Senin, 25 November 2013

PENGELOLAAN KAWASAN MELANESIA : PERBATASAN INDONESIA - PAPUA NEW GUINEA




BAB I
PENDAHULUAN

 1          Latar Belakang

            Selama ini pengelolaan kawasan Melanesia dianggap tidak optimal, bahkan lebih terlihat diabaikan. Sebuah wilayah yang memanjang dari Pasifik Barat sampai ke Laut Arafura, Utara dan Timur Laut Australia apa bila dimanfaatkan dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan di sisi Timur Indonesia. Perbatasan Indonesia yang terletak di wilayah Papua yang berbatasan langsung dengan wilayah negara Papua New Guinea jarang sekali atau hampir sama sekali tidak pernah dibahas. Diskusi lebih banyak dilakukan selama ini mengenai perkembangan terakhir kawasan Timika, yang terkenal dengan pertambangan emas dan biji besi, serta bahan mineral lainnya di Freeport. Selain karena wilayah tersebut lebih jauh letaknya dan lebih sulit dan terbatas fasilitas transportasinya, perkembangannya pun tidak sedinamis wilayah lainnya di Papua. Di luar isu Freeport, pengamat, peneliti, dan publik pada umumnya lebih banyak membicarakan gerakan separatis atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang dikenal dengan Bintang Kejora mereka. Aktifitas GPK yang marak dalam periode reformasi pasca jatuhnya Soeharto dengan kepemimpinan tokoh yang terus berganti seiring dengan perkembangan dinamika politik internal dan nasional, membuat penelitian lebih banyak dilakukan di kota-kota besar yang dekat dengan keberadaan industri-industri dan proyek-proyek investasi asing berskala besar dan pusat pemerintahan daerah, mengingat di sana GPK sering melakukan berbagai aksinya. Sejalan dengan perkembangan di atas, orang lebih banyak menyoroti aksi-aksi GPK dengan tokoh-tokohnya, misalnya Kelly Kwalik dan Theys Eluay, demikian juga dengan aktifitas aparat keamanan Indonesia di Papua dalam menangani masalah separatisme yang dinilai banyak mengganggu dan mengancam kegiatan investasi asing di Freeport. Sementara, mengenai aktifitas GPK, jika ada, dan ancaman keamanan yang diakibatkannya, yang berasal dari wilayah perbatasan, belum banyak diperhatikan. Bukan hal yang berlebihan, jika yang disorot selama ini adalah respons represif aparat keamanan Indonesia terhadap aktifitas GPK yang mengancam kelangsungan Freeport. Padahal, belum tentu yang menjadi ancaman keamanan di wilayah yang paling belakangan diserahkan oleh penjajah Belanda itu hanyalah GPK, dan yang patut diperhatikan adalah perilaku represif aparat keamanan Indonesia, khususnya yang berasal dari kalangan militer, dan kemungkinan pula aktor negara lainnya, serta tidak mustahil dewasa ini dalam perkembangan internasional yang kompleks dan cepat, juga aktor non-negara. Dengan demikian, seharusnya, wilayah sepanjang perbatasan Papua di luar Jayapura diberikan perhatian yang sama besarnya karena semua wilayah tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang kaya dan letaknya penting dari perspektif geopolitik dan geostrategis. Begitu pula, negara tetangga Papua New Guinea adalah negara yang menjadi perhatian internasional, karena selain merupakan tetangga terdekat Australia, ia juga merupakan salah satu bagian dari komunitas Pasifik Selatan. 

            Di masa lalu, dalam periode Perang Dunia II atau Perang Pasifik, yang dilanjutkan dalam periode berikutnya, Perang Dingin, wilayah Papua dan Papua New Guinea menjadi salah satu hot spot perebutan wilayah di Asia Pasifik, sebagai batu pijakan (stepping stone) untuk dapat menguasai pusat kekuasaan di Jepang dan negara Asia Tenggara dan Pasifik, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,dan Filpina. Sementara, dewasa ini, setelah berakhirnya periode Perang Dingin, wilayah Papua yang terletak di persimpangan kawasan Pasifik, tetap menjadi signifikan kehadirannya bagi banyak negara, terutama adidaya seperti AS. Tidak heran, pernah ada rencana AS untuk membangun pangkalan angkatan laut di Papua dan seringnya pelanggaran wilayah kedaulatan udara Indonesia dilakukan oleh pesawat-pesawat asing, seperti yang dilaporkan pernah dilakukan AS dan Australia. Belum terbangunnya kesejahteraan dan perekonomian wilayah di sepanjang perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea membuat kawasan itu patut mendapat perhatian yang besar dewasa ini dan di masa depan. Sebab, mudah diasumsikan, dengan kondisi demikian, dapat muncul lebih banyak lagi ancaman keamanan yang akan lebih memotivasi munculnya gerakan pemisahan diri (seccesionist) yang sangat berimplikasi terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum kokoh dan tuntas nation building-nya. Dengan minimnya kemampuan aparat pemda dan aparat keamanan di perbatasan dalam mengelola dan mengawasi wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga di sana, dapat diperkirakan ancaman keamanan akan menjadi lebih berbahaya dan berisiko dihadapi pemerintah di masa depan.

2.         Permasalahan

            Beberapa pertanyan yang disusun adalah: (1) seberapa jauh potensi ancaman keamanan yang dihadapi Indonesia di sepanjang perbatasan Indonesia-Papua New Guinea?; (2) Seberapa besar kekuatan pengamanan di sepanjang perbatasan Indonesia-Papua New Guinea? (3) apakah pernah muncul infiltrasi pasukan pemberontak dan asing serta ancaman dan gangguan keamanan yang berasal dari wilayah Papua New Guinea ke Indonesia?; (4) kebijakan dan kegiatan apa saja yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini dalam menangani masalah perbatasan Indonesia-Papua New Guinea dan ancaman serta gangguan keamanan yang muncul?; dan (5) bagaimana kordinasi antara aparat negara dilakukan dalam menangani masalah perbatasan Indonesia-Papua New Guinea dan ancaman serta gangguan keamanan yang muncul selama ini?
  
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

 3.         Landasan Teori

            Para analis hubungan internasional dan studi keamanan sering lebih memperhatikan masalah migrasi penduduk internasional dan pergeseran (komposisi) demografis yang diakibatkannya sebagai penyebab ancaman dan gangguan stabilitas dan keamanan di sekitar wilayah perbatasan. Walaupun demikian, ini tidak berarti masalah perbatasan bukan hal penting dan boleh diabaikan begitu saja dalam studi kontemporer, mengingat persoalan migrasi internasional dan pergeseran komposisi demografis juga dapat berdampak langsung terhadap situasi stabilitas dan keamanan di perbatasan. Selanjutnya, karena kawasan perbatasan adalah pintu masuk ke suatu negara, pada akhirnya ancaman dan gangguan keamanan terhadap negara, pemerintah dan penduduknya secara nasional, yang bermula dari kasus-kasus migrasi internasional dan perubahan struktur demografis, akan terjadi juga. Sebagai konsekuensinya, masalah yang bermula di perbatasan, namun tidak dapat terkendali atau direspons dengan baik, dapat menimbulkan ancaman dan gangguan yang bersifat penting, signifikan, dan berskala nasional (state leve threat), tidak hanya keamanan individual (individual security) dan masyarakat (societal security). 

            Secara lebih jelas, walau tidak menjadi faktor penyebab utama ancaman dan gangguan stabilitas dan keamanan, kondisi perbatasan yang rawan oleh masalah kemiskinan, ledakan penduduk, degradasi lingkungan hidup, dan kejahatan (kriminalitas) dapat menjadi pemicu terjadinya disintegrasi negara bangsa. Integrasi negara bangsa yang semakin mendalam dalam sistem internasional akibat globalisasi yang kian intensif berlangsung, membuat kawasan perbatasan tidak steril dari ancaman dan gangguan baik aktor negara maupun non-negara yang begitu kompleks, sebagaimana telah diantisipasi oleh, antara lain, Robert Harvey dalam Global Disorder. Sehingga, kawasan perbatasan yang tidak terkelola dengan baik dapat menciptakan negara besar seperti Indonesia, apalagi negara kepulauan yang luas rentang kontrolnya, tidak mustahil pula sebagai disintegrasionist state, terutama jika telah kehilangan identitas nasional yang menjadi perekat kemajemukan yang ada selama ini. Dalam studi klasik tentang perang dan pertahanan nasional, David Rodin, dalam War and Self-Defense, misalnya, melihat wilayah perbatasan merupakan bagian yang terpisahkan dari entitas politik nasional yang terletak di garis depan yang harus dipertahankan. Karena posisinya di garis depan, dan bukan belakang, ia tidak lagi merupakan halaman belakang negara lain, namun pintu masuk ancaman dan gangguan bagi suatu negara berdaulat. Sehingga, logis kawasan perbatasan menjadi fokus perhatian dan benchmark integritas teritorial negara berdaulat tersebut, dan menjadi isu penting dalam perang dan pertahanan negara.

4.         Kerangka Pemikiran

            Dengan pemikiran semakin terbukanya kawasan perbatasan bagi pihak asing, ancaman dan gangguan potensial terhadap stabilitas dan keamanan nasional turut meningkat, terlebih dengan kehadiran para aktor non-negara yang kian beragam dan sulit dikontrol pihak yang berwenang. Di luar para aktifis terorisme internasional, aktor non-negara lainnya yang potensial mengancam adalah para pelaku gerakan separatisme yang tidak puas atas respons pemerintah mereka. Sebagai konsekuensinya, di luar klaim teritorial resmi yang muncul akibat kekeliruan sejarah (politik kolonialisme), aksi-aksi gerakan separatisme menjadi persoalan tersendiri yang harus dihadapi di wilayah perbatasan.³ Berdasarkan perspektif dan terminologi Barry Buzan4 masalah perbatasan turut menjadi fokus kajian dari masalah keamanan dan ketidakamanan nasional yang dihadapi suatu negara.

             Ia tidak lagi secara kaku dilihat hanya sebagai sumber ancaman dan gangguan atas stabilitas dan keamanan regional, dalam hubungannya dengan perkembangan negara-negara lain (tetangga), tetapi dapat pula sesuatu yang bersifat ancaman dan gangguan atas stabilitas dan keamanan masyarakat atau domestik. Sehingga, selama konsepsi negara tetap merupakan basis fisik (physical base) tidak lepas dari eksistensi teritorial atau wilayah serta penduduk di dalamnya, itu artinya kawasan perbatasan memegang peran signifikan sebagai hal yang harus diperhatikan dalam membicarakan keamanan negara. Adapun bersama-sama dengan gagasan pembentukan negara (the idea of the state) dan ekspresi kelembagaan dari negara (the institutional expression of the state), basis fisik dari negara tersebut (the physical base of the state) merupakan komponen-komponen yang telah membentuk negara, yang sama pentingnya dalam menentukan eksistensi dan prospek negara dalam kaitannya dengan ancaman dan gangguan stabilitas dan keamanan. Perbatasan memang tidak lagi merupakan isu kedaulatan, namun lebih luas dari itu. Dalam studi yang lebih maju, pengawasan dan pengelolaan wilayah perbatasan telah menjadi unsur security sector governance, karenanya upaya reformasi sektor keamanan yang komprehensif meliputi pula pengelolaan kawasan perbatasan secara cermat.          

           Selain itu, ia turut menjadi faktor penentu dan barometer kondisi keamanan, kawasan perbatasan harus pula dikelola dengan mengandalkan prinsip-prinsip demokrasi liberal dengan menjalankan transparansi, akuntabilitas, dan kontrol demokratis lebih luas. Kebijakan pengawasan perbatasan sendiri dewasa ini telah menjadi bagian dari kebijakan sekuritisasi lebih luas.5 Sementara isu perbatasan internal mulai diabaikan, perbatasan eksternal kian menjadi penting karena masuknya dengan deras ancaman transnasional, seperti terorisme internasional, huma trafficking, dan lain-lain akibat intensitas yang meningkat cepat dari hubungan internasional antara bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, perbatasan negara bukan lagi sekedar batas fisik atau garis demarkasi yang membatasi sebuah negara dari negara lainnya.
           
 BAB III
PEMBAHASAN PERMASALAHAN

5.         Kondisi Umum

            Masalah keamanan diakui sebagai masalah utama yang dihadapi baik oleh pemerintah Indonesia maupun PNG. Di wilayah PNG sendiri, kondisi keamanan domestik amat rawan akibat friksi politik dan instabilitas yang dihasilkannya. Kondisi keamanan di Vanimo, wilayah PNG yang dekat ke Indonesia, masih jauh lebih baik daripada di Port Moresby, ibukota PNG. Banyak pagar tinggi dibangun di depan rumah penduduk, toko, dan gedung, kantor untuk mencegah penjajah dan gangguan keamanan. Penduduk amat kuatir mengendarai motor di malam hari karena ancaman perampokan. Di luar Skouw, wilayah perbatasan sulit dijangkau dengan kendaaraan, karena belum semua memiliki akses jalan beraspal. Begitu pula, belum terdapat fasilitas PPLB, PLB, dan kantor pelengkap lainnya, seperti imigrasi, bea-cukai, karantina, dan keamanan (kepolisian dan tentara/TNI). Sebagai contoh di Sota, kota yang berbatasan langsung dengan PNG di Merauke Selatan, belum terdapat kantor imigrasi. Sebagai konsekuensinya, wilayah ini juga rawan dari aktifitas pelintas batas ilegal, termasuk yang berasal dari negara lain di luar PNG. Selain itu, wilayah perbatasan ini rawan untuk dimanfaatkan gerakan separatis dan pelaku kejahatan lintas negara. Kenyataan di lapangan, kinerja petugas BPKD amat rendah dan buruk. Mereka jarang ditemui di kantor mereka di kota Jayapura dan perbatasan Skouw, walaupun kantor mereka begitu megah, jauh lebih baik daripada di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong dan Tawau. Mereka sering datang terlambat, atau baru datang sesudah pintu perbatasan dibuka, dan sudah pulang sebelum pintu perbatasan ditutup. Itupun mereka pulang kembali ke kota Jayapura, dan tidak menetap di wilayah perbatasan, walaupun di sana sudah dilengkapi dengan fasilitas perumahan dinas. Kondisi yang memprihatinkan juga dijumpai di kantor Bea Cukai kota Jayapura. Kinerja petugas mereka juga dapat dinilai buruk, karena tidak mempunyai catatan tentang lalu-lintas barang yang keluar-masuk perbatasan darat Indonesia-PNG, antara lain melalui Skouw dan Keerom. Bahkan dapat dikatakan seluruh barang dagangan yang bernilai ekonomi yang keluar masuk Papua melalui perbatasan darat PNG, tidak diperiksa sama sekali. Kantor petugas mereka tutup, walaupun pintu perbatasan sudah dibuka dan orang sudah masuk dari PNG ke wilayah Indonesia, atau sebaliknya keluar wilayah Indonesia menuju PNG. Ini artinya, negara memiliki potential loss atau kehilangan pemasukan uang yang tinggi dari bea dan cukai yang bisa seharusnya dipungut. Jika dikaitkan dengan realitas PNG sebagai penghasil emas, vanilli, dan sumber alam lainnya, tentu potensial loss pemasukan bagi negara itu semakin besar. Secara realistis juga, emas rawan untuk diselundupkan atau dibawa secara ilegal, karena bisa dibawa melalui pintu perbatasan Indonesia-PNG dengan penampilan yang tidak mencolok, namun nilainya sangat besar dan berharga. Begitu pula benda-benda berharga lainnya, seperti berlian, bisa diperjualbelikan di Indonesia atau Australia dengan dibawa atau dimasukkan secara ilegal tanpa pemeriksaan. Ini belum termasuk benda-benda berbahaya lainnya, seperti narkoba dan senjata api, yang bisa disembunyikan secara rapi dan canggih. Sehingga, seharusnya tidak diperbolehkan berlakunya kondisi tanpa hukum (lawless) di pintu perbatasan Indonesia-PNG, mengingat itu bukan wilayah (zona) netral, namun menjadi kedaulatan Indonesia secara penuh, sebagaimana halnya berlaku secara mutlak di wilayah hukum nasional PNG, yang petugas bea cukai mereka melakukan pemeriksaan penuh dan seksama di kantor pintu perbatasan mereka. 

            Begitu pula, sama terjadi dengan kinerja petugas karantina, yang dalam temuan di lapangan kantornya kosong, tidak ada petugas seorang pun di sana. Pintu pemeriksaan karantina di bagian terdepan wilayah perbatasan Indonesia-PNG didapatkan dalam kondisi terkunci, seperti tidak pernah digunakan sejauh ini untuk memeriksa barang-barang yang dibawa para pelintas batas untuk dapat memastikan apakah bebas dari penyakit yang mungkin dibawa dari PNG.

6.         Keamanan Bilateral

            Kerja sama keamanan bersama sudah dipikirkan oleh pemerintah kedua negara, tetapi baru pada tingkat konseptual. Sayangnya, gagasan tersebut belum ditindaklanjuti dan belum pernah diimplementasikan sampai sekarang ini, terutama oleh angkatan bersenjata kedua negara. Di luar realitas ini, pemerintah kedua negara tetap melihat pengaturan keamanan bersama (border security arrangement) kedua negara tetap diperlukan.
            Dari perspektif Indonesia, keamanan domestik PNG amat rawan, selain karena situasi dan perkembangan politik yang labil, juga akibat ketergantungan yang tinggi PNG pada Australia. Kepolisian PNG dan penyelenggaraan aktifitas keamanan domestiknya banyak dibiayai Australia. Di wilayah perbatasan dengan Indonesia, PNG hanya menempatkan sekitar 15 polisi, yang perilaku mereka tergantung pada pendidikan dan sosialisasi yang diberikan Australia, khususnya dalam soal disiplin. Perspektif ancaman dan kepentingan keamanan yang berbeda antara Indonesia dengan Australia, telah membuat hubungan keamanan Indonesia dengan PNG terganggu. Hubungan keamanan yang buruk ini ditandai oleh sulitnya melakukan hubungan komunikasi dengan menggunakan handphone (HP) dari wilayah perbatasan Indonesia dengan pihak-pihak di PNG, yang ditengarai berlangsungnya praktek penyadapan, dan bahkan pem-block-an oleh pihak berwenang, terutama kalangan intelejen, Australia. Koran-koran PNG, khususnya yang berbasis di Vanimo, juga sering menyampaikan pendapat-pendapat miring tentang Indonesia, seperti halnya yang dilakukan pemerintah Malaysia. Sikap ini tampaknya diciptakan agar selalu muncul sikap anti Indonesia di PNG yang akan selalu menguntungkan Australia karena kian meningkatkan ketergantungan PNG pada pemerintah Australia, terutama dalam soal keamanan.

            Pada tahun 2007, ada kasus penembakan nelayan Indonesia asal Makassar oleh pihak keamanan PNG. Pihak Indonesia menyampaikan compliance, namun, masalah tersebut dianggap selesai, setelah pihak keamanan PNG melakukan pengusutan, walaupun tidak diketahui apa bentuk pertanggungjawaban yang diberikan mereka. Itulah sebabnya pemerintah PNG dengan berbagai kebijakannya selama ini selalu diplesetkan sebagai “Promise Not Guarantee.” Institusi TNI tertinggi yang mem-back-up aparat kepolisian dalam menjaga keamanan, yang sekaligus juga merupakan garda terdepan pertahanan Indonesia di Propinsi Jayapura yang berbatasan dengan PNG, adalah Kodam Cendrawasih. Di tingkat yang lebih rendah, terdapat Korem 172/Praja Wirajakti dengan 3 Kodim, yang terdiri dari Kodim 1701/JPR, Kodim 1702/JWY, dan Kodim 1712/SRM. Adapun tugas utama prajurit TNI yang berada di garis depan perbatasan ini adalah melakukan operasi pengamanan perbatasan dan menjaga patok-patok perbatasan supaya tidak ada pergeseran. Terdapai 24 patok perbatasan yang menjadi tanggung jawab untuk dijaga dan diawasi prajurit TNI. Dari hasil patroli di lapangan selama ini ada beberapa yang belum diketemukan. Terdapat 2 Kompi Yonif dengan pos terdekat di perbatasan PNG di Wutung, Skopro, Bewa dan Sendi. Masalah terbesar mereka selain hambatan alam, terbatasnya akses, dan fasilitas adalah ancaman penyakit malaria. Diketahui, sekitar 60% prajurit yang bertugas terkena malaria. Dalam tugas mereka, upaya negosiasi hanya dilakukan dengan “Kelompok Putih”, yakni mereka yang koperatif, dari OPM. Sebaliknya, terhadap “Kelompok Hitam” sulit dilakukan negosiasi.

            Panjang garis perbatasan yang harus diawasi, sekitar 770 km, merupakan problem besar bagi TNI untuk mengawasinya setiap saat. Sebab, pasukan TNI sendiri selain terbatas dalam fasilitas juga terbatas dalam jumlah mereka yang bertugas. Menurut Pangdam, tidak cukup 4 batalyon yang dibantu satuan tugas lainnya, dan beberapa Kodim. Untuk melakukan kegiatan pengawasan aktif dengan mobilitas tinggi. Paling sedikit harus digelar di sana sekitar 2 divisi pasukan TNI agar sepanjang garis perbatasan Indonesia-PNG dapat diawasi atau dikontrol dengan baik. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan dukungan anggaran yang lebih besar dan memadai. Padahal, sampai saat ini, hanya terdapat 40 pos TNI yang permanen, sementara, 70 pos dibangun dalam kondisi seadanya, yang dapat dikatakan tidak layak untuk ditinggali atau sebagai base camp, apalagi untuk selama 1 tahun bertugas bagi prajurit. Kepolisian ingin memperbesar Pospol mereka di Skouw, namun pemerintah PNG berkeberatan, sehingga mereka hanya bisa meningkatkan kekuatannya dengan memperbanyak personil. Fasilitas hanya terdiri dari asrama, hanya dilengkapi dengan 2 motor untuk kegiatan operasional, tanpa mobil patroli. Sementara, terdapat sekitar 35 km panjang wilayah yang harus diawasi dari Wutung ke Muaratami. Sebaliknya, TNI memiliki mobil patroli untuk bisa digunakan dalam mendukung tugas operasional mereka. Sampai saat ini, tidak pernah terjadi perseteruan dan konflik perbatasan (border disputes and conflict) antara kedua negara, yang melibatkan kekuatan petinggi militer kedua negara telah memberikan kontribusi yang berarti bagi pemeliharaan stabilitas keamanan di perbatasan. Namun, upaya pembukaan pos lintas batas secara resmi selalu gagal, karena sikap inkonsistensi pemerintah PNG. Padahal, pemerintah Indonesia telah serius meresponnya, termasuk dengan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal Januari 2007 ke Jayapura dan sekitar wilayah perbatasan darat dengan PNG. Sehingga yang ada kini hanyalah (pintu) pos untuk para pelintas batas tradisional yang boleh melintas dengan menggunakan kartu pas tradisional. Pembukaan pos lintas batas secara resmi dikuatirkan oleh pemerintah PNG akan merubah atau menjatuhkan harga komoditi impor yang masuk dari Australia melalui PNG secara drastis. Dengan demikian, pihak negara tetangga itu, baik PNG maupun Australia, akan kehilangan keuntungan ekonomis dari tingginya harga komoditi yang mereka masukkan ke wilayah Indonesia. 

            Kerja sama bilateral dalam bentuk patroli perbatasan bersama, seperti yang dilakukan antara Indonesia-Malaysia, di perbatasan Indonesia-PNG tidak ada, karena pihak tentara PNG sendiri tidak melakukan patroli perbatasan. Sebagai konsekuensinya, hanya pasukan Indonesia (TNI) yang giat melakukan patroli perbatasan. Logis saja, jika kemudian masalah perbatasan seolah-olah merupakan persoalan sepihak Indonesia, atau hanya Indonesia yang terobsesi terus untuk menyelesaikannya secara tuntas.

            Dalam pertemuan Vanimo, pihak PNG telah menyampaikan beberapa pandangan, antara lain: (1) Terhadap permasalahan Stenliss Tampra dan anaknya, Leo Stampra, yang melakukan perusakan pagar perbatasan Indonesia terkait dengan penguasaan hak tanah adat, pemerintah PNG mempersilahkan pihak Indonesia menangkapnya untuk lalu menyerahkan ke otoritas PNG untuk diproses hukuman atas pelanggaran tindakan yang bisa dikategorikan kriminal; (2) Kunjungan informal atau pribadi anggota TNI telah dipertanyakan apakah bukan merupakan salah satu bentuk penyusupan atau intervensi pasukan TNI di perbatasan ke atau di wilayah PNG; (3) Pihak PNG mengajak pemerintah Indonesia untuk melakukan kerja sama dalam mencegah dan menaggulangi illegal fishing yang terjadi di perairan kedua negara. Terkait dengan penanganan pelanggar hukum, perlakuan Indonesia dan PNG terhadap pelanggar hukum di masing-masing wilayah kedaulatan negaranya berbeda. Jika di Indonesia pelaku tindak pelanggaran hukum, tidak dipukul aparat keamanan, jika tidak melawan atau merespons dengan kekerasan, di PNG, warga negara Indonesia yang tertangkap dipukuli, bahkan ada yang ditembak mati, dalam kasus illegal fishing.

7.         Kejahatan Lintas Batas

            Kejahatan lintas batas (transnational crimes) yang banyak terjadi adalah penyelundupan (smuggling) yang diinformasikan sangat sulit diatasi sejak dulu hingga dewasa ini. Komoditas yang diselundupkan bersifat komersial, antara lain, minyak tanah, bensin, kayu, dan kakao dari Papua Indonesia, dan vanilla asal PNG, yang terutama dilakukan dengan memanfaatkan jalur (perbatasan) laut. Hal ini amat rawan terjadi karena amat langkanya patroli perbatasan laut yang dilakukan kedua belah pihak. Kasus-kasus penyelundupan banyak berlangsung pada waktu malam hari, yang melibatkan banyak pihak yang berwenang di kedua negara, seperti pihak imigrasi, pabean, kepolisian, dan bahkan militer. Pemicu penyelundupan adalah perbedaan harga yang begitu tinggi di Indonesia dan PNG. Di Indonesia harga beberapa komoditas, termasuk bahan dasar produk coklat, yaitu kakao, dan kopra sangat murah harganya di Kabupaten Jayapura. Jenis kejahatan lintas batas lainnya adalah penyelundupan senjata ringan dan amunisi, yang menimbulkan keprihatinan pemerintah PNG, sehingga Committée on Gun Control telah dibentuk di kantor PM. Senjata dan amunisi tersebut diperdagangkan di sepanjang perbatasan Indonesia dan PNG. Keinginan yang besar dari penduduk PNG untuk memiliki senjata telah menjadi pemicu mengapa tingkat penyelundupan begitu tinggi belakangan ini. Hal ini ada hubungannya dengan meningkatnya rasa tidak aman akibat sering terjadinya perang suku (tribal war) di PNG dan kondisi keamanan domestik yang sering labil (terganggu) akibat ketidakpuasan kelompok-kelompok politik di negeri itu. Situasi yang sering sulit diprediksikan telah meningkatkan animo penduduk PNG atas kepemilikan senjata api. Dengan kata lain, senjata api dibutuhkan untuk pegangan atau pengamanan pribadi atau bela diri. Isu ini juga menjadi pembicaraan dalam forum pertemuan reguler Joint Border Committeé. Aktifitas penyelundupan senjata banyak pula menggunakan jalur laut di perbatasan kedua negara, baik melalui jalur laut di bagian Utara maupun Selatan. Kegiatan penyelundupan di bagian Utara, jauh lebih tinggi frekuensinya, terutama yang masuk ke wilayah perairan Indonesia. Sementara, yang terjadi di bagian Selatan, penyelundupan senjata mengambil jalur ke Daru di PNG menuju teritori Australia, yakni Darwin. Di sisi lain, penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan besar-besaran sering pula terjadi dan telah dianggap biasa, dan cenderung meningkat sekarang ini, baik di perbatasan laut dengan Indonesia di bagian Utara maupun Selatan yang berbatasan pula dengan negara Australia. Kesulitan kapal patroli telah dimanfaatkan oleh para penyelundup untuk terus menjalankan aktifitas illegal fishing di banyak jalur perbatasan laut kedua negara di sana. Banyak juga kasus terjadi karena ketidakpahaman para nelayan tradisional (tradisional fishermen) akan keberadaan jalar batas laut Indonesia dan PNG. Namun, ada pula kasus yang terjadi akibat ‘undangan’ penduduk PNG sendiri yang mungkin masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk di sana. Kemiskinan merupakan masalah utama penduduk di sekitar wilayah perbatasan yang melintasi Kabupaten Keerom. Tanpa adanya PLB dan pemeriksaan imigrasi, tindak kriminal penyelundupan ganja, yang ditanam di PNG dan sangat mahal harganya di Papua, mencapai Rp. 100 ribu Rupiah untuk selinting kecil, dan emas yang baik kualitasnya yang ditambang di PNG, serta BBM, dan lain-lain, rawan terjadi. Terkait dengan jalur perbatasan laut, di masa lalu, telah terjadi kegiatan illegal fishing yang dilakukan nelayan Indonesia asal Bugis. Potensi terjadinya illegal trafficking in persons di Papua cukup tinggi. Terkait hal ini, PBB telah mengundang Gubernur Papua, Barnabas Suebu,waktu itu, ke markas PBB di Jenewa untuk membahas masalah perdagangan manusia bersama-sama dengan Gubernur Kalimantan Barat, waktu itu, Cornelis.

            Kasus-kasus kejahatan lintas batas, terutama kejahatan ekonomi, tidak bisa dikatakan kecil, mengingat petugas bea cukai dan karantina belum melakukan pemeriksaan secara ketat dan reguler (rutin) selama jam kerja penuh mereka sebagaimana seharusnya yang dilakukan di wilayah perbatasan Indonesia lainnya. Mesin-mesin pendeteksi dan pemeriksa barang-barang bawaan para pelintas batas belum digunakan, atau masih terbungkus rapi, begitu pula alat pemeriksa karantina. Sehingga, dapat diduga, (potensi) kejahatan lintas-batas yang (telah) terjadi cukup besar, mengingat wilayah (perbatasan) kedua negara memiliki SDA yang potensial, sementara pemeriksaan atas barang bawaan para pelintas batas tidak dilakukan. Dalam kasus penyelundupan ganja, proses hukum dilakukan di wilayah Indonesia dengan memakai aturan hukum Indonesia, setelah memberitahukan atau meminta persetujuan pihak PNG. Oleh aparat keamanan Indonesia di pintu perbatasan Skouw dilaporkan, potensi penyelundupan BBM dari Indonesia melalui jalur laut cukup tinggi, karena keterbatasan kemampuan patroli keamanan laut Indonesia. Begitu pula minyak tanah, solar, bensin, minyak goreng, beras, makanan, serta obatan-obatan, dengan menggunakan jalan-jalan tikus yang banyak terdapat di sana dan sulit dikontrol terus-menerus oleh aparat TNI kita yang terbatas kemampuan dan fasilitasnya. Sementara, dari wilayah PNG, seperti Wiwak, tempat tambang emas, rawan penyelundupan emas ke wilayah Indonesia.

            Kawasan perbatasan laut atau wilayah perairan Indonesia Timur di sekitar Papua Selatan merupakan kawasan yang rawan pencurian ikan oleh nelayan asal Cina, Taiwan, dan Filipina. karena itu, diharapkan Operasi Gurita 4 yang dilakukan TNI-AL dengan kapal patroli Hiu Macan 001 dan KRI Panana 817 dapat dilanjutkan, dan juga harus ada kapal yang berpangkalan di Merauke. Kapal nelayan asal Cina paling banyak beroperasi secara ilegal. Adapun saat Operasi Gurita 4 di Merauke dijalankan, telah ditemukan 9 kapal, antara lain, dari Cina, yang mengeruk ikan di perairan Arafuru. Operasi yang dilaksanakan Bakorkamla ini telah menyita 472 ton ikan senilai Rp. 8,5 milyar, dan menangkap 24 kapal lain di Timika.

8.         Aktifitas Separatis

            Sikap pemerintah PNG cukup jelas selama ini dan tidak berubah, yakni, tidak mendukung gerakan separatis OPM. Bagi pemerintah PNG, Papua adalah bagian yang sah dan merupakan urusan dalam negeri (domestik) negara Indonesia. Mereka menyadari, kegiatan separatis yang dilakukan OPM yang sering menggunakan jalur-jalur perbatasan darat untuk melarikan diri setelah melakukan aktifitas separatis, terutama serangan bersenjata, mengganggu pula keamanan domestik PNG yang turut berdampak pada hubungan kedua negara bertetangga tersebut. Sebagai konsekuensinya, jika ada dari aktifis separatis dan simpatisan mereka yang dicurigai tertangkap di wilayah perbatasan di PNG, pemerintah PNG mempunyai kebijakan untuk mengrim mereka kembali ke pemerintah Indonesia untuk diselesaikan di sana. Pemerintah PNG sendiri menyadari mungkin saja terdapat simpatisan OPM di PNG, namun, mereka tidak ada hubungannya dengan kepentingan pemerintah PNG.7 Seperti dijelaskan pihak Deplu dari Kasubdit Kewilayahan, Pegunungan Bintang sangat rawan dijadikan basis gerakan separatis OPM. Letak wilayah-wilayah pedalaman di kabupaten ini yang sulit diawasi oleh aparat keamanan Indonesia, telah menyebabkan sulitnya juga kawasan di sana dikontrol keamanannya. Sehingga, logis, kawasan dimaksud menjadi ideal dijadikan basis gerakan separatis OPM dan ideal bagi mobilitas gerakan mereka. Para pengikut OPM di bawah pimpinan Herman Wanggai, dengan sekitar 42 orang anggota rombongannya, pernah memanfaatkan  wilayah   perbatasan laut dari Merauke  untuk memasuki wilayah Australia. Sisa-sisa anggota OPM diinformasikan tersebar di sekitar Port Moresby dan Vanimo di wilayah PNG. Mereka sisa-sisa OPM yang mau repatriasi berjumlah sekitar 708 orang dan akan diterima pemerintah Indonesia dalam proses pemulangannya jika melakukan repatriasi secara sukarela. Kebijakan Otonomi Khusus yang diantisipasi akan membawa banyak kemajuan bagi masa depan mereka (Papua) di Indonesia telah memberi daya tarik bagi mereka untuk kembali ke wilayah asalnya. Dengan pihak pemerintah PNG telah terbangun kesepakatan tidak mengakui eksistensi dan aktifitas gerakan separatis OPM. Di samping itu, pihak Deplu Indonesia juga aktif melakukan diplomasi publik untuk mencegah pemahaman pihak luar yang keliru terhadap gerakan separatis OPM dan posisi Indonesia. Sikap pemerintah PNG selama ini dinilai konsisten dalam menghargai eksistensi NKRI. Mereka tidak pernah memberikan suaka politik kepada para pelarian anggota gerakan separatis OPM, sekalipun di masa lalu wilayah perbatasannya dengan Indonesia telah dipergunakan oleh para tokoh dan pengikut gerakan separatis (OPM) untuk jalur pelarian, tempat persembunyian, ataupun jalur untuk datangnya kembali mereka dari luar negeri ke Papua. Para pengikut OPM diberitakan ditampung di Bewani, di wilayah PNG. Mereka pernah melakukan aktifitas mengibarkan bendera Bintang Kejora.             

         Pemerintah PNG cenderung bersikap pasif, karena disibukkan dengan masalah dalam negerinya, mengurus warganya yang kondisinya jauh lebih terbelakang secara ekonomis dibandingkan dengan orang-orang Papua di wilayah Indonesia. Kepasifan ini rawan terhadap tudingan negara tersebut memberi angin kepada para pengikut OPM di wilayah perbatasan. Karena itu, pernah muncul usulan agar diberlakukan ekstradisi, khususnya pemberlakuan kebijakan hot pursuit hingga masuk ke wialyah PNG, atau sebaliknya ke wilayah Indonesia, termasuk untuk para pelaku kejahatan kriminal pada umumnya. Dalam wawancara diinformasikan, senjata gerakan separatis rawan dimasukkan ke Papua melalui jalur darat dan laut, dengan melalui wilayah Bewani di PNG dan perairan Ambon di wilayah Indonesia. Melalui darat terutama dengan menggunakan jalan-jalan yang sulit dikontrol pasukan patroli perbatasan Indonesia karena keterbatasan akses, kapasitas atau fasilitas.
 
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

9.         Kesimpulan

            Papua sebagai kawasan perbatasan paling timur dari wilayah kepulauan Indonesia, dan merupakan pintu gerbang perbatasan terdepan Indonesia dengan negara-negara Asia Pasifik, memiliki letak yang strategis dan sangat potensial, baik dari perspektif ekonomi, politik, hubungan internasional, maupun keamanan. Sebagai konsekuensinya, tantangan, ancaman, dan potensi gangguan yang diberikan terhadap stabilitas dan keamanan Indonesia menjadi sangat besar pula, yang menonjol di antaranya yang datang dari kejahatan transnasional dan kegiatan migrasi internasional dan bersumber dari aktor non-negara, terutama kelompok separatis. Perubahan komposisi dan struktur demografis secara luas sebagai akibat dari interaksi global yang semakin intens itu semakin meningkatkan perbedaan dan kecemburuan sosial antara kelompok penduduk pribumi dan pendatang, yang rawan menimbulkan konflik horizontal (komunal) maupun vertikal. Walaupun penentuan nasib sendiri telah dilakukan melalui Pepera di Papua sejak dasawarsa 1960, dalam kenyataannya ketidakpuasan penduduk pribumi atau lokal terhadap pendekatan dan kebijakan pembangunan pemerintah pusat tetap muncul dan tidak surut sampai saat ini. Sementara, permasalahan garis demarkasi Indonesia dan PNG meskipun masih jauh dari yang diharapkan tetapi perkembangan semakin dapat diatasi oleh pemerintah kedua negara.

10.       S a r a n

            Ancaman dan gangguan atas stabilitas dan keamanan kawasan perbatasan Papua yang bersumber dari para aktor negara, yakni gerakan separatisme, harus menjadi prioritas penanganan. Walaupun demikian, tetap dibutuhkan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan negara tetangga terdekat, yakni PNG, dalam menanganinya, mengingat para aktor non-negara yang selama ini menjadi masalah selalu memusatkan kegiatan mereka dengan mobilitas yang tinggi di sekitar wilayah perbatasan Indonesia-PNG. Karena letaknya yang sangat strategis dari berbagai sisi, wajar saja setiap aktifitas para aktor non-negara, terutama yang terkait dengan gerakan separatisme atau tuntutan kemerdekaan Papua, mudah memperoleh perhatian internasional. Oleh sebab itu, dalam menangani masalah perbatasan Indonesia- PNG, pemerintah Indonesia harus berusaha ekstra hati-hati, jangan mudah terjebak dalam provokasi internasional yang ingin menjadikan isu domestik di sana menjadi berskala internasional. Kebijakan yang memprioritas keamanan memang tepat diakhiri dan diganti dengan kebijakan pembangunan yang mendasarkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Jika pendekatan kesejahteraan ini terus dilakukan dalam jangka panjang di Papua, dan kesejahteraan penduduk lokal di sana dapat meningkat secara signifikan, maka ancaman dan gangguan stabilitas dan keamanan di kawasan perbatasan dapat berkurang drastis. Jika tidak, justru akan meningkat dan sulit di atasi, mengingat PNG sendiri menghadapi masalah keterbelakangan dan ketidakstabilan politik.

(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)

KONFLIK DAYAK-MADURA



Pendahuluan.
1.         Latar Belakang.
a.      Berdasarkan data dan pengamatan migrasi swakarsa orang Madura ke Kalbar telah berlangsung lama, tepatnya sejak 1902. Kebanyakan mereka berasal dari dua kabupaten di bagian barat Pulau Garam itu, yakni Bangkalan dan Sampang, karena dari dua kabupaten inilah penduduknya paling banyak.  Sejak 1815 sampai 1940 penduduk Madura malah lebih padat dari pulau Jawa. Artinya sampai 1940 Madura adalah pulau terpadat di Indonesia. Kepadatan penduduk yang tinggi ini berakibat pada sempitnya pemilikan tanah. Faktor pendorong migrasi lainnya adalah tanah di Madura tergolong gersang.Kepadatan penduduk, tanah gersang, keberanian, dan kebiasaan bermigrasi, ditambah satu pendukung berlangsungnya migrasi yang juga penting, yakni tersedianya armada kapal layar Madura yang mampu menjangkau wilayah jauh, sampai ke Semenanjung Malaya.Adapun Kalbar menjadi daerah tujuan migrasi lantaran kepadatan penduduknya rendah. Mulai periode 1950-1980 mereka hidup layak. Mereka memiliki rumah dan kebun, bahkan menguasai sektor-sektor ekonomi informal tertentu, semisal penarik becak, penambang sampan, dan pekerja jalan darat   yang membuat mereka berhasil? antara lain, pertama, mereka memiliki etos kerja dan jiwa wirausaha yang kuat sehingga sanggup bekerja keras, menderita, dan hidup hemat. Etos kerja ini didorong rasa malu ('todus') yang tecermin dalam pepatah 'ango'an potea tolang, e tebang pote mata'¨(lebih baik putih tulang, daripada putih mata). Maknanya adalah lebih baik mati daripada gagal dalam kehidupan di rantau . Kedua, solidaritas sosial mereka sangat tinggi. Banyak migran Madura ke Kalbar tanpa membawa modal usaha sepeser pun. Mereka yakin, keluarga atau teman-temannya di rantau akan membantu. Kombinasi solidaritas dan kerja keras itu membuat mereka menguasai sektor-sektor perdagangan tertentu, sehingga orang-orang non-Madura yang lebih dulu bergerak di bidang itu terdesak, bahkan terlempar keluar.

Belakangan, soal ini menjadi salah satu faktor penyebab meletusnya konflik etnis Madura melawan Melayu di Sambas, Kalbar. Pasalnya,migran Madura acap merebut kesempatan kerja dan pemilikan barang melalui kekerasan atau intimidasi tidak lagi melalui jalan yang sah ( Prof. Dr Syarif Ibrahim Alqadrie,''Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis'', 'Antropologi Indonesia', Th XXIII, No. 58, 1999, hlm. 41). Lantas, factor apa saja yang menimbulkan konflik?  pertama, sifat dan kelakuan dari tanah air (rasa kesukuan atau 'ethnic urbanism ) di Madura dibawa serta bermigrasi. Adat carok dan solidaritas kuat meski acap membabi buta mereka bawa ke Kalbar. Akibatnya pertengkaran antarindividu segera menjelma menjadi pertengkaran antarkelompok. Perkelahian antarkelompok kontan berkobar menjadi perang suku. Kedua, pola permukiman 'reng Madure'¨kebanyakan pola kelompok, bukan pola sisipan. Ini membuat proses asimilasi dengan warga setempat terhalang. Ketiga, tingkat pendidikan para migran sangat rendah. Otomatis mereka sulit mengunyah-nguyah informasi, beradaptasi, dan hanya mampu menguasai sector formal.  .Hubungan etnis Madura-Dayak kurang harmonis antara lain karena faktor-faktor tersebut di atas. Sifat keras orang Madura juga terdapat pada orang Dayak. Tingkat pendidikan dan posisi ekonomi kedua suku ini hampir sejajar, Sama-sama rendah dan mengisi sektor informal. Sementara agama dan adat mereka berbeda. Di sisi lain hubungan etnis Madura-Bugis di Kalbar rukun lantaran faktor kesamaan agama. Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia pada kedua suku itu menambah kekurang harmonisan. Orang Madura menggunakan bahasa Indonesia dialek Madura yang kurang sempurna. Sedangkan orang Dayak berbahasa Indonesia dengan aksen Dayak¨yang juga kurang sempurna. Intonasi meledak-ledak sebagai pencerminan sifat etnis Madura yang keras, mudah menimbulkan salah paham.Toh, tak berarti dengan kekurangharmonisan ini kedua suku itu tidak bias melakukan kontak sosial. Hubungan sosial mereka diwarnai sikap prasangka dan menjaga jarak. Yang¨menggembirakan bahwa di beberapa kampung, seperti di Sungai Ambawang dan Marga Mulia.  

b.         Timbulnya Permasahan.
1)       Sosial Budaya.  Sejak migrasi orang Madura ke Kalimantan, dimana hubungan antar kedua etnis sudah menunjukkan adanya ketidak harmonisan. Hubungan sosial keduanya diwarnai sikap saling prasangka dan menjaga jarak. Terjadinya kerusuhan sampit disebabkan oleh rentetan kasus pada tahun 1983, yaitu perseteruan antara seorang Dayak dengan seorang Madura yang mengakibatkan tewasnya orang Dayak, peristiwa ini menghasilkan kesepakatan jika orang Madura membuat kerusuhan lagi terhadap orang Dayak maka orang Madura bersedia meninggalkan Kalimantan Tengah. Kesepakatan yang telah dibuat ternyata gagal mencegah konflik. Pada Januari 1999 kembali terjadi pertikaian yang melibatkan pengemudi taksi dan berlanjut pada tawuran antar golongan di Kumai, pada September 1999 seorang Dayak dan istrinya ditikam orang Madura dari belakang. Rentetan-rentetan kejadian tersebut kemudian meletus di kota Sampit Kalimantan Tengah pada pertengahan Februari 2001 (pada pertengahan April 2001 tercatat sekitar 108.000 pengungsi). Pembantaian di Sampit telah meninggalkan luka yang teramat dalam bagi orang Madura sehingga muncul dendam terhadap Etnis Dayak yang dilampiaskan pada orang-orang Dayak yang menikah dengan orang Madura dan ikut mengungsi ke Madura. 

2)    Ekonomi. Proyek-proyek HPH, kebun kelapa sawit dan sebagainya semakin menyingkirkan orang Dayak. Hutan- hutan dibabat, mereka yang biasanya cari makan di hutan, sekarang dilarang masuk hutan. Kebanyakan orang Dayak tidak siap  memanfaatkan infrastruktur yang dibangun pemerintah di wilayah mereka. Akibatnya orang lain yang mengambil keuntungan, di antaranya Madura. Mereka, yang tinggal di pedalaman, pintar berdagang¨dan berkebun. Orang Dayak entah kenapa lamban secara ekonomi. Pembangunan memang hanya dilakukan disektor fisik, bukan budaya.

3)         Lapangan Pekerjaan. Peluang lapangan kerja untuk tingkat menengah ke atas pada perusahaan swasta nasional sulit ditembus putra daerah. Sementara itu, peluang di tingkat menengah ke bawah yakni sektor informal telah diisi perantau Madura, Bugis-Makassar, Batak, Ambon, maupun keturunan Cina. Orang Dayak sendiri juga terasing dari struktur pemerintah daerah. Dari tujuh daerah tingkat II di Kalbar pada 1997, hanya satu kepala daerah dipercayakan kepada etnis Dayak. Di lembaga legislatif, baik di tingkat I maupun di tingkat II, orang Dayak jumlahnya adalah hitungan jari sebelah tangan. Di pemerintahan, hanya empat jabatan eselon dua dipercayakan kepada etnis Dayak. Ada pula, para pejabat daerah etnis non-Dayak yang didrop oleh pemerintah pusat. 

 2.       Analisa masalah.
a.     Beberapa faktor yang diduga sebagai akselerator konflik Madura-Dayak, Pertama, antara etnik Dayak dan Madura memiliki budaya yang sangat berbeda. Etnik Madura selaku pendatang tetap berpegang pada budaya Madura walaupun mereka tinggal di Kalimantan. Orang Madura menganggap Kalimantan adalah milik Tuhan sehingga mereka bebas berperilaku apapun asalkan mencerminkan budaya mereka sendiri. Lain dengan orang Madura, orang Dayak menganggap Kalimantan adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan tidak boleh dikuasai oleh etnis lain (perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan konflik). Kedua, gelombang migrasi mengakibatkan orang Dayak terpaksa meninggalkan tanah yang sebelumnya mereka huni dan garap. Disisi lain etnis Madura dilapangan ekonomi dikenal sebagai agresor yang pandai mencaplok hak-hak ekonomi rakyat setempat. Ketiga, Masyarakat Madura cenderung berkelompok sehingga tidak terjadi asimilasi dengan etnis setempat. Keempat, lemahnya sikap aparat keamanan.¨Rasa kesal etnis Madura terhadap pembantaian yang dilakukan etnis Dayak selanjutnya memunculkan prasangka-prasangka negatif dan berlanjut pada perilaku balas dendam yang ditujukan kepada orang-orang Dayak yang menikah dengan orang Madura dan mengungsi ke Madura. Upaya mereduksi prasangka etnik dapat dilakukan dengan asimilasi, keterbukaan aturan- aturan pada tiap-tiap etnik, meningkatkan pendidikan, pemulihan konflik melaui pembangunan jangka panjang, dan perlunya keseimbangan pemanfaatan sember daya antara etnis pendatang dan etnis lokal.

b.      Masalah ini belum ditangani serius oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan aparat keamanan.  Pemerintah tidak mengunakan metode preventif dengan memberdayakan adat istiadat warga setempat.  Pemberdayaan   persekutuan adat merupakan garda masa depan rekonsiliasi warga Kalimantan  Karena tidak ada artinya kalau selama acara adat ulu bakas hanya dipergunakan sebagai hiburan tontonan pariwisata. Selama ini, pemerintah kurang memperhatikan makna upacara adat.  Kini saatnya memberdayakan adat istiadat pada setiap program pembangunan di Kalimantan.

3.         Kesimpulan.
a.            Konflik laten antar etnis di Kalbar ini nampaknya merupakan pendekatan pembangunan yang keliru dimana hak-hak ekonomi penduduk asli yang direbut.
b.            Kekerasan merupakan bentuk konflik yang negative, dengan munculnya kekerasan berarti konflik belum atau bahkan tidak bisa dikelola dengan baik dan itu berarti mekanisme dan instrument, penyebab terjadinya kekerasan atau konflik dapat dikelompokan sebagai berikut :
1)            Tindakan kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar.
2)            Tindakan kekerasan merupakan hasil dari perhitungan strategi atau keputusan taktis.

4.         Penutup.
Dalam kondisi pertikaian antar etnik, maka tidak mudah bagi siapapun dan dengan cara apapun untuk menemukan solusi konflik sosial secara jitu dan manjur untuk semua kasus. Oleh karena itu, penyelesaian konflik sepantasnyalah diletakkan kembali dalam bingkai lokalitas dan didekati secara lokalitas pula. Pendekatan sepantasnya dilakukan secara bertahap  dan yang terpenting adalah selalu melibatkan semua pihak terkait dalam konflik untuk berpartisipasi aktif dalam mencari solusi konflik. Hanya dengan pendekatan ini, maka pemahaman akan akar-konflik serta penyelesaian konflik menjadi lengkap dan menyeluruh. Segala cara yang menafikan proses-proses partisipatif dan bottom-up approach adalah upaya yang akan menghadapi kesia-siaan, karena konflik sosial pada hakekatnya adalah wujud riil interaksi sosial dimana para-pihaklah yang tahu mengapa mereka berinteraksi social dalam “jalur konfliktual” dan bukan kerjasama yang sinergetik.