Teori
demokrasi sangat mudah dipahami, tetapi dalam pelaksanaannya sangat sulit
dilaksanakan karena apabila memandang demokrasi sebagai suatu sistem maka
banyak faktor eksternal, misalnya politik dan kepentingan lain yang masuk dalam
prosesnya sehingga mempengaruhi out putnya. Demokrasi dapat berupa proseduralis dan substantif, tetapi dalam kenyataannya sistem demokrasi di Indonesia
baru bersifat proseduralis. Sedangkan
substantifnya masih jauh dari yang
diharapkan. Di dalam demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, adanya
informasi yang menyangkut kebijakan yang dijalankan pemerintah merupakan hal
yang sangat penting. Dari Informasi maka memungkinkan adanya popular control atau ikut sertanya
rakyat dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Popular control itulah sebenarnya hakekat demokrasi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu Pemilu atau Pilkada hanyalah bagian kecil dari demokrasi dan
tidak bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan berdemokrasi secara umum, apalagi
pelaksanaannya yang sarat dengan kecurangan dan politik uang.
Pada
masyarakat yang lingkupnya kecil popular
control dapat di lakukan secara langsung, tetapi apabila urusan dan
tuntutan individu atau publik begitu komplek dan particular maka popular control terhadap otoritas
pemerintahan harus melalui saluran-saluran baik itu bersifat formal dan non formal. Derajat keutamaan tentu terletak pada saluran formal yaitu lembaga negara DPR / DPD,
tetapi apabila ternyata saluran itu tidak lancar maka kecenderungan rakyat akan
menggunakan saluran non formal
seperti; LSM, media, demonstrasi, referendum, lembaga akademik dan sebagainya. Semakin
sering rakyat menggunakan saluran non
formal dapat menunjukkan semakin ketidakpercayaan terhadap lembaga formal.
Seperti
terjadi di Yogyakarta terkait RUUK dahulu, Rapat Paripurna yang digelar secara
terbuka di gedung DPRD DIY pada tanggal 13 Desember 2011 pukul 13.00 yang
dihadiri oleh ribuan elemen masyarakat Yogyakarta membuktikan bahwa rakyat
mendukung dan menghendaki adanya ”penetapan”
dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Hasil dari rapat
paripurna DPRD DIY itu sendiri memutuskan pengisian secara ”penetapan”. Melihat fenomena rapat
paripurna tersebut mestinya pemerintah pusat dan DPR bisa memahami apa yang
menjadi aspirasi rakyat Yogyakarta.
Dimana
aspirasi rakyat untuk mempertahankan daerah keistimewaan dengan sistem ”penetapan” Sultan dan Paku Alam sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur merasa tidak terakomodir oleh lembaga formal pemerintah / DPR dan menganggap
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan kearifan lokal, maka rakyat akan terpaksa menggunakan saluran non formal yaitu dengan wacana referendum.
Dalam hal ini referendum sebetulnya dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan
rakyat, tetapi lebih bijak lagi kalau di nilai sebagai popular contol atau kontrol masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah terkait RUUK.
Referendum
tidak dikenal dan diatur dalam konstitusi, tetapi hal ini muncul ketika
prosedur formal tidak dapat lagi menjangkau
dan menyelesaikan permasalahan. Pengalaman di Indonesia referendum dilaksanakan
oleh pemerintah pada konflik Timor-Timor
yang berakibat lepasnya negara tersebut dari NKRI. Dan ketika kompromi
pembahasan RUUK Yogyakarta mengalami deadlog,
dimunculkan alternatif jalan tengah antara penetapan
dan pemilihan melalui referendum. Maka sebenarnya selama ini pemerintah
telah membawa dan menggeser prosedur non
formal ke ranah formal. Tentu
yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana landasan dan kekuatan hukumnya.
Sungguh ini menunjukkan lemahnya saluran popular
control bagi rakyat Indonesia dan buruknya piranti hukum yang ada,
sedangkan kehendak demokrasi rakyat tidak bisa terbendung.
Permasalahan
RUUK Yogyakarta ini merupakan momentum yang penting dan bisa berdampak luas. Apabila
pemerintah salah dalam merumuskan dan mengambil langkah dalam penyelesaiannya
maka akan berdampak pada sistem hubungan pusat-daerah yang telah ada. Tidak
hanya Yogyakarta, tetapi pasti daerah-daerah lain juga telah dengan seksama
mengamati proses dan hasil rumusan RUUK tersebut. Tentu dengan melihat peluang bagi
daerahnya. Apabila pemerintah membiasakan menyelesaikan permasalahan dengan jalan
referendum, taruhlah misalnya Yogyakarta benar-benar melaksanakan referendum,
maka tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain akan juga berpeluang mengajukan
referendum. Dengan alasan menyalurkan aspirasi rakyat demi peluang daerahnya, apakah
menuntut daerah otonomi khusus atau Istimewa, misalnya wacana daerah Surakarta
juga berkeinginan menjadi Daerah Istimewa atau mungkin juga daerah-daerah lain
yang memiliki sejarah kerajaan atau potensi besar seperti Bali dan Kaltim.
Oleh
karena itu, kemungkinan terjadi referendum sebagai saluran non formal kontrol dan aspirasi rakyat harus disikapi dengan benar
dan hati-hati oleh pemerintah terhadap pengaruh yang lebih luas terhadap
hubungan pusat-daerah. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu kiranya
lembaga formal, pemerintah, DPR/DPD
bisa lebih mengakomodasi saluran aspirasi yang bersifat lokal sehingga tidak
menimbulkan resistensi.
(Fajar Purwawidada, MH.,M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar