Penegakan hukum di Indonesia selama ini terkesan
carut marut. Banyak kasus yang dapat menggambarkan rasa frustasi di masyarakat
akibat rasa keadilan hukum jauh dari apa yang diharapkan. Ada ketimpangan dalam
penegakan hukum, seperti kasus korupsi milyaran rupiah terbebaskan, ironis
dengan kasus sandal jepit, tiga buah kao dan semangka. Akibatnya ketidakpuasan
itu, di media sering diberitakan adanya aksi kekerasan, seperti; main hakim
sendiri, bentrokan antar warga atas sengketa tanah, pengrusakan gedung
pengadilan, penyerangan terhadap penegak hukum dan sebagainya.
Fenomena penegakan hukum tersebut
akhirnya membuahkan suatu pertanyaan. Apa sebenarnya yang salah dengan hukum di
Indonesia? Seolah hukum tidak bermanfaat sesuai fungsinya, memberikan rasa aman
dan dapat menyelesaikan masalah secara adil. Kekacauan penegakan hukum di
Indonesia tersebut ternyata bersumber dari pembuatan dan penerapan hukum yang
tidak manusiawi atau humanis. Dalam arti selama ini di Indonesia seolah berlaku
manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Sehingga hak-hak keadilan bagi
masyarakat telah terabaikan. Hal ini terlihat mulai dari mekanisme pembuatan
hukum positif di Indonesia yang sarat dengan intervensi politik. Politik selalu
mengutamakan kepentingan individu atau golongan, sehingga menghasilkan apa yang
disebut sebaagai “hukum nafsu” (kekuasaan, materiil, dsb.). Hukum seperti pisau
yang hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Hukum yang hanya
menguntungkan, melindungi dan memperkaya penguasa, sedangkang di lain sisi
mengabaikan dan bahkan menginjak masyarakat kecil. Tentu perilaku hukum seperti
ini adalah tidak manusiawi atau humanistis.
Humanisme atau perasaan humanis
memang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini, karena bagaimanapun
juga bangsa ini seakan-akan sedang sakit. Humanisme berasal dari kata humanus dan mempunyai
akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti bersifat manusiawi
sesuai dengan kodrat manusia. Humanisme merupakan aliran dalam filsafat yang
memandang manusia itu bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan
dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Pada dasarnya humanisme
adalah meletakkan dasar hak kodrati manusia secara sama atau sejajar sebagai
mahluk Tuhan.
Perlakuan-perlakuan hukum yang tidak
manusiawi tersebut akhirnya melahirkan kekerasan di masyarakat sebagai bentuk
perlawanan dan penuntutan terhadap haknya. Kekerasan yang terjadi masyarakat
atau dalam lingkup yang lebih besar dalam suatu negara memang bersifat
alamiah. Nilai-nilai
lama yang ada dan mapan pada suatu saat akan berganti dengan nilai-nilai yang
baru, entah itu dengan jalan kekerasan, damai maupun setahap demi setahap. Kekerasan tidak dapat diketahui
kapan datangnya, tetapi yang pasti akan datang bersama ketidakpuasan yang dirasakan
oleh para pelaku kekerasan. Kekerasan juga diperlukan, karena kekerasan yang
diakibatkan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum akan dapat melahirkan
teori, doktrin atau pendapat baru yang mungkin lebih baik untuk memperbaiki
sistem penegakan hukum sebelumnya.
Kita tidak perlu begitu risau dengan
keadaan negeri yang sedang kacau ini. Ini adalah proses pendewasaan diri
atau proses untuk melahirkan paradigma yang baru. Kekacauan justru membuat
orang untuk berfikir bagaimana berbuat yang terbaik agar keteraturan yang
didambakan itu muncul. Kekacauan adalah ibunya keteraturan dan sebaliknya
keteraturan adalah ibunya ketakteraturan.
Dengan memperhatikan hal tersebut
maka ketidakberdayaan hukum dalam menghadapi kekacauan sosial dan kekerasan
yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk melakukan
pembaharuan hukum yang lebih baik. Bukan hukumnya penguasa ataupun hukumnya
rakyat jelata, tetapi hukum untuk semua orang tanpa membedakan status sosial
yang melekat pada diri seseorang. Hukum saat ini dipandang tidak mampu
menghadapi kekacauan ini, karena hukum yang ada sekarang tidak dibuat atas
dasar landasan-landasan humanis. Untuk itulah dalam membangun masyarakat
yang telah jatuh akibat kekacauan, maka perlu dibangun hukum yang
humanis. Tidak hanya produk hukumnya (peraturan), orang-orangnya (penegak
hukum) tetapi juga ilmu pengetahuannya juga perlu dihumaisasikan.
Penerapan hukum humanis selain
berpegang pada kodrati manusia juga harus memandang lingkungan budaya yang
meliputi masyarakat tersebut (kearifan lokal). Hal ini disebabkan karena
perilaku hukum masyarakat dipengaruhi oleh kebiasaan, adat, budaya yang telah
membentuk kehidupannya. Sehingga aparat penegak hukum dalam memproses suatu
kasus hukum harus menggunakan hati nurani. Dengan hati nurani maka akan dapat
menentukan nilai etika dan moral untuk menghindari penerapan pasal-pasal
perundangan secara kaku, yang akhirnya justru tidak memberikan keadilan yang
semestinya.
Selain pendekatan hukum, hukum
humanisme harus juga melakukan pendekatan terhadap perkembangan kehidupan
sosial masyarakat. Dimana pada setiap waktu ada pergeseran nilai dan perilaku
di masyarakat. Misalnya pada
saat ini demokrasi menjadi tuntutan dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan
Indonesia dalam berbagai bidang memang belum demokratis, pencampuradukan antara
kepentingan politik dan pribadi masih sering terjadi, toleransi untuk menerima
perbedaan masih rendah, sikap masyarakat dan tanggung jawabnya belum dapat
diandalkan dan kedudukan perempuan dalam percaturan politik khususnya masih
diperdebatkan. Jika
Indonesia ingin agar kekerasan dapat diakhiri, maka pendekatan-pendekatan ini
harus segera dilakukan.
Selain pendekatan-pendekatan yang
bersifat lebih sosial itu, maka kembali kepada uraian pokoknya, hukum juga
digunakan sebagai salah satu alat untuk memecahkan masalah tersebut. Tetapi hukum yang sekarang masih menderita, dalam arti tidak mampu membendung
gejolak kekerasan yang merebak di mana-mana. Oleh karena itu diperlukan
hukum yang humanis yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
yang dapat diterima oleh semua orang.
Hukum yang humanis bukanlah sebuah
teori yang tidak berlandaskan pada budaya yang ada di masyarakat. Hukum
yang humanis adalah hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, moral
dan etika yang tumbuh dan hidup di masyarakat. Pembentukan hukum yang humanis
perlu dilakukan karena teori hukum yang dipakai dan dikembangkan pada jaman
orde baru tidak bisa menjawab tantangan jaman khususnya persoalan yang
berdimensi global. Hukum yang humanis ini sekaligus menjawab tantangan
dari sifat hukum yang bersifat mencekam. Hukum yang humanis tidak membuat
hidup masyarakat merasa tercekam, tetapi masyarakat akan merasa nyaman dan aman
serta terlindungi dari rasa takut. Untuk itu agar dapat dikatakan hukum itu
humanis harus diperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Teori ini harus mengandung asas
kebebasan. Hal ini penting mengingat manusia itu mahluk yang terbatas
tetapi belum tertentu. Kebebasannya tidaklah absolut tetapi riil.
2. Teori hukum yang humanis itu harus mengandung asas rasionalitas. Dalam tradisi humanistik, akal dengan konsisten telah dinyatakan sebagai keagungan manusia yang tinggi.
3. Asas naturalisme juga penting untuk dimasukkan dalam teori hukum yang humanis karena asas ini mengisyaratkan adanya keunggulan alam atas manusia, suatu kontinuitas antara keduanya, kejelasan alam dan kekuatan alegorisnya.
4. Asas moralitas. Suatu humanisme yang kokoh haruslah memperlihatkan suatu kepekaan moral. Humanisme pada dasarnya adalah suatu konsep moral dalam hal diarahkan kepada suatu cita-cita etis dan kepada suatu imbalan moral.
5. Asas masyarakat. Asas ini merupakan suatu contoh spesifik mengenai asas moralitas. Asas ini mengatakan bahwa manusia itu mahluk moral, sama saja dengan mengatakan bahwa ia adalah mahluk sosial.
6. Pengalaman manusia menunjukkan suatu dimensi sakral (asas agama), suatu gerakan ke arah yang transenden, mistis, misterius. Para humanis harus mengakui kecenderungan universal jiwa manusia ini.
7. Asas kreativitas. Asas ini mengajarkan kita untuk menyambut yang baru, membentuk kembali materi-materi eksistensi, mencari pola-pola makna yang asli.
2. Teori hukum yang humanis itu harus mengandung asas rasionalitas. Dalam tradisi humanistik, akal dengan konsisten telah dinyatakan sebagai keagungan manusia yang tinggi.
3. Asas naturalisme juga penting untuk dimasukkan dalam teori hukum yang humanis karena asas ini mengisyaratkan adanya keunggulan alam atas manusia, suatu kontinuitas antara keduanya, kejelasan alam dan kekuatan alegorisnya.
4. Asas moralitas. Suatu humanisme yang kokoh haruslah memperlihatkan suatu kepekaan moral. Humanisme pada dasarnya adalah suatu konsep moral dalam hal diarahkan kepada suatu cita-cita etis dan kepada suatu imbalan moral.
5. Asas masyarakat. Asas ini merupakan suatu contoh spesifik mengenai asas moralitas. Asas ini mengatakan bahwa manusia itu mahluk moral, sama saja dengan mengatakan bahwa ia adalah mahluk sosial.
6. Pengalaman manusia menunjukkan suatu dimensi sakral (asas agama), suatu gerakan ke arah yang transenden, mistis, misterius. Para humanis harus mengakui kecenderungan universal jiwa manusia ini.
7. Asas kreativitas. Asas ini mengajarkan kita untuk menyambut yang baru, membentuk kembali materi-materi eksistensi, mencari pola-pola makna yang asli.
Hukum humanis diharapkan mempertimbangkan
keadilan dari dua aspek, yaitu dari aspek pelaku dan aspek korban. Selama ini
yang terjadi khususnya pada hukum pidana solah hanya fokus pada pelaku
kekerasan (kejahatan) saja. Tetapi mengabaikan hak-hak korban, seperti
kemungkinan ganti rugi, pengobatan atau rehabilitasi.
Oleh
karena itu perlu adanya perubahan konsep, membuat hukum yang manusiawi yang
memiliki tujuan, keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Menjadikan
hukum yang berketujuan yaitu memberikan efek jera bagi pelaku dan dapat mencegah
orang melakukan kejahatan. Hukum berkeadilan yang dapat memberikan rasa adil
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa atau bagi pelaku dan korban. Sedangkan
kepastian hukum mampu memberikan perlindungan dan rasa aman serta dapat
dijadikan dasar untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi di masyarakat.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar