Kamis, 22 Juli 2021

KELEMBAGAAN SIPIL-MILITER DALAM MERUMUSKAN KEAMANAN NASIONAL

 



1.  PENDAHULUAN

Perkembangan Ancaman terhadap Negara saat ini menjadi sedemikian kompleksnya. Bukan hanya mengancam terhadap ketertiban masyarakat saja, tetapi jauh lebih luas yaitu ancaman terhadap kedaulatan sebuah Negara. Pemikiran Keamanan Nasional haruslah dalam rangka mempertahankan tegaknya Negara dan pemerintahan, tidaklah hanya membentengi pertahanan terhadap serangan militer musuh dari luar, tetapi keamanan dalam negeri juga harus terjamin. Sebab kacaunya keamanan dalam negeri dapat menyebabkan Negara keropos dari dalam dan akhirnya dapat tumbang dengan sendirinya.

Potensi ancaman yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan strategis global, regional dan domestik. Di tingkat global, dinamika lingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara negara-negara besar (great power) yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia dan negara-negara Eropa (Uni Eropa). Sementara di tingkat regional, beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap penguasaan pasar, jalur ekonomi dan sumber daya alam terutama di wilayah-wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan tersendiri. Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman krisis ekonomi dan lemahnya sistem penegakan hukum. Persoalan lain yang juga mengemuka di tingkat regional adalah terorisme.

Ancaman militer sebagai bagian dari dimensi ancaman muncul perspektif  baru: human security. Berbeda dari perspektif sebelumnya melihat negara sebagai unsur yang paling penting, sedangkan "human security" melihat pentingnya keamanan manusia. Dalam perspektif ini kesejahteraan warga negara merupakan sesuatu yang diutamakan. Ruang lingkup keamanan tidak lagi terbatas pada dimensi militer. Istilah-istilah lain yang kemudian muncul misalnya keamanan lingkungan (environmental security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi (economic security) menunjukkan bahwa suatu entitas sosial dan/atau politik kelak menghadapi ancaman dari berbagai bidang kehidupannya. Menjadi suatu ironi dan kesalahan fatal, di mana bangsa yang sebesar Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu landasan legal formal berupa undang-undang Keamanan Nasional.

 2.  PERMASALAHAN

Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana merumuskan Keamanan Nasional dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia?

 3.  ANALISA DAN PEMBAHASAN

Adanya kesalahan pemahaman tentang “Keamanan” yang diartikan menjadi pemahaman sempit hanya sebagai pemahaman keamanan dalam rangka ketertiban masyarakat. Keamanan Nasional dalam hal ini “National Security” harus dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan nasional Indonesia yaitu tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945 serta terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional.

Kefatalan yang mencolok ialah dikotomi pemisahan secara tegas kedua institusi keamanan dan pertahanan, dimana keamanan menjadi tugas dan wewenang kepolisian sedangkan pertahanan menjadi tugas dan wewenang TNI. Pemahaman yang sempit ini dampak dari kebijakan emosional pasca reformasi. Dimana pasca reformasi menjadi suatu gerakan yang anti terhadap TNI yang menganggapnya TNI bagian dari Orde Baru. Sikap Apriori terhadap TNI bahkan oleh elit politik dan pemerintah akhirnya melahirkan kebijakan yang bersifat memasung dan memberangus peranan TNI dan sebaliknya memberikan peranan pada institusi Kepolisian yang seluas-luasnya dengan memaknai “Keamanan” sebagai fungsi keamanan biasa yang sering difungsikan oleh Kepolisian.

Kebijakan dengan diterbitkannya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri menjadi tonggak perseteruan wilayah tanggung jawab “Keamanan Nasonal”. Dimana pada TAP tersebut pasal 1 menyebutkan bahwa TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Pada pasal 2 disebutkan bahwa TNI adalah alat Negara yang berperan dalam pertahanan Negara; Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan; dan dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.

Peran TNI dan Polri menyebutkan bahwa pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketahanan nasional dengan menghimpun, menyiapkan dan mengerahkan kemampuan nasional yang menempatkan rakyat sebagai kekuatan dasar. Alat Negara yang berperan utama menyelenggarakan pertahanan Negara berupa Tentara Nasional Indonesia. TNI berperan sebagai komponen utama dalam system pertahanan Negara. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagai tindaklanjut maka disahkan UU No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara, UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri. UU No.2 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa “Peraturan Kepolisian adalah  segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 menyebutkan bahwa “Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasiaonal dalam rangka terciptanya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lain yang dapat meresahkan masyarakat. Pasal 6 menyebutkan bahwa “Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan pada UU No.34 2004 tentang TNI pasal 5 disebutkan bahwa “Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara, disususn dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan. Pasal 6 disebutkan “Sistem pertahanan Negara adalah system pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga Negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan dan berkelanjutan untk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahanakan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman”.

Pemahaman yang ambigu dan tidak konsisten terhadap pemaknaan “Keamanan“ antara Keamanan Nasional dengan keamanan dan ketertiban masyarakat pada landasan perundang-undangan tersebut telah menyediakan lahan abu-abu sebagai wilayah Keamanan Nasional. Padahal pada tahun 60-an Jenderal Nasution telah mengingatkan bahwa “Pada saat ini sudah tidak ada lagi pembedaan antara Keamanan (Keamanan Nasional) dan Pertahanan Negara, karena setiap ancaman keamanan dari dalam selalu diboncengi ancaman dari luar. Maka keamanan dan pertahanan itu menjadi satu sekarang dengan apa yang disebut Kemanana Nasional”.

Dampak dari perundang-undangan terkait pemisahan fungsi pertahanan-keamanan menimbulkan ego sektoral antar institusi. Menganggap bahwa segala ancaman dari dalam (Keamanan Nasional) hanya menjadi bagian tugas Polri, sehingga mengakibatkan Polri menjadi insitusi yang super body dengan kewenangan luar biasa langsung di bawah Presiden. Sedangkan TNI hanya menjadi bagian kementerian pertahanan yang mengurusi ancaman dari luar. Apabila melihat beberapa dari definisi yang telah ada tentang Keamanan Nasional, semisal menurut Burry Busan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde (1998) menyebutkan ada dua dimensi pemahaman national security, yaitu Classical Security Complex Theory (CSCT) dan Regional Security Complex Theory (RSCT). Dua dasar pikiran dari national security, yaitu:

a. Securitization. Sekuritisasi didefinisikan dalam pendekatan “radically constructivist” yang menyatakan bahwa ancaman mempunyai makna social—threats are socially constructed. Artinya, meskipun secara militer tidak dianggap mengancam keamanan, namun jika secara sosial dianggap mengancam keamanan, maka yang bersangkutan dapat dikenakan tindakan security. Jadi Buzan melihat keamanan dalam konteks “obyektif” dari “ancaman yang riil”, melainkan secara subyektif.

b. Sectoral analysis. Analisis sektoral memahami bahwa security melampaui makna politik-militer, namun mencakup pula ekonomi, sosial dan lingkungan. Meski tidak dianggap sebagai ancaman langsung, namun berpotensi mengarah kepada ancaman militer. Analisis sektoral digunakan untuk mensimplifikasi proses analisis dengan melihat suatu ancaman sebagai kesatuan holistic yang dilihat dalam system dan sub-sistem dimana ancaman tersebut mungkin berkembang.

Menurut buku putih Dewan Ketahanan Nasional (2010) bahwa telah terjadi pergeseran paradigma konsep keamanan nasional, dari konsep yang semula berorientasi kepada state centered security bergeser dan meluas sehingga orientasinya mencakup state centered security dan people centered security. Konsekuensinya, konsep keamanan nasional menjadi bersifat komprehensif, atau tidak bersifat tunggal, melainkan majemuk, sehingga pengelolaannya menjadi tanggung jawab kolektif. Demikian pula Sayidiman Suryohadiprojo yang mendefinisikan system kemanan nasional sebagai system yang mewujudkan situasi dan kondisi kemampuan bangsa dalam melindungi semua system kehidupan nasionalnya, yang didasarkan pada system nilai internalnya sendiri, terhadap setiap ancaman dan tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Jadi dari berbagai definisi keamanan nasional di atas maka pemahaman Keamanan Nasional atau Nasional Security sangat luas tidak hanya sebatas keamanan dan ketertiban masyarakat. Mencakup segala aspek keamanan dalam negeri yang holistic untuk kepentingan nasional. Pemahaman nasional interest perlu dipahami sebagai konsep yang lebih pada ranah politik nasional daripada hubungan internasional. Demikian pula akhirnya pada pemahaman yang relevan tentang Keamanan Nasional, khususnya untuk konteks Indonesia. Keamanan nasional mempertanyakan tentang sesuatu yang perlu dipertahankan, sehingga ia berkenaan dengan dua pertanyaan dasar what is that we seek to defend? Dana why do wish to defend it? (Cleary, 2000:31). Ini berkenaan dengan “kepentingan nasional”. Karenanya, sebelum merumuskan tentang kebijakan keamanan nasional, maka pertama-tama perlu dipahami bahwa isu ini berkenaan dengan kepentingan nasional.

Kepentingan nasional bukan kepentingan publik. Kepentingan nasional mempunyai dua ciri, yaitu pertama, merupakan seperangkat tujuan Negara yang diperjuangkan dalam persaingan dunia dan bukan kepentingan domestik. Kedua, merupakan kepentingan strategis dengan fokus pada militer dan ekonomi (Nuechterlein, 2000). Hartman mengemukakan dua jenjang kepentingan nasional, yaitu pertama kepentingan nasional vital, kepentingan yang harus dimiliki oleh Negara manapun; hal-hal dasar yang turut mempertahankan eksistensi Negara tersebut seperti kemerdekaan Negara, menjaga keutuhan integrasi wilayah ataupun keamanan bagi warganya. Kepentingan nasional vital merupakan perwujudan Negara sebagai sebuah Negara hidup yang memiliki nyawa. Kedua, kepentingan nasional secondary perpanjangan dari kepentingan nasional vital, dan bersifat kompromi, dalam arti tidak akan mengancam kehidupan dasar Negara apabila tidak dipatuhi.

Sedangkan Nuechterlein (1979:79-80) mengemukakan empat jenjang kepentingan nasional. Pertama, kepentingan survival, yang merupakan kepentingan hidup-mati suatu Negara, berkenaan dengan ancaman militer yang mengancam militer yang mengancam wilayahnya, atau dapat dikatakan sebagai ancaman yang mematikan. Kedua, kepentingan vital, yang berkenaan dengan ancaman yang menciptakan kerusakan yang mengganggu kesinambungan hidup Negara. Ketiga, kepentingan major, berkenaan dengan kepentingan politik, ekonomi dan kesejahteraan yagn dipengaruhi oleh interaksi dengan Negara lain. Keempat, kepentingan peripheral, berkenaan dengan kesejahteraan Negara yang tidak dipengaruhi oleh interaksi dengan Negara lain.

Dalam Buku Putih Kemhan, memilih tiga jenjang kepentingan nasional, yaitu ;

a.  Mutlak : tetap tegaknya NKRI.

b.   Vital : Keberlanjutan pembangunan nasional

c.   Utama : perdamaian dunia dan stabilitas regional.

Menurut Riant Nugroho (2014) dalam merumuskan Keamanan nasional pertama-tama harus membangun pemikiran atau kerangka berfikir perumusan kebijakan keamanan nasional. Pendekatan yang digunakan adalah sekuensi: pengumpulan kembali informasi, untuk menciptakan pemahaman, baru kemudian mengembangkan kerangka kebijakan yang lebih mantap. Informasi menghasilkan premis-premis tentang keamanan nasional, yaitu:

a. Keamanan Nasional adalah keperluan untuk memelihara kelangsungan hidup satu bangsa.

b. Keamanan Nasional adalah bagian dari ketahanan nasional.

c. Keamanan Nasional adalah kepentingan nasional (the signified what is the most important to the state-survival being at the top of the list).


Hubungannya adalah jika keamanan nasional begitu penting (Bukan sekedar ketertiban domestic seperti banyak pemahaman saat ini) maka sudah pasti keamanan nasional adalah kebijakan public. Bahkan, keamanan nasional adalah “kebijakan publik inti”. Karena itu masalah genting secara aturan kelembagaan bagi Indonesia adalah:

a.   Kita belum punya kebijakan keamanan nasional

b. Kita salah mengerti tentang keamanan nasional dan berdebat tidak ada habisnya, sementara Negara lain memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan mereka.

Untuk itu, perlu mempunyai pemahaman yang lebih memadai tentang keamanan nasional, melalui tiga cara:

a.   Memahami dengan baik makna “Keamanan Nasional” dan menyepakatinya

b.   Merumuskan “kebijakan”nya

c.    Menjadikan sebagai “jangkar keunggulan Negara bangsa”

Pemahaman mikro tentang Keamanan Nasional adalah tentang peran masing-masing lembaga kunci keamanan nasional, khususnya antara TNI dan Polri; Pada saat keamanan nasional pada kondisi “menghadapi tantangan” dan “menerima hambatan”, maka mesin yang bergerak pertama kali adalah Polri dan rakyat, dimana rakyat mempunyai peran lebih besar. Pada saat berada pada konteks “gangguan”, maka ketika gangguan sudah berkenaan dengan keselamatan bangsa, termasuk di dalamnya terorime, TNI mulai berperan, sementara Polri memberikan mendukungan. Pada konteks “ancaman”, maka TNI yang menjadi mesin utamanya didukung oleh Polri dan seluruh rakyat, khususnya Komponen Cadangan.

Maka pemahaman keamanan nasional berubah dari sekedar TNI bersama Polri menjadi empat pilar: TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, pemahaman atas isu Keamanan Nasional bukan masalah sengketa “Polri” atau “TNI” karena “terlalu besar” untuk diurus Polri sendirian, ataupun TNI.

Pelaksana dari Keamanan Nasional adalah empat pilar : TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri. TNI sebagai fungsi alat perang, Polri sebagai alat ketertiban, Kemdagri sebagai alat politik domestik dan Kemlu sebagai alat diplomasi internasional. Keamanan Nasional akan terwujud bila ada sinergi dari keempat pilar ini.

Pada jenjang makro, maka kebijakan keamanan nasional berkenaan dengan kepentingan nasional yang lebih besar. Pemahaman yang dikembangkan adalah, pertama, Keamanan Nasional adalah urusan seluruh bangsa, lebih dari keempat pilar tadi; kedua, secara operasional Keamanan Nasional adalah urusan pertama dan utama dari Presiden NKRI. Dengan demikian pemahaman kebijakan keamanan nasional adalah kebijakan ang pro-aktif, yaitu:

a.   Melindungi kepentingan NKRI.

b.   Kepentingan NKRI adalah;

1)   Memastikan keutuhan kedaulatan Negara dan bangsa, secara ideology, politik, ekonomi, social dan budaya.

2) Memastikan setiap rakyat Indonesia dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraannya, baik di dalam lingkungan nasional atau domestic maupun internasional atau global (Nugroho R, 2014).

Meskipun sudah ada MOU dan pasal tentang kerjasama dan perbantuan TNI terhadap tugas keamanan Polri, tetapi tetap saja ada ego sektoral terhadap domain dan otoritas terhadap tugas “keamanan” itu sendiri. Oleh karena itu dengan terbukanya pemahaman tentang makna dari Keamanan Nasional atau “Nasional Security” di atas perlu kerja sama semua elemen bangsa dalam menjaga keamanan nasional. Tidak cukup hanya dijalankan oleh Polri saja. Melihat fenomena ancaman keamanan saat ini yang kompleks, terutama yang bersumber dari masalah ideology yang semakin kronis dan keroposnya Negara dari dalam, maka perlu adanya suatu institusi yang menaungi masalah Keamanan Nasional ini. Seperti suatu Dewan Keamanan yang terdiri dari empat pilar; TNI, Polri, Kemdagri dan Kemlu. Sudah tidak saatnya lagi berfikir sektoral untuk mengurus Keamanan Nasional.

