Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang menjamin secara konstitusi kebebasan warga negaranya untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 29, yang berarti bahwa toleransi sangatlah
dikedepankan dalam kehidupan beragama. Tetapi kebebasan beribadat yang
bagaimana yang masih bisa ditoleransi, karena tiap pemeluk suatu agama dapat
saja berbeda dalam menafsirkan ajaran agamanya. Hal ini menjadi pertanyaan
prinsip yang dapat berubah menjadi permasalahan besar, bahkan sampai
menyebabkan kerawanan konflik horizontal. Komunitarian Ahmadiyah contohnya, perbedaan
penafsiran ajaran Islam yang akhirnya menimbulkan konflik internal antara pemeluk
Islam sendiri. Penyelesaian konflik yang berlarut-larut justru akan menimbulkan
keresahan dan kekacauan, dimana kedua belah pihak telah mengaku dan menyakini ajaran
yang dianutnya adalah benar. Tidak mudah untuk menyelesaikan permasalahan ini, karena
masalah agama dan kepercayaan adalah masalah yang sangat sensitif, dan banyak
diantara pemeluknya yang fanatik berani mengorbankan segalanya demi sebuah
keyakinan.
PERMASALAHAN
Banyaknya kelompok Ormas, lembaga,
jamaah Islam yang menuntut untuk dibubarkannya komunitarian Ahmadiyah
Al-Qadiyan dan melarangnya di Indonesia karena dianggap menyalahi akidah Islam dan sesat. Tidak jarang terjadi tindakan
anarkis terhadap jamaah Ahmadiyah ini. Apakah sebenarnya yang terjadi dengan
ajaran Ahmadiyah, apakah benar bertentangan dengan ajaran Islam dan bagaimana solusi pemecahan masalahnya?
PEMBAHASAN
a. Latar
Belakang Ahmadiyah
Ahmadiyah adalah sebuah ajaran yang
telah menyimpang dari ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa Mirza ghulam
Ahmad, pendiri ajaran tersebut diakui oleh pengikutnya sebagai nabi yang
mendapat wahyu dan mempunyai kitab suci. Ajaran Ahmadiyah ini bermula di India
dan dikenal dengan nama Ahmadiyah Qadiani, kemudian berkembang di negeri
Pakistan dengan nama Ahmadiyah Lahore, dan setelah dijadikan aliran terlarang
di Pakistan , maka pusat kedudukannya pindah ke kota London. Pendiri ajaran
adalah Mirza Ghulam Ahmad, dan setelah meninggal digantikan oleh Khalifah
Nuruddin, dan meninggal tahun 1914, kemudian digantikan oleh Khalifah III yaitu
Mirza bashiruddin mahmood, anak tertua dari Mirza Ghulam Ahmad, dan setelah
meninggal digantikan oleh Khalifah IV Tahir Ahmad sampai saat ini. Nama
Ahmadiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Mirza ghulam Ahmad, dilahirkan
pada tahun 1839 di desa Qadian, India. Jemaat Ahmadiyah
al-Qadiyan masuk ke Indonesia pada tahun 1935, dan telah tersebar ke berbagai
daerah di wilayah Indonesia, bahkan telah mempunyai sekitar 300 cabang,
terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa tengah, Sumatra Barat, Palembang,
Bengkulu, Bali, NTB, dll. Jamaah Ahmadiyah al-Qadiyan berpusat di Parung,
Bogor, Jawa Barat.
b. Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah al-Qadiyan
Di antara pokok-pokok ajaran Ahmadiyah al-Qadiyan adalah sebagai berikut.
1) Mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad,
laki-laki kelahiran India yang mengaku menjadi nabi, adalah nabinya.
2) Mengimani dan meyakini bahwa "Tadzkirah" yang merupakan kumpulan
sajak buatan Mirza Ghulam Ahmad itu adalah kitab sucinya.
Mereka menganggap bahwa wahyu adalah yang diturunkan kepada Mirza
Ghulam Ahmad.
3) Mengimani dan meyakini bahwa kitab "Tadzkirah" derajatnya sama dengan
Alquran.
4) Mengimani dan meyakini bahwa wahyu dan kenabian tidak terputus
dengan diutusnya Nabi Muhammad saw.
Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian terus belanjut sampai hari kiamat.
5) Mengimani dan meyakini bahwa Rabwah dan Qadian di India adalah
tempat suci sebagaimana Mekah dan Madinah.
6) Mengimani dan meyakini bahwa surga itu berada di Qadian dan Rabwah.
Mereka menganggap bahwa keduanya sebagai tempat turunnya wahyu.
7) Wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah,
namun laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita di luar Ahmadiyah.
8) Haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar Ahmadiyah.
c. Sumber Hukum Aliran Ahmadiyah al-Qadiyan
Aliran ini mengakui dirinya bersumber dari:
1) Alquranul Karim.
2) At-Tazkhirah, yaitu sebuah buku yang memuat sajak-sajak buatan Mirza Ghulam
Ahmad yang diyakini oleh para pengikutnya sebagai Alquran atau kitab suci yang
diterima Mirza Ghulam Ahmad dari Allah SWT. Karena, Mirza ghulam Ahmad
mengaku menerima wahyu dari Allah SWT.
3) Hadis Nabi saw.
4) Hadis buatan Mirza Ghulam Ahmad. Kitab hadis ini berisi petunjuk-petunjuk,
hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan, halal, haram, dll. yang
semuanya adalah perkatan Mirza Ghulam Ahmad, namun mereka meyakininya
sebagai hadis.
5) Petunjuk Huzur, yaitu petunjuk Khalifah Ahmadiyah al-Qadiyan.
d. Jumlah Kibat Suci menurut Ahmadiyah al-Qadiyan
Jemaat Ahmadiyah al-Qadiyan meyakini bahwa kitab suci yang Allah
turunkan ke dunia kepada para nabi dan rasul-Nya ada lima:
1) Kitab Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa.
2) Kitab Zabur, diturunkan kepada Nabi Dawud.
3) Kitab Injil, diturunkan kepada nabi Isa.
4) Kitab Alquran, diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
5) Kitab At-Tazkirah, diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad.
Anggapan Ahmadiyah al-Qadiyan ini tentunya menyalahi akidah Islam, yang Allah
hanya menurunkan empat buah kitab suci selain suhuf kepada para nabi dan
rasul-Nya, yaitu sebagai berikut:
1) Kitab Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa a.s.
2) Kitab Zabur, diturunkan kepada Nabi Dawud a.s.
3) Kitab Injil, diturunkan kepada nabi Isa a.s.
4) Kitab Alquran, diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
Perlu diketahui bahwa kitab At-Tadzkirah yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah
al-Qadiyan sebagai kitab suci itu hanyalah kumpulan sajak-sajak buatan Mirza
Ghulam Ahmad yang mencampuradukan dengan ayat-ayat suci Alquran. Mirza
Ghulam Ahmad telah membajak sejumlah ayat-ayat Alquran yang kemudian
disesuaikan dengan alirannya dan dimasukkan dalam sajak-sajaknya, namun
lucunya kumpulan sajak itu dikatakan kitab suci.
e. Jumlah Nabi dan Rasul menurut Ahmadiyah al-Qadiyan
Jumlah nabi dan rasul yang wajib diimani dan diyakini oleh aliran ini adalah
26 nabi. Adapun menurut ajaran Islam yang benar, jumlah nabi dan rasul yang wajib
diimani adalah sebanyak 25, sebab setelah Nabi Muhammad saw. sudah tidak ada
lagi nabi sesudahnya. Beliau adalah penutup para nabi dan rasul.
Akan tetapi, aliran Ahmadiyah al-Qadiyan ini meyakini ada satu lagi rasul yang wajib
diimani, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
f. Nama-Nama Bulan menurut Ahmadiyah al-Qadiyan
Jemaat Ahmadiyah al-Qadiyan membuat nama-nama bulan sendiri yang
berbeda dengan nama-nama bulan yang telah ditetapkan oleh Islam. Nama-nama
bulan versi Ahmadiyah al-Qadiyan adalah sebagai berikut:
1) Suluh
2) Tabligh
3) Aman
4) Shahadah
5) Hijrah
6) Ihsan
7) Wafa'
8) Dhuhur
9) Tabuk
10) Ikha'
11) Nubuwwah
12) Fattah
Adapun nama-nama bulan yang ditetapkan oleh Islam adalah sebagai berikut:
1) Muharram (Muharam)
2) Shafar (Sapar)
3) Rabi'ul Awwal (Rabiulawal)
4) Rabi'ul Akhir (Rabiulakhir)
5) Jumadil Awwal (Jumadilawal)
6) Jumadil Akhir (Jumadilakhir)
7) Rajab (Rajab)
8) Sya'ban (Syaban)
9) Ramadhan (Ramadan)
10) Syawwal (Syawal)
11) Dzulqaidah (Zulkaidah)
12) Dzulhijjah (Zulhijah)
g. Tanah Suci menurut Ahmadiyah al-Qadiyan
Jemaat Ahmadiyah al-Qadiyan berkeyakinan bahwa tanah suci dan tempat
menunaikan ibadah haji, selain di Mekah (Kakbah), juga di Rabwah dan Qadian India.
Mereka meyakini bahwa Qadian di India adalah tempat suci selain Makkah
al-mukarramah dan Madinah al-munawarrah, karena menurutnya Allah SWT telah
memilih tempat tersebut untuk menurunkan wahyu-wahyu-nya yang diturunkan kepada
Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam wahyu versi Mirza Ghulam
Ahmad, "Sesungguhnya telah kami turunkan kitab suci (Tadzkirah) di Qadian dan
dengan kebenaran kami telah menurunkannya dan dengan kebenaran kami telah
turunkan." Mirza Ghulam Ahmad mengatakan, "Ibadah haji ke Mekah tanpa haji ke
Qadian adalah haji yang kering lagi hampa, karena haji ke Mekah sekarang tidak
menjalankan misinya dan tidak menjalankan kewajibannya." (Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Depag RI, 1985, hlm. 19--20).
h. Kenabian menurut Ahmadiyah al-Qadiyan
Ahmadiyah al-Qadiyan meyakini bahwa kebaniab masih terus berlanjut
tanpa akhir dan terputus hingga hari kiamat. Ahmadiyah sangat tidak setuju dengan
firman Allah SWT yang tercantum di dalam Alquran yang menerangkan bahwa Nabi
Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul. Ahmadiyah al-Qadiyan
mengartikan lafaz khatam pada surah Al-Ahzab ayat 40 sebagai "cincin", dan bukan
"penutup. Maka, arti ayat tersebut menjadi "Namun Muhammad adalah cincin para
nabi". Ini adalah arti yang menyimpang dari pemahaman yang benar, ditinjau
dari segi apa pun.
i. Ahmadiyah al-Qadiyan Membajak Alquran
Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai nabi yang ke-26 dan mengaku
menerima wahyu dari Allah SWT telah memalsukan sejumlah ayat Alquran. Sedikitnya
terdapat 339 ayat Alquran yang dipalsukan olehnya. Mirza Ghulam Ahmad memalsukan
ayat-ayat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sajak-sajak buatannya, yang
dikatakannya sebagai wahyu yang diturunkan dari Allah kepadanya, para pengikutnya
juga tertipu dan meyakininya tanpa mengecek kebenarannya. Pemalsuan yang
dilakukannya terhadap beberapa ayat Alquran tidak lain agar orang-orang
mempercayainya. Dengan susunan yang sama seperti
ayat-ayat Alquran (padahal isinya telah dibelokkan), orang yang masih bodoh dalam
agama pasti mempercayainya. Ini adalah taktik pengelabuhan.
Di antara ayat-ayat Alquran yang dipalsukan oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah
sebagai berikut :
1) Surah Al-Baqarah: 11,13,20, 30, 35, 61, 106, 114, 120, 125, 214.
2) Surah Ali Imran: 3, 31, 37, 55, 123, 139, 140, 179.
3) Surah An-Nisa': 79, 82.
4) Surah Al-Maidah: 20, 56, 83.
5) Surah Al-An'am: 9, 14, 30, 34, 45, 55, 57, 91, 115, 135.
6) Surah Al-a'raf: 37, 113, 177, 178.
7) Surah Al-Anfal: 17, 30, 33, 36.
8) Surah At-Taubah: 32 dan 36.
9) Surah Yunus: 2 dan 16.
10)Surah Hud: 35.
11) Surah Yusuf: 39, 87, 91, 94, 97, 101.
12) Surah Ar-Ra'd: 11 dan 114.
13) Surah Al-Hijr: 95.
14) Surah An-Nahl: 128.
15) Surah Al-Isra': 1, 8, 36, 81, 96, 105, 110.
16) Surah Al-Kahfi: 110.
17) Surah Maryam: 34 dan 52.
18) Surah Thaha: 1 dan 131.
19) Surah Al-Ambiya': 3, 30, 36, 107.
20) Surah Al-Haj: 27.
21) Surah Al-Mu'minun: 27 dan 36.
22) Surah An-Nuur: 20.
23) Surah Asy-Syu'ara: 3, 222.
24) Surah An-Naml: 10.
25) Surah Al-Qashash: 6, 38.
26) Surah Al-Ankabut: 1.
27) Surah Al-Ahzab: 46.
28) Surah saba': 10.
29) Surah Yasin: 1, 3, 4, 6, 36, 58, 59, 83.
30) Surah Az-Zumar: 36, 37.
31) Surah Fush-Shilat: 31, 53.
32) Surah Fath: 1, 2, 3, 10.
33) Surah Adz-Dzariyat: 14.
34) Surah At-Thuur: 48.
35) Surah Al-Qamar: 44.
36) Surah Ar-Rahman: 2, 26.
37) Surah Al-Waqi'ah: 13, 79.
38) Surah Shaf: 8.
39) Surah Al-Qalam: 2.
40) Surah Al-Muzammil: 15.
41) Surah Al-Muddatsir: 25.
42) Surah Al-Bayyinah: 1.
43) Surah Az-Zilzalah: 1--3.
44) Surah An-Nashr dan Al-Lahab: 1.
j. Dasar Hukum
1) Pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana PASAL 56 a berbunyi : “Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.”
2) Surat
edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September
1984, antara lain :
a) Pengkajian terhadap aliran Ahmadiyah menghasilkan bahwa Ahmadiyah-Qadiyan
dianggap menyimpang dari Islam karena mempercayai
Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, sehingga mereka percaya bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi terakhir.
b) Malaysia
telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malaysia sejak tanggal 18 Juni 1975.
c) Brunei
Darussalam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Brunei Darussalam.
d) Rabithah
Alam Islami yang berkedudukan di Makkah telah mengeluarkan fatwa bahwa
Ahmadiyah adalah KAFIR dan KELUAR DARI ISLAM.
e) Pemerintah
Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah KAFIR
dan TIDAK BOLEH pergi haji ke Makkah.
f) Pemerintah
Pakistan telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah golongan MINORITAS
NON MUSLIM.
3) Bakorpakem
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) menyatakan aliran
Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam dan harus dihentikan. Karena dalam
pemantauan selama 3 bulan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terbukti tidak
melaksanakan secara konsisten 12 butir penjelasan pokok-pokok ajaran yang disampaikan
kepada publik. Bakorpakem memperingatkan agar warga JAI untuk menghentikan
perbuatannya, di dalam suatu keputusan bersama atau SKB, antara Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai UU Nomor 1 PNPS tahun 1965.
4) SKB yang dikeluarkan pada tanggal 9
Juni 2008 itu intinya berisi peringatan dan perintah kepada penganut, anggota,
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan
penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala
ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Dari uraian pembahasan diatas
jelaslah bahwa ajaran Ahmadiyah memang menyimpang dan bertentangan dengan
ajaran Islam yang sesungguhnya, bahkan yang menyangkut kaidah-kaidah yang
prinsip. Oleh karena itu perlunya suatu langkah-langkah solusi agar ajaran
Ahmadiyah tersebut tidak terus berkembang dan kembali pada akidah yang benar
sehingga tidak melukai hati pemeluk agama Islam lainnya.
ANALISIS SOLUSI PENYELESAIAN
Berdasarkan hukum dan keputusan SKB
tiga Menteri, Pemerintah selaku penguasa seharusnya bersikap tegas dengan
segera membuat surat keputusan yang melarang “ahmadiyah’ di Indonesia. Dalam
kasus ini komunitarian “ahmadiyah” sudah jelas melakukan penodaan terhadap
agama Islam. Kalau ahmadiyah tidak mengindahkan keputusan Bakorpakem maka
pengikutnya bisa di pidana selama 5 tahun. Apabila pemerintah, aparat penegak
hukum tidak segera bertindak dan membiarkan masalah ini berlarut-larut maka konflik horizontal tidak akan bisa dihindari
lagi.
Dengan
keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri,
dan Jaksa Agung pada hari senin tanggal 9 Juni 2008, ternyata belum menyurutkan
kontroversi Jama’at Ahmadiyah Indonesia (JAI). Enam butir keputusan SKB yang
intinya membekuan segala kegiatan JAI, belum memuaskan banyak pihak, baik yang
pro maupun kontra. Sampai hari ini ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Forum
Umat Islam (FUI) masih menuntut pemerintah membuat keputusan yang lebih kuat,
lebih dari sekedar pembekuan. Dengan menggelar aksi massal di depan Istana
Negara, mereka mendesak pemerintah segera membubar JAI dengan keputusan hukum
yang lebih tinggi, yaitu Keputusan Presiden (Kepres). Mereka menyatakan Ahmadiyah
sesat dari ajaran Islam, dan telah melakukan tindakan penistaan agama yang
lebih signifikan implikasinya dibandingkan kekerasan fisik. JAI sebagai pihak
yang menjadi objek hukum dari SKB tersebut, juga tidak kalah gesit. Dengan
dukungan berbagai pihak terutama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan, Pimpinan Ahmadiyah Indonesia mengajukan Judicial Review atas
SKB Pembekuan Jama’at Ahmadiyah Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Mereka
membela diri dengan mengatakan dirinya tetaplah muslim, sebab seluruh pengikut
Ahmadiyah tetap sholat, membaca Al Qur’an, dan mengakui Nabi Muhammad sebagai
Nabi utusan Allah layaknya umat Islam yang lain. Sebagai warga negara Indonesia
yang sah, mereka merasa berhak mendapatkan perlakuan yang baik termasuk dalam
berkeyakinan.
Persoalan
ini tidak akan ruwet jika kita dekati dari perspektif, apakah Ahmadiyah itu
termasuk aliran-aliran mainstream dalam Islam ataukah lepas dari Islam?
Pembahasan dan dialog tentang ajaran-ajaran Ahmadiyah dalam perspektif Islam
sudah selesai. Para ulama terkemuka Islam telah tegas menyatakan Ahmadiyah
merupakan aliran yang keluar dari Islam. Rabithah ‘Alam Islam, organisasi fatwa
yang diakui oleh umat Islam se-dunia telah menyatakan sesatnya ajaran
Ahmadiyah. Dua organiasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU telah
tegas mengemukakan Ahmadiyah bukanlah Islam. Meskipun ada nama Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) yang membela Ahmadiyah mati-matian dan sampai mati, namun
pendapat Kiyai Kharismatik NU ini hanya bersifat personal bukan institusi.
Tapi ketika kasus ini dibicarakan pada perspektif penegakan hak asasi manusia yang didalamnya tercantum diktum kebebasan berkeyakinan, penanganan Ahmadiyah menjadi tidak mudah. Dalih HAM yang saat ini bermetamorfosis menjadi kitab Undang-Undang paling suci di dunia, membuat paham-paham seperti: kebebasan beragama, sekularisasi, liberalisme, individualisme, serta pluralisme, telah berhasil melangkahi locallity values yang selama ini dipegang oleh masyarakat kita. Letak problematis JAI berada pada lingkup kenegaraan.
Teori populer tentang Negara mengatakan pemerintah tidak punya kewenangan mencampuri urusan keyakinan seseorang. Pemerintah sebagai perwujudkan organisasi yang bernama negara hanya berperan dalam ruang publik saja. Namun, pendapat ini bisa berubah melihat konteks masyarakat. Teori di atas berlatar belakang social-culture masyarakat Barat yang memang sekuleristik. Berbeda dengan konteks Indonesia, Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan “Karena rakyat Indonesia yang diayomi oleh Negara adalah masyarakat yang beragama, maka Negarapun memilki peran dalam mengatur agama”. Tinjauan historis membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap Realitas Ilahiah. Negara inipun didirikan atas dasar religiusitas sebagaimana yang tertuang dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Atas dasar itulah produk hukum berupa Undang-Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan, Perda dan lain sebagai, harus tetap terikat dengan landasan religiusitas itu, yang bersumber pada filosofi negara sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tapi ketika kasus ini dibicarakan pada perspektif penegakan hak asasi manusia yang didalamnya tercantum diktum kebebasan berkeyakinan, penanganan Ahmadiyah menjadi tidak mudah. Dalih HAM yang saat ini bermetamorfosis menjadi kitab Undang-Undang paling suci di dunia, membuat paham-paham seperti: kebebasan beragama, sekularisasi, liberalisme, individualisme, serta pluralisme, telah berhasil melangkahi locallity values yang selama ini dipegang oleh masyarakat kita. Letak problematis JAI berada pada lingkup kenegaraan.
Teori populer tentang Negara mengatakan pemerintah tidak punya kewenangan mencampuri urusan keyakinan seseorang. Pemerintah sebagai perwujudkan organisasi yang bernama negara hanya berperan dalam ruang publik saja. Namun, pendapat ini bisa berubah melihat konteks masyarakat. Teori di atas berlatar belakang social-culture masyarakat Barat yang memang sekuleristik. Berbeda dengan konteks Indonesia, Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan “Karena rakyat Indonesia yang diayomi oleh Negara adalah masyarakat yang beragama, maka Negarapun memilki peran dalam mengatur agama”. Tinjauan historis membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap Realitas Ilahiah. Negara inipun didirikan atas dasar religiusitas sebagaimana yang tertuang dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Atas dasar itulah produk hukum berupa Undang-Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan, Perda dan lain sebagai, harus tetap terikat dengan landasan religiusitas itu, yang bersumber pada filosofi negara sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kembali pada
kasus Ahmadiyah, jika kita memang ingin menegakkan asas demokratis yang
mengedepankan suara mayoritas sebagai patokan keputusan, maka suara mayoritas
umat Islam yang jumlah 85% dari 220 juta rakyat Indonesia perlu mendapat
perhatian serius dari pemerintah. Pandangan
ini bukanlah sebagai bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas. Namun, ketika
80.000 pengikut komunitarian Ahmadiyah di Indonesia (Pimpinan Ahmadiyah
mengklaim jumlah pengikutnya 800.000 orang, tapi jumlah 80.000 ini adalah hasil
penyelidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Indonesia) berpotensi
memunculkan konflik horizontal, rasanya pemerintah harus arif menyikapi hal
ini. Potensi konflik horizontal memang rentan terjadi jika kasus Ahmadiyah
tetap dibiarkan mengambang oleh pemerintah. Keberadaan komunitarian Ahmadiyah
menjadi duri dalam daging yang membuat umat Islam terus gelisah.
Dukungan dari pengikut Ahmadiyah dari 120 negara tak membuat Pimpinan Ahmadiyah Indonesia gentar demi langgengnya eksistensi Ahmadiyah di tanah air. Di pihak lain, sebagian umat Islam yang menganggap penodaan terhadap Islam oleh Ahmadiyah tak bisa ditolerir lagi.
Dukungan dari pengikut Ahmadiyah dari 120 negara tak membuat Pimpinan Ahmadiyah Indonesia gentar demi langgengnya eksistensi Ahmadiyah di tanah air. Di pihak lain, sebagian umat Islam yang menganggap penodaan terhadap Islam oleh Ahmadiyah tak bisa ditolerir lagi.
KESIMPULAN
Kasus Ahmadiyah menjadi ujian bagi
rasa toleransi yang selama ini kita junjung tinggi. Di tengah persoalan
kemiskinan, kekerasan pendidikan, korupsi, persaingan politik, dan
hilangnya kedaulatan negara, maka perlu kiranya pemerintah bertindak cepat
mengurai benang kusut yang satu ini. Masalah ini berpotensi besar menimbulkan
konflik, oleh karena itu penyelesaian harus dengan cara yang tepat.
Pendekatan yang digunakan tidak bisa dengan murni hukum, tetapi lebih tepat bila dilakukan dengan persuasif, dialog dan pembinaan. Keterlambatan pemerintah mengantisipasi dan menangani masalah ini dengan tuntas mengakibatkan semakin menambah rumitnya permasalahan manakala jumlah jamaah komunitarian Ahmadiah sudah mencapai angka 80.000 orang. Padahal aliran Ahmadiyah masuk di Indonesia sudah sejak tahun 1935. Dari dulu sampai saat ini, agama merupakan persoalan paling sensitif. Hanya agama yang bisa membuat seseorang rela mati demi mempertahankannya.
Pendekatan yang digunakan tidak bisa dengan murni hukum, tetapi lebih tepat bila dilakukan dengan persuasif, dialog dan pembinaan. Keterlambatan pemerintah mengantisipasi dan menangani masalah ini dengan tuntas mengakibatkan semakin menambah rumitnya permasalahan manakala jumlah jamaah komunitarian Ahmadiah sudah mencapai angka 80.000 orang. Padahal aliran Ahmadiyah masuk di Indonesia sudah sejak tahun 1935. Dari dulu sampai saat ini, agama merupakan persoalan paling sensitif. Hanya agama yang bisa membuat seseorang rela mati demi mempertahankannya.
(Fajar Purwawidada)
REFERENSI
1. Kitab
Undang Undang Hukum Pidana
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI, 1985
3. Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa
Agung tanggal 9 Juni 2008
4. Safudi,
Agus, 2005. Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah
Al-Qadiyan
5. Salim,
Hafsah, 2008. Kebenaran Tentang Ajaran
Ahmadiyah
6. Siti,
2008. Kasus Ahmadiyah
7. Surat
Pernyataan Permohonan Pelarangan secara nasional terhadap Ahmadiyah di Indonesia
tanggal 17 September 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar