Pada sepuluh tahun belakangan ini
telah terjadi kerisauan terhadap kondisi hukum di Indonesia yang cenderung
carut marut. Reformasi hukum dirasakan gagal disebabkan pradigma yang
mendasarinya tidak berubah, yakni paradigma positivisme. Keadaan tersebut
menjadikan hukum sekedar untuk hukum itu sendiri dan bukan hukum untuk manusia.
Akibatnya hukum diterapkan secara kaku dan memaksa manusia untuk digiring dalam
kerangka hukum positif. Paradigma positivisme ternyata telah mengakibatkan
kepincangan hukum dalam menegakkan keadilan, kesejahteraan, ketentraman dan
kepastian. Contoh perilaku hukum yang “amburadul” di Indonesia rasanya tidak
perlu diungkapkan kembali karena dipastikan merupakan suatu hal yang bukan
rahasia umum lagi. Masyarakat telah mengetahui, paham dan semakin cerdas akibat
tiap hari disuguhkan berita-berita di media tentang perilaku hukum yang
amburadul tersebut. Lalu kemudian pertanyaannya kenapa kondisi hukum di
Indonesia terjadi seperti itu?
Analisa yang paling kuat penyebab
hukum amburadul tersebut adalah karena hukum di Indonesia tidak menggunakan
paradigma Pancasila. Sebagai arti kata paradigma adalah bentuk dari keyakinan,
maka berarti yang terjadi adalah tidak adanya keyakinan atau kepercayaan
terhadap Pancasila itu sendiri. Posisi Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi berimplikasi terhadap Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia. Sehingga perilaku hukum di Indonesia memang tidak dapat
dipisahkan dari perilaku masyarakatnya terhadap ideologinya. Jelas bahwa
hubungan empiris ini jarang dilihat oleh para ahli hukum dalam analisanya.
Pancasila
memang digali dari budaya bangsa dan dinyatakan sebagai sesuatu yang final
dalam kehidupan berbangsa dan negara. Pancasila merupakan akumulasi dari
nilai-nilai yang ada di masyarakat. Tetapi yang menjadi permasalahannya adalah
bahwa kelima sila tersebut seperti kata-kata dewa yang berada di awang-awang
surga. Dalam arti bahwa bahasa kelima sila tersebut sangatlah berarti luas dan
mengandung idealisme yang sempurna. Harus ada jembatan penghubung antara surga
dan bumi, agar bagaimana kata-kata dewa tersebut dapat membumi dan dapat
dipahami oleh masyarakat. Perlu adanya penjabaran dalam bentuk petunjuk
tingkahlaku tiap sila tersebut sehingga masyarakat akan lebih mudah
menerapkannya dalam kehidupannya.
Pada
Era Orde Baru telah dirumuskan butir-butir P4 sebagai penjabaran dari tiap-tiap
sila Pancasila. Namun pada Era Reformasi P4 telah dihapuskan akibat adanya apriori
politik. Tindakan “politik emosional” tersebut telah menjadikan petaka terhadap
ideologi dan kehidupan bangsa pasca reformasi. Butir-butir P4 yang berisi
petunjuk tingkah laku, penjabaran dari pengamalan sila-sila Pancasila sebagai
jembatan penghubung antara bahasa dewa di surga dan menjadikannya bahasa yang
membumi yang dapat lebih mudah dipahami sebagai panduan masyarakat dalam
mengamalkannya. Dengan butir-butir P4 tersebut dapat diaktualisasikan dalam
bentuk pembelajaran dan pelatihan-pelatihan P4 yang terprogram dan sistematis.
Berbeda
dengan kondisi saat ini bahwa sila-sila Pancasila tetaplah sebagai bahasa dewa
yang seakan merupakan idealisme sempurna yang ternyata sulit dimengerti apalagi
dilaksanakan oleh masyarakat. Misalnya sila ketuhanan yang Maha Esa. Apa dan
bagaimana yang dimaksud dengan ketuhanan yang Maha Esa itu? Bagaimana
mengaplikasikannya dalam kehidupan? Tidak jelas, sangatlah umum dan sesuai
persepsi masing-masing. Oleh karena itu tetap perlu adanya bahasa penjabaran
dari sila-sila Pancasila tersebut. Mungkin bukan P4 yang secara apriori disebut
produk Orde Baru. Tetapi perlu kiranya dibuatkan kembali rumusan penjabaran
pelaksanaan terhadap sila-sila Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Dengan
adanya rumusan itu maka akan dapat mempermudah pemahaman melalui program pelatihan
dan pembinaan terhadap masyarakat.
Dalam
sebuah ideologi memang perlu adanya doktrinasi terhadap masyarakatnya. Tidak
mungkin ideologi tanpa doktrinasi. Oleh karena itu memang sangatlah wajar dan
seharusnya Pancasila sebagai ideologi bangsa ditanamkan kepada masyarakatnya
melalui doktrinasi. Semua negara pasti melakukan doktrinasi ideologi terhadap
warga negaranya. Pemerintah hendaknya tidak ragu-ragu dan takut lagi menanamkan
ideologi tersebut melalui program doktinasi (pendidikan, penataran, pelatihan
dsb.) terhadap masyarakatnya. Berbeda sekali dalam pemahaman penggunaan kata
“doktrinasi” dengan “sosialisasi”. Saat ini pemerintah serasa takut menggunakan
kata doktrinasi akibat intervensi HAM dan demokratisasi. Tetapi sesungguhnya
doktrinasi merupakan kata yang tegas bahwa ideologi memang harus diterima, dimengerti,
dipahami dan dilaksanakan. Pemerintah cenderung memperhalus bahasa dengan
menggunakan kata sosialisasi. Sosialisasi tidak mempertegas bahwa ideologi
tersebut harus diterima karena hanya bersifat pemaparan saja. Untuk memahami ideologi
memang harus dipaksakan pada awalnya, tetapi apabila ideologi tersebut sudah
tertanam dengan kuat dan sadar, maka langkah selanjutnya hanyalah tinggal
pembinaan.
Tetapi
perlu diingat juga bahwa Pancasila merupakan nilai-nilai yang universal.
Pancasila tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang kemudian mengilhami hukum
dalam pasal-pasal batang tubuhnya. Sedangkan
kondisi masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, beraneka ragam
nilai budayanya. Kondisi tersebut memungkinkan adanya nilai-nilai masyarakat
tertentu tidak terwadahi dalam nilai-nilai Pancasila maupun UUD 1945.
Berdasarkan pengalaman sejarah perjalanan Pancasila, bahwa pemaksaan terhadap
ideologi Pancasila dan UUD 1945 telah melahirkan konflik yang berkepanjangan
dan merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri. Pada
saat penentuan Pancasila sebagai dasar negara pada 1945 menimbulkan
pertentangan keras antara kelompok yang menghendaki negara berdasarkan
nilai-nilai syariat Islam yaitu Piagam Jakarta, dengan kelompok yang
menghendaki negara berdasarkan Pancasila. Dengan akhirnya Pancasila dipilih
sebagai dasar negara dan terpinggirkannya Piagam Jakarta mengakibatkan kekecewaan
dan konflik, yang kemudian melahirkan Kartosuwiryo dengan gerakan Darul
Islamnya (DI/TII), PRRI/Permesta dan hampir semua gerakan Islam di Indonesia
termasuk di Aceh terkait dengan konflik ini. Kemudian Era Orde Baru pada 1985
menetapkan bahwa Pancasila sebagai
satu-satunya azas atau sebagai azas tunggal telah melahirkan konflik di
berbagai daerah diantaranya adalah kerusuhan Tanjung Priok. Penerapan azas
tunggal juga melahirkan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dengan Jama’ah
Islamiyahnya, yang kemudian jaringannya mengakibatkan adanya hujan bom di
Indonesia hingga kini. Kelemahan pada Era Orde Lama dan Orde Baru dalam
menanamkan atau doktrinasi ideologi Pancasila adalah tidak adanya ruang atau
saluran bagi kelompok masyarakat yang merasa nilai-nilai yang diyakininya tidak
dapat terserap atau terwakili dalam rumusan Pancasila atau UUD 1945. Dengan
tersumbatnya saluran tersebut secara formal, maka kelompok yang tertekan
tersebut tentu akan mencari saluran lain yang non-formal, yaitu dalam bentuk
aksi kekerasan, pemberontakan ataupun terorisme. Sebagai solusi dari adanya
konflik-konflik tersebut, maka diperlukan adanya konsensus yang merupakan
pengakuan terhadap adanya nilai-nilai masyarakat yang belum terakomodir dalam
Pancasila dan UUD 1945 tersebut dengan memberikan ruang pada peraturan perundangan
dibawahnya. Khususnya peraturan daerah dapat sebagai saluran dari nilai-nilai
tersebut yang bersifat kedaerahan, adat, kelompok minoritas atau kelompok
tertentu. Sebagai contoh yang konkrit adalah dengan diterapkannya syariat Islam
melalui peraturan daerah di beberapa wilayah Indonesia. Apalagi materi
pembuatan peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945.
Kemudian
ideologi negara dapat diyakini oleh masyarakatnya tentu bukan hanya sekedar
karena doktrinasi atau dihafalkan saja, tetapi juga harus ada empirisnya
terhadap kesejahteraan kehidupan bagi masyarakatnya. Ideologi apabila ternyata
terbukti tidak mampu menyejahterakan rakyatnya, maka cepat atau lambat ideologi
tersebut akan ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakatnya. Sebagai contoh
ideologi komunis yang terkenal dengan sosialisnya ternyata negara-negara yang
menganut ideologi tersebut sulit untuk berkembang, dan bahkan jatuh terpuruk
dalam kemiskinan. Unisoviet sendiri sebagai pengusung ideologi itu runtuh dengan
sendirinya. Berbeda dengan China. Negara China merupakan negara ideologi
komunis, tetapi ia tetap bisa eksis dan berkembang pesat ekonominya, bahkan
menjadi kekuatan terbesar di Asia karena dalam ekonominya ternyata menerapkan
liberalisme.
Di
Indonesia sudah sekian lama merdeka dan menggunakan ideologi Pancasila ternyata
belum juga menjadi negara maju dan rakyatnya sejahtera. Bahkan sebaliknya saat
ini banyak terjadi kegoncangan-kegoncangan politik dan perilaku hukum yang
bersumber dari rendahnya nilai moral, etika, kesopanan dan kesusilaan para
penguasanya. Apabila tidak segera diatasi maka tidak heran apabila cepat atau
lambat Pancasila akan ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakatnya sebagai
ideologi. Sebagai contoh kasus yang menarik bahwa masyarakat yang berada di
perbatasan dengan Malaysia rela membayar untuk dapat pindah menjadi warga
negara Malaysia. Masyarakat di perbatasan tidak perduli tentang apa itu
ideologi Pancasila, siapa Presidennya dsb. Tetapi yang penting bagi mereka
adalah bagaimana anak-anak mereka dapat sekolah yang layak, mudah mendapatkan
penghasilan, mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Dari
pemaparan yang singkat diatas, maka sependapat bahwa memang sudah sangat
mendesak diperlukan adanya revitalisasi Pancasila sebagai Ideologi. Begitu
buruknya kondisi idologi Pancasila apabila tidak segera diatasi maka dapat
diyakini tidak lama lagi Pancasila akan ditinggalkan dan dilupakan oleh
masyarakatnya. Bahwa visi ideologi Pancasila sebagai ideologi yang dapat
sejajar dan berpengaruh di internasional seperti ideologi komunis dengan
sosialisnya dan liberal dengan kapitalisme tidak akan terwujud. Justru
sebaliknya saat ini Indonesia telah terpengaruh dengan kuat ideologi liberalis
dengan kapitalismenya dalam segala sendi kehidupan berbangsa. Sesuai sifatnya,
liberal kapitalisme telah menempatkan kepentingan kelompok “borjuis” dan
pemilik modal dalam segala hal. Liberal kapitalisme di Indonesia telah
meminggirkan nilai-nilai masyarakat yang Pancasila dengan ekonomi
kerakyatannya.
Oleh
karena itu berbicara hukum paradigma Pancasila tidak terlepas dari pembahasan
tentang Pancasila sebagai ideologi itu sendiri. Apabila ideologi Pancasila
lemah tidak tertanam kuat dalam masyarakat akibat salah “urus” politik dan
tidak menyejahterakan, maka Pancasila akan tergeser oleh ideologi asing.
Akibatnya kepercayaan (paradigma) masyarakat terhadap Pancasila juga semakin
terkikis dan tidak lagi memandang Pancasila sebagai ideologi yang bermanfaat.
Pancasila hanya akan menjadi slogan belaka tanpa makna. Sehingga pengaruhnya
terhadap hukum di Indonesia, pantaslah saat ini hukum tidak lagi menggunakan
paradigma Pancasila karena lemahnya keyakinan pembuat undang-undang (hukum)
terhadap ideologi tersebut. Kemudian masuklah ideologi asing sebagai pengganti
yang bersifat liberalis kapitalis itu. Tidak heran makanya hasil dari produk
hukum tidak ubahnya sebagai undang-undang untuk melindungi dan memperkaya kaum
borjuis dan pemilik modal. Sedangkan rakyat jelata semakin tertindas dan
terbelenggu oleh hukum itu sendiri. Kondisi
tersebut akhirnya mengakibatkan adanya kesenjangan keadilan dalam
penerapan hukum. Hukum yang bertujuan memberikan kesejahteraan, ketentraman,
keadilan dan kepastian semakin jauh dari harapan.
Kondisi
perilaku hukum yang amburadul pasti akan berakhir dengan konflik. Dan konflik
yang berkepanjangan akibat hukum yang tidak terbarukan paradigmanya akan
mengancam stabilitas dan integritas bangsa. Perlu adanya rekonstruksi hukum
secepatnya. Revolusi hukum harus dilakukan untuk melepaskan sifat positivisme
dan kembali pada hukum yang berparadigma Pancasila, dengan memberikan roh
nilai-nilai Pancasila pada setiap pembuatan perundang-undangan.
Pengaruh
paradigma Pancasila tidak berhenti pada saat pembuatan perundang-undangan saja,
tetapi juga sekaligus akan berpengaruh terhadap moral, etika, kesopanan dan
kesusilaan masyarakat yang akan melaksanakan hukum tersebut secara baik dan
bertanggung jawab. Akhirnya kuatnya ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup
akan dapat menuntun dan membimbing masyarakatnya untuk dapat berbudaya hukum.
Kemudian Indonesia sebagai negara hukum dapat mewujudkan cita hukumnya yaitu
hukum sebagai panglimanya.
(Fajar Purwawidada, MH.,M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar