Selasa, 19 November 2013

ANCAMAN TEKNOLOGI TELEMATIKA TERHADAP KEAMANAN NASIONAL



  A. Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan dan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana teknologi informasi “cybercrime” atau kejahatan telematika yang dapat mengancam keamanan Nasional.           
 Masalah kejahatan telematika dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan modern dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.                                                                                                                                 

B. Perkembangan Kejahatan Telematika

Adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat modern sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara bahkankebutuhan intelijen. 
Penyalahgunaan teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan telematika ini adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi modern ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan telematika atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas. Kejahatan teknologi informasi ini dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan saja mengingat akses teknologi telematika pada masa depan sulit untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.                            
Kejahatan telematika sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak. Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan telematika tersebut amat merugikan bagi keamanan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.            

                                                                                                             

C. Ancaman Terhadap Keamanan Nasional


Kejahatan telematika dewasa ini mengalami perkembangan pesat tanpa mengenal batas wilayah negara lagi (borderless state). Sehingga dapat lebih mudah menembus sistem keamanan nasional, karena kemajuan teknologi yang digunakan para pelaku cukup canggih dalam aksi kejahatannya. Para hacker dan cracker bisa melakukannya lewat lintas negara (cross boundaries countries) bahkan di negara-negara berkembang (developing countries) aparat penegak hukum, khususnya kepolisian tidak mampu untuk menangkal dan menanggulangi disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana teknologi yang dimiliki.                        
 Berdasarkan catatan dari National Criminal Intellengence Services (NCIS) di Inggris terdapat 13 macam bentuk-bentuk cybercrime;

1. Recreational Hackers, kejahatan ini dilakukan oleh netter tingkat pemula untuk mencoba kekurangan dari sistem sekuritas atau keamanan data suatu perusahaan. Tujuan pelaku dimaksudkan untuk sekedar hiburan akan tetapi mempunyai dampak pada kejahatan telematika yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain. 
                                        
2. Crackers atau Criminal Minded Hackers, yaitu pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan finansial, sabotase, dan penghancuran data pihak korban.


3.  Political Hackers, yakni aktivis politik atau hactivist melakukan perusakan terhadap ratusan situs web untuk mengkampanyekan program-program tertentu bahkan tidak jarang digunakan untuk menempelkan pesan untuk mendiskreditkan lawan politiknya. Usaha tersebut pernah dilakukan secara aktif dalam usaha untuk kampanye anti Indonesia pada masalah Timor Timur yang dipelopori oleh Ramos Horta dan kawan-kawan sehingga situs Departemen Luar Negeri Republik Indonesia sempat mendapat serangan yang diduga dari kelompok anti integrasi sebelum dan setelah jajak pendapat tentang Referendum Timor Timur tahun 1999 lalu.


4. Denial of Service Attack. Serangan tujuan ini adalah untuk memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna jasa internet yang sah. Taktik yang digunakan adalah dengan mengirim atau membanjiri situs web dengan data sampah yang tidak perlu bagi orang yang dituju.


5.  Insiders (Internal) Hackers yang biasanya dilakukan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Modus operandinya adalah karyawan bermasalah merusak data atau akses data dalam transaksi bisnis.


6. Viruses. Program pengganggu (malicious) perangkat lunak dengan melakukan penyebaran virus yang dapat menular melalui aplikasi internet, ketika akan diakses oleh pemakai.


7. Piracy. Pembajakan software atau perangkat lunak komputer merupakan trend atau kecenderungan yang terjadi dewasa ini, karena dianggap lebih mudah dan murah untuk dilakukan para pembajak dengan meraup keuntungan berlipat ganda.


8. Fraud adalah sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.


9. Gambling. Perjudian di dunia telematika semakin global sulit dijerat sebagai pelanggaran hukum apabila hanya memakai hukum nasional suatu negara berdasarkan pada locus delicti atau tempat kejadian perkara, karena para pelaku dengan mudah dapat memindahkan tempat permainan judi dengan sarana komputer yang dimilikinya secara mobil.


10.  Pornography and paeddophilia. Perkembangan dunia telematika selain mendatangkan berbagai kemaslahatan bagi umat manusia dengan mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah melahirkan dampak negatif berupa “dunia pornografi” yang mengkhawatirkan berbagai kalangan terhadap nilai-nilai etika, moral dan estetika.


11.   Cyber stalking adalah segala bentuk kiriman e-mail yang tidak dikehendaki oleh user atau junk e-mail yang sering memakai folder serta tidak jarang dengan pemaksaan.


12. Hate sites. Situs ini sering digunakan oleh hackers untuk saling menyerang dan melontarkan komentar-komentar yang tidak sopan dan vulgar yang dikelola oleh para “ekstrimis” untuk menyerang pihak-pihak yang tidak disenanginya. Penyerangan terhadap lawan atau opponent ini sering mengangkat pada isu-isu rasial, perang program dan promosi kebijakan ataupun suatu pandangan yang dianut oleh seseorang, kelompok, bangsa dan negara untuk bisa dibaca serta dipahami orang atau pihak lain sebagai “pesan” yang disampaikan.


13. Criminal communications. NCIS telah mendeteksi bahwa internet dijadikan sebagai alat yang andal dan modern untuk melakukan kegiatan komunikasi antar gangster, anggota sindikat obat bius. Komunikasi lewat internet merupakan alat atau sarana yang cukup ampuh untuk melakukan kejahatan terorganisir.


Bentuk-bentuk dari kejahatan telematika lain bukan berarti tidak pernah terjadi di Indonesia, akan tetapi karena tidak dilaporkan oleh para korban pada pihak kepolisian. Maka masalah ini tidak menonjol dan menjadi prioritas penegakan hukum. Keadaan demikian sebenarnya akan menjadi kejahatan tersembunyi (hidden crime of cyber) pada masa depan apabila tidak ditanggulangi secara hukum.



D. Upaya Penanggulangan Kejahatan Telematika

Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan telematika seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Pihak kepolisian Indonesia telah membentuk suatu unit penanggulangan kejahatan telematika dengan nama Cybercrime Unit yang berada di bawah kendali Direktrorat Reserse Kriminal Polri. 

Selain melakukan upaya dengan mengkriminalisasikan kegiatan di cyberspace dengan pendekatan global, Pemerintah Indonesia sedang melakukan suatu pendekatan evolusioner untuk mengatur kegiatan-kegiatan santun di cyberspace dengan memperluas pengertian-pengertian (ekstensif interpretasi) yang terdapat dalam Konsep KUHP Baru. Artinya, Konsep KUHP Baru sebelumnya tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait dengan kegiatan di cyberspace sebagai delik baru. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan yang ditempuh dalam Konsep KUHP Baru yang berkaitan dengan kegiatan cyberspace antara lain (1) dalam Buku I (ketentuan umum) dibuat ketentuan mengenai (a) pengertian “barang” (Pasal 174) yang di dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atas jasa komputer. (b) pengertian “anak kunci” (Pasal 178) yang di dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. (c) pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik lainnya. (d) pengertian “ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu oleh pelaku. (e) pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. (f) pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. (2) dalam Buku II memuat delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi dengan harapan dapat menjaring kasus-kasus cybercrime antara lain (a) menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263), (b) memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar atau merekam pembicaraan (Pasal 264), (c) merekam (memiliki) atau menyiarkan gambar dengan alat bantu teknis di ruangan tidak untuk umum (Pasal 266), (d) merusak atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana atau prasarana pelayanan umum, seperti bangunan telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh (Pasal 546), dan (e) pencucian uang (Pasal 641 – 642).

Usaha yang dilakukan di atas adalah melalui regulasi undang-undang dengan menggunakan sarana penal, yakni memperluas pengaturan cyberspace dalam Konsep KUHP Baru dan telah membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah pengkajian lebih intensif terhadap masalah yang hendak dikriminalisasikan sebagai upaya penanggulangan kejahatan telematika. Persyaratan pokok adalah kerugian korban yang signifikan dengan perbuatan pelaku. Ketentuan pidana harus dapat dioperasionalkan dan keyakinan bahwa tidak ada sarana lain yang betul-betul dapat mengatasinya.

Meskipun hukum pidana merupakan sarana terakhir (ultimum remedium), tetapi hukum pidana bukanlah alat yang cukup ampuh untuk menanggulangi kejahatan telematika karena penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana hanya pengobatan simptomatik sehingga dibutuhkan sarana lain yang bersifat non penal. Sarana non penal ini dapat dilakukan melalui saluran teknologi (techno-prevention) pada pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan itu sendiri yang dapat digunakan manusia, baik untuk tujuan baik maupun jahat. Pendekatan budaya ini dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan tinggi warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap setiap masalah cybercrime dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer yang baik melalui media pendidikan. Pentingnya pendekatan ini adalah dalam upaya mengembangkan kode etik dan perilaku (code of behaviour and ethics) dalam pemakaian teknologi internet. Pendekatan non penal ini diharapkan dapat mengurangi pelanggaran hukum yang menggunakan sarana teknologi sebagai bentuk pencegahan kejahatan.



E. Penutup



1. Kesimpulan

      Dampak buruk teknologi yang disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab menjadi masalah hukum pidana dan menjadi ancaman keamanan nasional. Oleh karena itu harus segera ditanggulangi melalui sarana penal yang dapat dilakukan oleh penegak hukum kepolisian. Namun perkembangan teknologi digital tidak akan dapat dihentikan oleh siapapun, karena telah menjadi “kebutuhan pokok” manusia modern yang cenderung pada kemajuan dengan mempermudah kehidupan masyarakat melalui komunikasi dan memperoleh informasi baru. Dampak buruk teknologi menjadi pekerjaan rumah bersama yang merupakan sisi gelap dari perkembangan teknologi yang harus ditanggulangi. Mengingat kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok dunia, termasuk kepedesaan di Indonesia, maka dampak buruk teknologi yang menjadi kejahatan telematika pada masa depan harus ditanggulangi dengan lebih hati-hati, baik melalui sarana penal maupun non penal agar tidak menjadi masalah kejahatan besar bagi bangsa.



2. S a r a n


      Untuk Menanggulangi kejahatan teknologi telematika yang dapat mengancam keamanan nasional, maka diberikan saran sebagai berikut;

a.  Melaksanakan dengan tegas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Meningkatkan profesionalisme aparat hukum tentang penggunaan tehnologi tinggi.

c. Melakukan pengawasan dan control ketat terhadap arus informasi di internet.

d. Meningkatkan budaya dan etika menggunakan komputer dan teknologi telematika kepada masyarakat.


(Fajar Purwawidada, MH.,MS.c)



DAFTAR PUSTAKA


Al Wisnubroto. Cybercrime Permasalahan dan Penanggulangan dari Aspek Hukum Pidana.    Diskusi Bagian Kepidanaan FH UMY.Yogyakarta. 6 Juli 2000.



Magfirah, Esther Dwi. Kriminalitas di Intenernet. Dikutip dari http://www. google.com. Diakses  pada tangal 2 Oktober 2011.



Mulyanto, Edy dkk. Bedah Buku Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber   Crime di Indonesia, Karangan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief.S.H Guru Besar Fakultas Ilmu Hukum Undip Semarang pada tanggal 12 September 2006.



Mursito, Danan dkk. 2005. Pendekatan Hukum untuk Keamanan Dunia Cyber serta Urgensi  Cyber Law bagi Indonesia. Makalah Program Studi Teknologi Informasi Program    Magister Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dikutip dari            http;//www.yahoo.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2011.



Nawawi Arief, Barda. Kriminalisasi Kebebasan Pribadi dan Pornografi/Pornoaksi dalam   Prespektif kebijakan Hukum Pidana, Makalah. Disajikan pada Seminar. Kriminalisasi           Atas Kebebasan Pribadi Dan Pornografi / Pornoaksi. Diselenggarakan atas kerja sama       FH UNDIP dengan KOMNAS HAM, di Hotel Graha Santika Semarang, 20 Desember        2005.



Ramli, Ahmad M. 2004. Prinsip-Prinsip Cyber Law Dan Kendala Hukum Positif Dalam Menanggulangi Cyber Crime. Bandung: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas         Padjadjaran.


Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2008,  www.legalitas.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar