional adalah empat pilar : TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri. TNI sebagai fungsi alat perang, Polri sebagai alat ketertiban, Kemdagri sebagai alat politik domestic dan Kemlu sebagai alat diplomasi internasional. Keamanan Nasional akan terwujud bila ada sinergi dari keempat pilar ini.

Pada jenjang makro, maka kebijakan keamanan nasional berkenaan dengan kepentingan nasional yang lebih besar. Pemahaman yang dikembangkan adalah, pertama, Keamanan Nasional adalah urusan seluruh bangsa, lebih dari keempat pilar tadi; kedua, secara operasional Keamanan Nasional adalah urusan pertama dan utama dari Presiden NKRI. Dengan demikian pemahaman kebijakan keamanan nasional adalah kebijakan ang pro-aktif, yaitu:

1.      Melindungi kepentingan NKRI.
2.      Kepentingan NKRI adalah
-Memastikan keutuhan kedaulatan Negara dan bangsa, secara ideology, politik,ekonomi, social dan budaya. 
-Memastikan setiap rakyat Indonesia dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraannya, baik di dalam lingkungan nasional atau domestic maupun internasional atau global (Nugroho R, 2014).

Meskipun sudah ada MOU dan pasal tentang kerjasama dan perbantuan TNI terhadap tugas keamanan Polri, tetapi tetap saja ada ego sektoral terhadap domain dan otoritas terhadap tugas “keamanan” itu sendiri. Oleh karena itu dengan terbukanya pemahaman tentang makna dari Keamanan Nasional atau “National Security” di atas perlu kerja sama semua elemen bangsa dalam menjaga keamanan nasional. Tidak cukup hanya dijalankan oleh Polri saja. Melihat fenomena ancaman keamanan saat ini yang kompleks, terutama yang bersumber dari masalah ideology yang semakin kronis dan keroposnya Negara dari dalam, maka perlu adanya suatu institusi yang menaungi masalah Keamanan Nasional ini. Seperti suatu Dewan Keamanan yang terdiri dari empat pilar; TNI, Polri, Kemdagri dan Kemlu. Sudah tidak saatnya lagi berfikir sektoral untuk mengurus Keamanan Nasional.

REKOMENDASI

Perlu segera di pemerintahan yang baru ini untuk merumuskan kembali RUU KEAMANAN NASIONAL dan kemudian mengesahkannya sebagai pijakan legal formal dalam menegakkan Keamanan Nasional NKRI. RUU Keamanan Nasional sangat penting untuk pijakan kebijakan-kebijakan keamanan berikutnya termasuk RUU KOMPONEN CADANGAN. Bahwa hadirnya UU KAMNAS akan melindungi HAM warga negara dan tegaknya NKRI di masa yang akan datang.