Sabtu, 27 September 2014

KELOMPOK TERORIS POSO - BIMA

KELOMPOK MUJAHIDIN INDONESIA TIMUR (SANTOSO)



SADISME KELOMPOK SANTOSO MULAI MENIRU PERILAKU ISIS

Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah saat ini merupakan jaringan teroris paling eksis dan militan di Indonesia. Kelompok ini sebagai regenerasi dari kelompok Solo sebelumnya. Gerakan berpusat di daerah Poso namun jaringannya meluas ke berbagai daerah di Indonesia, baik di Jawa hingga ke Bima. Santoso yang sebelumnya hanya sebagai simpatisan dari kelompok teroris Abu Umar dan Abu Tholut, kini setelah kedua tokoh tersebut tertangkap berperan menjadi  tokoh sentral baru dalam jaringan teroris di Indonesia. Hampir aksi-aksi teror di berbagai daerah akhir-akhir ini dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memiliki afiliasi dengan kelompok MIT. Mulai kelompok Farhan, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat), Dayat hingga kelompok Thoriq. 

MIT juga merupakan kelompok utama pendukung gerakan ISIS Indonesia yang heboh belakangan ini. Banyak anggota dan Santoso sendiri melakukan baiat mendukung gerakan ISIS. MIT akan menggunakan ISIS sebagai ideology baru dalam perjuangan kelompoknya, yaitu dengan meniru dan mengadopsi cara-cara kekerasan yang dianggap sukses dilakukan ISIS di Iraq dan Suriah. Dengan melakukan tindakan kekerasan; berupa sadisme pembunuhan, penjarahan dan perampokan ISIS telah berhasil menguasai berbagai daerah strategis dan mengklaimnya sebagai daulah Islamiyah yang baru. Pola ini nampaknya yang akan ditiru dan diadopsi oleh kelompok MIT, dengan menebarkan kekerasan dan ketakutan di masyarakat sehingga dapat dijadikan upaya pemaksaan terhadap tujuan yang hendak dicapai. 

Buktinya adalah beberapa waktu yang lalu kelompok MIT melakukan pembunuhan terhadap M. Fadli (50) di desa Taunca Padalembara, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Fadli dibunuh dengan cara digorok di depan rumahnya sendiri. Alasannya ia dianggap sebagai informan aparat, yang memberikan informasi terkait gerakan kelompok MIT. Perbuatan ini sungguh perbuatan sadis dan kejam. Ada indikasi bahwa kesadisan itu ditiru dari perbuatan kelompok ISIS yang dengan kejam pula membantai tawanan, termasuk mengeksekusi wartawan asing.

Dengan mengadopsi ideology kekerasan itu, maka kelompok MIT tentu kedepan akan lebih agresif dan berani melakukan kekerasan / sadisme dalam aksi-aksi terornya, karena menganggap cara-cara demikian adalah dibenarkan dalam perjuangannya seperti halnya kelompok ISIS.

Selain itu MIT terus berupaya mengembangkan jaringannya hingga sampai di Bima. Setelah Poso dijadikan “Tanah Suci” bagi kelompok MIT, kini Bima sepertinya akan dijadikan sasaran untuk wilayah perluasan kekuasaan. Terbukti dari beberapa kasus terorisme di Bima belakangan ini, seringkali terhubung dengan kelompok MIT. 

Sebagai contoh pada 20 September 2014, pukul 16.00 WITA buronan teroris Adnan alias Deo alias si Kancil alias Nurdin ditembak mati dalam penyergapan di rumah orang tuanya, Abdullah Seno, Dusun Kala Timur, Desa Oo Dompu. Nurdin terlibat dalam pelatihan paramiliter di Poso bersama Santoso, serta menyiapkan tempat pelatihan di Dompu untuk kelompok Roy Makassar. Dalam penyergapan tersebut ditemukan dua bom yang berhasil dijinakkan, mengamankan barang bukti berupa; uang Rp. 2.162.000,- , dompet warna hitam, satu HP Mito warna putih dan kaus ISIS warna hitam, satu hand phone Nokia dalam keadaan rusak, dan satu lembar kain putih bertuliskan ayat Al Quran. Diamankan pula satu keeping VCD, satu seluler LG warna hitam, empat buah kartu Simpati dan satu kartu XL serta satu buah charge Nokia.

Bima saat ini menjadi perhatian aparat untuk terus mengungkap jaringan teroris MIT. Selain menembak mati Nurdin, aparat juga berhasil menangkap lima terduga teroris. Tiga orang diantaranya diketahui sebagai buronan Poso. Penyergapan berdasarkan pengembangan kasus penangkapan buronan Juwait alias Herman alias David di desa Sai Kabupaten Bima. Ia diduga ikut pelatihan paramiliter di Poso bersama Santoso pada Maret 2013. Selain itu, bersama kelompok Roy Makassar, Gondong berangkat dari Poso ke Bima untuk pelatihan paramiliter.

Selain itu pada waktu yang sama ditangkap juga Juned alias Gun di desa Sai, Kabupaten Bima dan Dedi Irawan alias Irawan di Wera pada pukul 17.00 WITA. Kemudian berhasil ditangkap Samil alias Salman di rumahnya di Panaraga, Kota Bima. Samil juga terlibat dalam akstivitas jaringan teroris di Bima.

ANALISIS

Berdasarkan perkembangan kasus di Bima, maka tidak heran apabila beberapa waktu yang lalu  ditemukan dukungan terhadap ISIS di wilayah Bima. Dukungan tersebut kuat dugaan dilakukan oleh kelompok jaringan Santoso di Bima. Sebagaimana analisis bahwa ideology ISIS banyak mendapatkan simpati dari kelompok Islam radikal di Indonesia. Saat ini kelompok Santoso terus berupaya menyebarkan pengaruh dan jaringannya di wilayah Indonesia Timur. Wilayah Timur menjadi incaran pengembangan jaringan kelompoknya kemungkinan karena wilayah Timur masih jarang mendapatkan perhatian dari aparat, dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Kondisi wilayah yang secara geografis bergunung-gunung dan penduduk yang masih jarang dianggap lebih cocok untuk mendirikan tempat pelatihan paramiliter teroris yang aman, seperti halnya di Poso. Adanya kelompok-kelompok Muslim minoritas yang termarjinalkan di wilayah itu, dengan tingkat pendidikan yang rendah akan memudahkan memasukkan faham dan doktrin ideology mereka. Wilayah Timur seperti Bima nampaknya akan dijadikan basis pelatihan dan pengkaderan seperti halnya tempat pelatihan paramiliter di Janto, Aceh Besar yang telah diporak-porandakan aparat. Tetapi dari wilayah Timur itu kemudian mereka akan melalukan aksi-aksi terornya di wilayah Tengah dan Barat, yaitu tempat atau kota-kota yang memiliki nilai strategis untuk dijadikan target terornya. 

Dengan mengadopsi ideology ISIS yang dengan terang-terangan mereka dukung, kedepan yang sangat mengawatirkan ialah semakin militan dan sadisnya kelompok teroris di Indonesia. Mereka semakin kehilangan akal sehat dan hati nurani dengan tidak segan-segan membantai targetnya. Tidak hanya sekedar membunuh secara biasa, tetapi lebih mengarah pada sadisme dan pembantaian. Dengan dipublikasikan secara masif di media visual cara-cara ISIS membantai tawanan dengan sadisnya dan kemudian cara-cara seperti itu yang dianggapnya boleh dan tepat untuk dilakukan teroris di Indonesia untuk menebarkan ketakutan dan memaksakan tujuannya. Kesamaan tujuan dan ideology yaitu mendirikan daulah Islamiyah (Negara Islam) menjadi perekat semangat dan dukungan diantara mereka. Dibuktikan dengan ditangkapnya empat warga negara Turky di Poso yang diindikasikan sebagai upaya untuk memberikan bantuan dan dukungan terhadap kelompok ISIS di Indonesia. Apabila tidak segera diatasi maka kelompok MIT dan pengaruh sadisme ISIS akan menjadi ancaman yang serius di kemudian hari.

REKOMENDASI

Dari uraian di atas dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut.

1. Secepat mungkin menangkap Santoso alias Abu Wardah pimpinan Mujahidin Indonesia Timur.
2. Menumpas gerakan teroris MIT dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat terutama di Poso.
3. Menghentikan pengaruh ISIS dan faham radikal fundamentalis di Indonesia dengan pengawasan sosial media dan peranan ulama serta tokoh masyarakat.
4. Penegakan hukum dan pencegahan terhadap upaya-upaya kelompok atau perorangan yang akan melakukan tindakan radikalisme.
5. Melarang gerakan upaya pembentukan Negara Islam Indonesia dan memasukkannya dalam gerakan subversi yang mengancam eksistensi NKRI, Pancasila, UUD1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)



Senin, 22 September 2014

PILKADA LANGSUNG / TIDAK LANGSUNG ??


DEMOKRASI ONE MAN ONE VOTE ?

DEMOKRASI jangan hanya berpandangan identik dengan Pemilu dan Pilkada saja. Sesungguhnya bicara demokrasi tidak terlepas adanya popular control yaitu kontrol masyarakat terhadap setiap kebijakan dan pekerjaan pemerintah. Karena relevansi dari demokrasi adalah terwujudnya welfare / kesejahteraan. Dalam negara berdemokrasi rakyat harus memiliki akses untuk dapat mengontrol terhadap resource dan kesanggupan pemerintah negara untuk dapat memenuhi public goods yang merupakan nilai-nilai dasar kebutuhan citizenship / warga negara. Karena memang tujuan dibentuknya suatu negara adalah untuk menjamin ketersediaan resource dan welfare bagi warga negaranya.

Demokrasi bukan merupakan goal, tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Pemilu dan Pilkada dengan sistem one man one vote tidaklah dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi di Indonesia. Apalagi dengan pelaksanaannya yang penuh dengan kecurangan dan politik uang. Sistem one man one vote juga tidak dapat dikatakan sebagai sikap yang demokrasi karena bagaimana mayoritarian dapat menguasai minoritas, dan tidak adanya tempat dan terwakili bagi minoritas. Sistem ini sungguh tidak sesuai dengan demokrasi ideologi Pancasila yang bercirikan kolektif dalam musyawarah mufakat. Sehingga apabila selama ini pemerintah telah berulang kali menyatakan keberhasilan pelaksanaan demokrasi melalui Pemilu dan Pilkada sebenarnya merupakan pengerdilan terhadap demokrasi itu sendiri.

Demokrasi berupa proseduralis dan substantif, tetapi dalam kenyataannya sistem demokrasi di Indonesia baru bersifat proseduralis. Sedangkan substantifnya masih jauh dari yang diharapkan. Di dalam demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, adanya informasi yang menyangkut kebijakan yang dijalankan pemerintah merupakan hal yang sangat penting. Dari Informasi maka memungkinkan adanya popular control atau ikut sertanya rakyat dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Popular control itulah sebenarnya hakekat demokrasi yang sesungguhnya.

Saat ini pemerintah hanya mengejar predikat “Negara Paling Demokratis se-Dunia”. Penilaian itu dianggapnya sebagai prestasi yang gemilang di dunia. Tapi sesungguhnya Pemilu yang diselenggarakan masih hanya sebatas procedural, seperti disebutkan di atas. Apakah hasilnya benar-benar demokratis? Dengan memaksakan sistem Pemilu saat ini (Nasional dan Daerah) banyak hal yang menjadi kosekwensi. Misalnya masalah dana; dana untuk pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per Pemilihan Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 Triliun. 

Berdasarkan data hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi. Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 Pilkada, atau minimal rata-rata 44 Pilkada per tahun, atau sekiar 1 Pilkada per Minggu. 

Ini merupakan data yang luar biasa. Betapa mahal dan lelahnya demokrasi di Indonesia. Masyarakat sesungguhnya lelah politik akibat prosedural demokrasi yang diterapkan. Energi masyarakat dan negara habis tersita hanya untuk mengejar predikat negara paling demokratis se-dunia. Lebih mengecewakan lagi Pemilu itu hanya menghasilkan pejabat-pejabat aktor korupsi yang justru menderitakan rakyat. Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus

Belum lagi dampak konflik horizontal yang diakibatkan Pemilu di berbagai daerah. Kerugian jiwa dan harta begitu besar. Aparat pun lelah terkuras energinya hanya untuk menanggulangi bentrokan dan demonstrasi yang tiada habisnya. Apakah demokrasi ini yang kita harapkan. Pasti ada yang salah dengan demokrasi dan sistem Pemilu kita.

(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)