4. KESIMPULAN

Dari pembahasan di tas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya dalam hubungan sipil-militer di Indonesia tidak ada konsep civilsuprimacy (supremasi sipil). Dalam merumuskan kebijakan-kibijakan public termasuk merumuskan konsep Keamanan Nasional merupakan kepentingan dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Bukan hanya domain Polri atau TNI saja. Pemisahan fungsi keamanan dan ketahan merupakan kesesatan berfikir dampak dari politik emosional reformasi. Dampaknya luar biasa menjadikan munculnya ego sektoral dan monopoli security. Oleh karena paradigm tersebut harus dirubah. Bahwa tidak ada lagi  supremasi sipil tetapi yang ada adalah antara komponen bangsa sipil-militer harus bersama-sama dan bahu- membahu dalam membangun bangsa. Militer dalam mengacu konsep pemikiran hubungan Sipil-Militer harus mengacu pada jati diri bangsa yaitu TNI adalah tentara rakyat. Artinya adalah selalu timbul tenggelam untuk ikut serta membatu kesulitan rakyat dan bersama-sama membangun bangsa. Bukan profesionalisme kembali ke barak seperti yang diajarkan pada teori-teori Barat tentang supremasi sipil. Profesionalisme dalam teori bukan hanya  focus dalam pengertian satu fungsi saja. Tetapi dapat juga berarti bahwa sesuatu lembaga yang memiliki banyak fungsi yang lebih unggul dan dapat mendistribusikan fungsi-fungsinya tersebut terhadap yang lain untuk membantu kesulitan yang membutuhkan.

5. PENUTUP DAN REKOMENDASI

Demikian tulisan ini dibuat untuk memberikan sebuah pemikiran tentang hubungan siip-militer dalam merumuskan Keamanan nasional. Rekomendasi yang dapat diberikan untuk kebijakan selanjutnya adalah :

1. Perlu segera di pemerintahan yang baru ini untuk merumuskan kembali RUU KEAMANAN NASIONAL dan kemudian mengesahkannya sebagai pijakan legal formal dalam menegakkan keamanan nasional NKRI. RUU Keamanan Nasional sangat penting untuk pijakan kebijakan-kebijakan keamanan berikutnya termasuk RUU KOMPONEN CADANGAN.

2. Membentuk Badan khusus seperti Dewan Keamanan yang merupakan badan yang terdiri dari gabungan komponen bangsa untuk menjalankan fungsi Keamanan Nasional, misalnya terdiri : TNI, Polri, Kemhan, Kemdagri, Menlu dan sebagainya.

3. Merumuskan kembali pemahaman tentang Keamanan Nasional dalam perundangan, kelembagaan dan masyarakat sehingga tidak tersesat dalam mendefinisikannya seperti saat ini.

4.  Menghilangkan pemahaman tentang supremacy sipil (supremasi sipil) karena bukan jati diri bangsa. Kekuasaan ditangan rakyat bukan berarti supremasi sipil. Merupakan kesesatan berfikir karena secara filsafati berbeda antara menyebut rakyat dan dekotomi sipil. Rakyat merupakan seluruh komponen yang menjadi syarat negara, sedang sipil akan menimbulkan sektoral sipil-militer.

 

 

 

 

 

REFERENSI

Suryo Hadiprojo, Sayidiman, 2010, Si Vis Pacem Para Belum: Membangun Pertahanan Negara yang Modern dan fektif, Jakarta, Pustaka Intermasa.

Clerary, Laura R., 2006, “Political Direction: “The Essene of Democratic Civil and Civilian Control”, dalam Cleary & Mv Conville, ed, 2006, Managing Defense in A Democracy, London-New York: Routledge.

Nuechterlein Donald, 2000, National Secucrity” Univercity of Virginia, to the Naval Air Executive Seminar on National Security, November 7, 2000.

Nugroho,2014, National Security Policy, Pustaka Pelajar, Jakarta

Donald E. Nuechterlein, 1979, The Concept of National Interest: A Time for New Approaches, Orvis, 23, Spring 1979.

Buku Putih Dewan Ketahanan Nasional, 2010.

MENGUATNYA KOMUNALISME DAN RADIKALISME BERDASAR AGAMA

 


Prof. Dr. Drs. Pratikno, M.Soc.Sc.


Terbitnya buku saudara Fajar Purwawidada berjudul Jaringan Baru Teroris Solo dan Implikasinya terhadap Keamanan Wilayah dan Upaya Penanggulangannya ini memberi kontribusi bermakna bagi pemahaman mengenai kompleksitas fenomena gerakan radikal dilabeli Islam yang tumbuh subur pada periode pasca-Soeharto.  Runtuhnya rezim otoriter ‘Orde Baru’ memang menyediakan political opportunity structure  bagi muncul dan menyuburnya gerakan radikal yang bergerak di ranah underground pada masa-masa sebelumnya. Memfokuskan diri pada gerakan ‘teroris’ di Solo sebagai studi kasus, hasil riset di program pasca pasca sarjana Ketahanan Nasional UGM ini memberikan gambaran mengenai ancaman terhadap pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Tidak cukup di situ, Fajar juga merumuskan sejumlah strategi penanganan terhadap maraknya gerakan radikal teroris berlabel agama tesebut.

Memang, salah satu tantangan serius dari proyek demokratisasi di Indonesia pasca Suharto adalah menguatnya komunalisme dan radikalisme berdasar agama yang pada gilirannya mengancam realitas pluralitas dan multikulturalitas di bumi Nusantara ini. Sementara komunalisme telah mengeraskan sentimen-sentimen komunal sebagai basis polity, radikalisme mentransformasikan energy social yang komunalistik tersebut menjadi gerakan social yang berpotensi mengancam pluralisme di Indonesia. Kombinasi dari keduanya telah menyediakan bahan baku bagi bekerjanya kekuatan anti-pluralisme dan multikulturalisme yang pada gilirannya mengancam kebhinekaan Nusantara. Sebagai universitas kebangsaan dan kerakyatan, UGM selalu berusaha untuk merumuskan gagasan dan mencari jalan bagi kelestarian kemajemukan dan kebhinekaan Republik Indonesia.

Terakhir saya mengucapkan selamat kepada saudara Fajar Purwawidada atas diterbitkannya naskah tesis masternya menjadi buku yang bisa dibaca oleh khalayak luas. Ini memang merupakan salah satu tugas penting yang diemban oleh universitas: menghilirkan hasil-hasil kajian akademiknya kepada masyarakat, tidak hanya menyimpannya di laci lemari dan rak-rak perpustakaan belaka. Selamat membaca.



“JARINGAN BARU TERORIS SOLO”.

 




Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M. Sc., M.A., Ph.D.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan ucapan “Selamat berkenaan dengan penerbitan buku “JARINGAN BARU TERORIS SOLO”.

Mengamati perkembangan global, saat ini kecenderungan interaksi diantara negara-negara besar tidak lagi dipengaruhi oleh pertarungan ideologi. Interaksi telah bergeser pada persoalan-persoalan perebutan akses ekonomi. Kepentingan nasional negara-negara besar lebih diorientasikan bagi upaya menjaga kestabilan ekonomi yang ditopang oleh kekuatan politik dan militer. Dengan kenyataan demikian, konflik yang potensial terjadi adalah konflik-konflik berdimensi ekonomi, seperti konflik perebutan sumber daya (resource wars) ataupun konflik yang dilandasi oleh upaya mengamankan jalur transportasi perdagangan internasional, yang khususnya adalah jalur laut perdagangan internasional (Sea Lane of Trade/SLOT).

Potensi ancaman yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan strategis global, regional dan domestik. Di tingkat global, dinamika lingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara negara-negara besar (great power) yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia dan negara-negara Eropa (Uni Eropa). Sementara di tingkat regional, beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap penguasaan pasar, jalur ekonomi dan sumber daya alam terutama di wilayah-wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan tersendiri. Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman krisis ekonomi dan lemahnya sistem penegakan hukum.

Persoalan lain yang juga mengemuka di tingkat regional adalah terorisme. Istilah terorisme digunakan negara-negara di Asia Tenggara untuk menyebut aksi kekerasan melalui penyebaran teror yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu. Terlebih lagi kelompok-kelompok tersebut cenderung sebagai gerakan separatisme yang bertujuan memisahkan diri dari negaranya ketimbang kelompok-kelompok radikal/militan/ekstrimis yang merujuk perjuangan pada ideologi, agama ataupun etnis.

Perubahan paradigma global berimplikasi terhadap fungsi dan peranan militer. Kebijakan pertahanan Negara Republik Indonesia memiliki dua dimensi yang merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni pertahanan militer dan nir militer. Fungsi dan peranan militer dalam hal ini TNI untuk perang dan selain perang disebut sebagai Operasi Militer.

Ketika ancaman tradisional dengan mengerahkan pasukan dan persenjataan lengkap jarang terjadi lagi, ancaman yang timbul akibat globalisasi akan sering hadir dan cenderung meningkat. TNI mengemban fungsi dan peranan militer selain perang yang cukup penting, khususnya dalam menangani cyber war, terorisme, pembajakan, bencana alam dan ikut serta secara aktif dalam misi pemeliharaan perdamaian dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Ancaman militer sebagai bagian dari dimensi ancaman muncul perspektif  baru: human security. Berbeda dari perspektif sebelumnya melihat negara sebagai unsur yang paling penting, sedangkan "human security" melihat pentingnya keamanan manusia. Dalam perspektif ini kesejahteraan warga negara merupakan sesuatu yang diutamakan. Ruang lingkup keamanan tidak lagi terbatas pada dimensi militer. Istilah-istilah lain yang kemudian muncul misalnya keamanan lingkungan (environmental security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi (economic security) menunjukkan bahwa suatu entitas sosial dan/atau politik kelak menghadapi ancaman dari berbagai bidang kehidupannya.

Potensi ancaman yang bersumber dari konflik dan terorisme yang bersifat global di atas menjadi perhatian serius pemerintah, terutama dalam menyusun agenda keamanan nasional. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada keamanan internal dan blue-print keamanan nasional yang mencakup aspek pertahanan dan keamanan (dalam dimensi politik, hukum, ekonomi dan kesejahteraan) memperhatikan tantangan eksternal dan internal mendesak untuk prioritas penyusunannya.

Saat ini diskursus kontemporer memberikan definisi keamanan (Keamanan Nasional) secara lebih fleksibel dan longgar, dengan memasukkan unsur dan perspektif yang tidak terdapat dalam diskursus tradisional. Seperti menurut  Caroline Thomas dan Jessica Mathews, keamanan bukan hanya berkaitan dengan nexus military-external tetapi juga menyangkut dimensi-dimensi lain. Keamanan, bukan hanya terbatas pada dimensi militer, seperti sering diasumsikan dalam diskusi tentang konsep keamanan, tetapi merujuk pada seluruh dimensi yang menentukan eksistensi negara, (termasuk di dalamnya) upaya memantapkan keamanan internal melalui bina-bangsa, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, uang, dan perdagangan, maupun melalui pengembangan senjata nuklir.

Kebutuhan konsep keamanan nasional yang komprehensif adalah jawaban atas berbagai tantangan kontemporer yang dihadapi Indonesia kedepan. Sinergi kinerja antara aktor-aktor keamanan yang saat ini menjadi concern dari rancangan undang-undang keamanan nasional merupakan langkah awal yang penting. Namun di sisi lain, mengingat dimensi ancaman yang meluas dan perlunya efektivitas peran seluruh institusi negara, maka konsep keamanan nasional yang mengatur konsep, agenda, kerangka kerja, postur dan peran, serta mekanisme pengawasan adalah kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditawar.

Sesuai hal di atas, saya menyambut baik dan mengucapkan selamat atas terbitnya buku Saudara Fajar Purwawidada, seorang perwira TNI Angkatan Darat, yang pembahasannya tentang Jaringan Baru Teroris Solo berdampak pada keamanan wilayah dan upaya-upaya penanggulangannya. Buku ini dapat memberikan gambaran dan meningkatkan kewaspadaan bagi kita semua dari bentuk ancaman terorisme. Buku ini patut diapresiasi sebagai karya dari salah seorang perwira TNI dari hasil penelitian thesis pendidikannya di Sekolah Pascasarjana Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada tahun 2013.

Budaya penulisan buku seperti ini perlu terus digalakkan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia perwira-perwira TNI dalam menganalisis dan menghadapi tantangan global di era yang akan datang.

 

                                           Jakarta,   22    Juli 2014

                                       MENTERI PERTAHANAN

                                     PURNOMO YUSGIANTORO