Kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan beban pajak masuk bagi produksi film asing ke
Indonesia merupakan langkah untuk memberikan proteksi terhadap produksi film
nasional dari adanya kapitalisme film asing. Dalam puluhan tahun film nasional
tidak pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini disebabkan karena
salahnya pemerintah dalam membuat konsep tentang tujuan perfilman nasional.
Selama ini pemerintah hanya memandang obyek film cenderung hanya sebatas
sebagai fungsi hiburan dan komersial saja.
Padahal film dapat berfungsi banyak sebagai suatu media untuk penyampaian;
pendidikan, pengetahuan dan tehnologi, penanaman doktrin yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945, penyebarluasan program dan kebijakan pemerintah, serta
pengembangan budaya. Bahkan dalam dunia militer film dapat digunakan sebagai
sarana perang urat syaraf. Dengan kata lain bahwa film dapat digunakan untuk mencapai
tujuan membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Tetapi apa yang terjadi dengan film
nasional selama ini. Film nasional yang dibuat sama sekali jauh dari usur-unsur
pendidikan, bahkan dengan tema-tema yang irrasional dan tanpa budaya. Seperti banyak
mempertontonkan hal-hal berbau mistis, erotisme, kekerasan dan kehidupan yang
mewah, yang jauh dari realita masyarakat. Tidak hanya film, acara televisi juga
tiap hari telah menjejali masyarakat dengan tayangan buruk dan tidak senonoh sehingga
berpengaruh terhadap perilakunya. Kekerasan dan kekacauan masyarakat negeri ini
juga bisa dikatakan adalah dampak dari salahnya mainset tujuan film nasional
tersebut.
Dengan
adanya boikot dari asosiasi film Hollywood untuk beredar di bioskop Indonesia,
tentu sebenarnya ini merupakan kesempatan bagi insan perfilman nasional untuk
bangkit dan tampil menjadi primadona di negeri sendiri. Tetapi usaha pemerintah
untuk memberikan proteksi tidak akan mampu meningkatkan kuwalitas film nasional,
apabila insan perfilman nasional tidak mampu menunjukkan kreatifitasnya dan
tetap dengan memasang tema dan pemain yang itu-itu saja. Masyarakat akan jenuh,
bosan dan jengah dengan film nasional dan pasti akan berpaling kembali kepada
film asing (Hollywood). Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah penataan
kembali terhadap perfilman nasional, yaitu melalui; Satu, mengembalikan tujuan film nasional sebagai sarana pendidikan,
penyampaian informasi dan pembentukan perilaku masyarakat, bukan hanya
berorientasi sebagai hiburan dan mengejar keuntungan komersil saja. Dua, meningkatkan kreatifitas insan
perfilman dengan menampilkan film-film yang berbobot, berfariasi dan
berpendidikan. Menghilangkan tema-tema yang berdampak buruk dan tidak rasional
bagi masyarakat. Tiga, adanya peran
pemerintah untuk mendorong berkembangnya perfilman nasional dengan kebijakan
seperti pemberian subsidi terhadap tiket dan bantuan biaya pembuatan film,
pemberantasan pembajakan VCD dan proteksi terhadap produksi film nasional. Empat, peran serta badan sensor film
nasional untuk benar-benar menyeleksi film yang bermutu, bermanfaat dan layak
untuk dikonsumsi masyarakat.
Apabila
hal tersebut dapat dilakukan sebagai komitmen bersama antara insan perfilman
dan pemerintah, maka dapat diyakini film nasional dapat menjadi tuan rumah di
negeri sendiri dan mampu bersaing. Tetapi apabila tidak, sampai kapanpun negeri
ini akan terjajah oleh doktrin-doktrin dari film asing yang belum tentu sesuai
dengan kepibadian bangsa. Dan dampaknya adalah ketergantungan dan berubahnya
perilaku masyarakat yang menjauh dari jati diri sebagai bangsa Indonesia.
(Fajar Purwawidada, MH.,M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar