“Jika kalian
berada di Indonesia, maka negeri ini ditegakkan atas dasar hukum Thaghut (syetan)! Maka penguasa ini
adalah Thaghut, bukan Amirul Mukminin….Maka para pemimpin,
para pembesar dan para pemuka atau para pejabat yang memimpin manusia dalam
kesyirikan, dalam keburukan, hakekatnya adalah syetan. Kita berlindung kepada
Allah dari syetan-syetan itu. Yang naik mercy, berdasi, jaga gengsi, korupsi,
tak tau diri, kadang-kadang menawar-nawarkan grasi! Manusia berhukum kepadanya!
Kepada syetan itu, yang berwujud manusia itu kenapa? Karena mereka, para syetan
itu mengendalikan urusan manusia dengan undang-undang tentunya. Maka, itulah Thaghut!"
(Imam Samudra, 2009)
Kutipan tersebut diatas
bukan berasal dari kata-kata orang gila, tetapi dari seorang pelaku Bom Bali I
2002, yaitu Abdul Aziz alias Imam Samudra yang sangat waras. Bukan kemudian kita
harus terus larut untuk mengutuknya sebagai seorang teroris. Tetapi dari
kata-kata itu patut juga kita cermati sebagai bahan intropeksi diri.
Jangan-jangan memang benar apa yang telah diucapkan oleh Imam Samudra tersebut.
Yang mungkin merupakan bentuk rasa frustasi terhadap kondisi bangsa Indonesia
saat ini, khususnya dalam hal penegakan hukum. Mungkin juga banyak masyarakat
Indonesia yang mengalami frustasi seperti itu, hanya saja sosok Imam Samudra
beserta kelompoknya memberikan reaksi yang lain, bersifat radikal dalam bentuk
aksi terorisme.
Bagaimana tidak, dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir bangsa Indonesia diguncang oleh skandal
hukum yang sangat memalukan; banyaknya korupsi, suap, pencucian uang, mafia
peradilan, mafia pajak, bobroknya sistem lembaga pemasyarakatan, narkotika,
kasus asusila dan sebagainya. Begitu populernya istilah-istilah tersebut bagi
masyarakat awam, akibat dari tiap hari di media kita hanya disuguhkan berita
semacam itu. Dan yang lebih memalukan lagi bahwa kasus-kasus itu justru
dilakukan oleh para pejabat dan penegak hukum itu sendiri.
Permasalahannya
sekarang, kenapa perilaku penegakan hukum di Indonesia saat ini begitu
“amburadul”, bahkan kewibawaan lembaga hukum di Indonesia saat ini dapat
dikatakan berada di titik nadir. Apa yang salah dengan hukum di Indonesia?
Sebagai contoh dalam
kasus korupsi. Bangsa Indonesia saat ini dalam “keadaan bahaya”.
Bahaya bukan karena adanya serangan musuh dari luar, tetapi oleh merajalelanya
korupsi di negeri ini. Bisa dibayangkan bahwa saat ini ada sekitar 170 mantan
pejabat daerah Bupati dan Gubernur yang terbukti melakukan kejahatan korupsi
dan masuk penjara. Seperti apa bangsa ini apabila ternyata dipimpin oleh
orang-orang pencuri dan serakah. Ada bedanya, dahulu era 70-an pada saat itu
memang korupsi sudah ada, tetapi sangat malu-malu dan hanya sekedar karena
kebutuhan. Kalau saat ini korupsi sudah tanpa malu-malu lagi, bahkan terbuka,
terang-terangan dan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Bahkan setelah
terbukti dipengadilan dan berstatus sebagai terpidana seakan-akan tidak ada
rasa penyesalan atas perbuatan yang dilakukannya. Mungkin saja karena korupsi
dianggap sebagai budaya di Indonesia dan sebuah perilaku yang umum.
Masyarakat pada event tertentu sering menyebut korupsi
sebagai budaya, yaitu “budaya korupsi”. Kata-kata ini tidaklah tepat, karena
kata budaya itu mempunyai makna positif yang bermuatan moral dan etika.
Sehingga apabila kita sering menyebutkan budaya korupsi, maka dikhawatirkan
korupsi dianggap sesuatu yang biasa dan sudah mengakar di negeri ini, sehingga
sangat sulit untuk dibarantas. Persepsi ini akan membuat masyarakat dan penegak
hukum menjadi pesimis dalam menanggulanginya. Kemudian apa yang salah dari
hukum kita. Undang-undang tentang pemberantasan korupsi sudah dibuat dan KPK
sudah dibentuk, ternyata korupsi tetap saja masih banyak.
Produk hukum dan
kelembagaan yang kita miliki memang sudah cukup lengkap, undang-undang apa saja
sudah dibuat. Tetapi ternyata dalam hukum positif atau hukum buatan manusia ini
masih banyak kelemahannya. Kelemahan berasal sejak dari proses pembuatannya.
Dalam mekanisme pembuatan perundang-undangan di tingkat Lembaga Negara, sudah
dibahas rancangan materi oleh para pakar dan ahli sehingga mendapatkan rumusan
yang ideal bagi keadilan. Tetapi setelah akan diputuskan masuklah intervensi
politik sehingga hasil putusan berubah. Politik dalam teori adalah baik, yaitu
bagaimana mencapai tujuan untuk kemakmuran rakyat. Tetapi untuk di Indonesia
politik identik dengan sarat kepentingan individu dan kelompok semata. Sehingga
hasil dari perundangan itu tidak sesuai dengan apa yang dicitakan. Jauh dari
keadilan yang semestinya dinikamati oleh masyarakat.
Bukan hanya itu,
perilaku penegak hukum sendiri tidak dapat dijadikan teladan, tidak memiliki
moral, etika dan rasa malu. Banyak kasus suap terhadap polisi, jaksa, hakim dan
bahkan sampai pegawai Lapas. Sebagai contoh kasus suap tiga hakim Tipikor PN
Semarang: Lilik Nuraini, Asmadinata dan Kartini Juliana Marpaung yang
membebaskan banyak kasus korupsi yang ditanganinya.
Adanya intervensi
politik dalam pembuatan undang-undang akan menghasilkan produk nafsu
keserakahan itu (kekuasaan, ekonomi, materiil dsb.). Ini sebenarnya yang
kemudian disebut hukum positif tersebut telah kehilangan rohnya. Roh karena sebenarnya
hukum positif adalah perpanjangan dari hukum Tuhan.
Apabila melihat
teori dari Thomas Aquinas membedakan hukum menjadi empat kategori yaitu; lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan
lex humania. Lex aeterna adalah
hukum yang berasal dari Tuhan yang mengatur alam semesta, Lex naturalis adalah hukum yang berisi petunjuk umum tentang
insting mempertahankan hidup, berkeluarga, mengenal Tuhan, dan bermasyarakat. lex divina adalah merupakan penjabaran
dari Lex aeterna yang tercantum dalam
kitab atau merupakan hukum Tuhan yang tertulis. Sedangkan lex humania adalah hukum buatan manusia atau yang lebih dikenal
dengan hukum positif.
Kemudian lebih
lanjut hukum Tuhan (Teologi Hukum) berlaku sepanjang waktu dan senantiasa
dibutuhkan kehadirannya sebagai dasar, penuntun, penjaga dan skaligus obat bagi
kesempurnaan hukum, dikarenakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Teologi
Hukum merupakan seperangkat norma-moral sosial.
2.
Teologi
Hukum merupakan realitas kodrati, universal.
3.
Teologi
Hukum bersifat normative, eksis di alam sollen
dan bersifat a priori.
4.
Teologi
Hukum berfungsi sebagai pengaruh, control dan ukuran terhadap perilaku manusia.
Dengan demikian
hukum positif merupakan hukum terbawah,
dalam arti bahwa dalam merumuskannya haruslah memadukan ketiga kategori
diatasnya, yaitu hukum Tuhan, hukum alam dan Kitab. Sehingga tidak melampau
kewenangan yang diberikan Tuhan. Undang-undang haruslah dibuat semata-mata
dalam rangka menopang kebaikan umum. Oleh karena itu apabila terdapat
undang-undang yang sewenang-wenang terhadap masyarakat, maka itu merupakan
produk nafsu (Sudjito, 2007).
Maka kemudian
dapatlah diketahui akar penyebabnya terhadap kekacauan hukum Indonesia, yaitu
bahwa selama ini hukum positif kita telah lama meninggalkan Teologi Hukum
sebagai dasarnya. Hukum positif kita hanya dipenuhi oleh
kepentingan-kepentingan sesaat yang jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.
Padahal Teologi Hukum apabila diterapkan sebagaimana ciri-cirinya maka
dipastikan dapat membimbing pada hukum positif yang berketujuan, berkeadilan
dan memberikan kepastian untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan sosial, baik
kebutuhan materiil maupun spiritualnya.
Kemudian dari
Teologi Hukum tersebut akan dapat pula menghasilkan penegak hukum yang memiliki
moral dan etika. Prinsip bahwa seorang hakim memiliki moral dan etika dalam
memutuskan suatu kasus. Karena hakim adalah pengambil keputusan yang menentukan
nasib hidup seseorang. Dan bahkan lebih dari itu seorang hakim merupakan
perpanjangan kekuasaan hukum Tuhan, sebagai wakil Tuhan di bumi. Diberi
kekuasaan yang luas hingga dapat menemukan hukum sendiri. Oleh karena itu dalam
memutuskan kasus dipengadilan hakim harus mampu menggunakan hati nurani.
Menilai benar salah, baik buruk yang berpedoman pada moral dan etika untuk
menghasilkan keputusan yang seadil-adilnya, dan bukan sebagai “kuli
pasal-pasal”. Niscaya dengan kita berpegang kembali pada hukum Tuhan (Teologi
Hukum) maka kewibawaan hukum di Indonesia dapat tegak kembali sebagai panglima
dan sesuai cita hukum Indonesia.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar