Terorisme merupakan kejahatan transnasional, dalam arti bahwa membahas
terorisme harus melihat dari sudut pandang luas apa yang terjadi di
internasional dan tidak terbatas mencari jawaban hanya pada apa yang telah
terjadi di Indonesia saja. Hal ini jelas adanya keterkaitan antara sejarah
perkembangan politik negara-negara Islam di Timur Tengah dengan lahirnya
terorisme di berbagai belahan dunia yang lain, termasuk Indonesia. Berikut ini gambaran bahwa
lahirnya fatwa jihad dan terorisme selalu mengiringi perjalanan pergolakan
politik dan konflik yang terjadi di negara-negara Islam di Timur Tengah.
a. Penaklukan Kota Baghdad
1258 M
Berawal dari sejarah zaman
yang kacau balau ketika negeri-negeri Islam diserang pasukan Salib dan Mongolia
yang dibantu orang-orang Syi’ah dan nasrani. Kemudian muncul nama seorang ulama
Syaikh Ibn Taymiyyah (1263-1328 M) dari Harran, Syiria. Pada saat terjadi
pembantaian massal ribuan umat Islam di Kota Baghdad pada 1258 M oleh bangsa
Mongolia, Ibn Taymiyyah dan keluarganya terpaksa harus mengungsi dari tanah
kelahirannya ke Damaskus. Dalam pelariannya tersebut mereka hampir saja
terbunuh dan terus dikejar-kejar tentara Mongolia. Beruntung berhasil selamat,
tetapi dalam pengungsiannya hidup Ibn Taymiyyah dan keluarganya sangat menderita
dan kesulitan. Keadaan ini merupakan pengalaman yang pahit dalam hidupnya.
Setelah dewasa kemudian Syaikh
Ibn Tamiyyah mempunyai pemikiran bagaimana untuk mengatasi kekacauan dan dapat
melawan pasukan Salib dan Mongolia. Jalan yang dimaksud adalah dengan melalui Jihad
(perang). Ibn Taymiyyah kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa untuk dapat
membangkitkan semangat kaum muslimin untuk berperang dan berjihad. Fatwa
tersebut menyatakan bahwa berjihad merupakan keutamaan dari ibadah-ibadah yang
lain dan merubah hukum jihad yang semula fardlu
kifayah menjadi fardlu’ain (wajib
bagi setiap muslim) dengan mengatakan Salibis dan Mongolia adalah golongan orang-orang
kafir yang pantas untuk diperangi.
Selain itu Ibn Tamiyyah
juga menyatakan bahwa Mahmud Ghazan bin Argun raja Mongolia yang sudah masuk
agama Islam adalah murtad karena keislaman mereka tidak mengurangi ambisinya
untuk menaklukan dan menghancurkan Islam. Oleh karena itu suatu kewajiban jihad
untuk melawan penguasa yang murtad tersebut.
Bagi Ibn Tamiyyah jihad merupakan
bahasa lain dari perang, kata jihad terasa lebih ampuh untuk menggelorakan
perang dan mengikat secara emosional bagi kaum muslim lainnya untuk patuh dan
turut serta dalam perang. Dengan alasan bahwa perang ini adalah defensif untuk
membela kehormatan dan dien (agama)
yang diserang dan hukumnya menjadi lebih wajib menurut ijma’ (kesepakatan ulama).
Bahkan dalam jihad
tersebut dibenarkan melakukan aksi terorisme (irhabiyah) yaitu membunuh rakyat sipil seperti wanita, orang tua,
anak-anak dan pendeta. Darah mereka yang semula haram menjadi halal dibunuh
apabila mereka ikut dalam memerangi kaum muslim baik dengan perbuatan maupun
ucapan. (Solahudin, 2011).
Peristiwa diatas
menggambarkan bahwa munculnya jihad dan terorisme (irhabiyah) dikarenakan adanya penindasan, kejahatan kemanusiaan
dan ketidak adilan yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan. Keadaan ini
yang membangkitkan Ibn Taymiyayah untuk mengobarkan perlawanan dan perang total
dengan mengatas namakan jihad dengan mengambil rujukan pada nash-nash Al-Quran
dan hadis-hadis yang sahih sebagai pembenaran dan dapat mengobarkan perang
total melawan kafir. Kata kafir disini selain memang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran
dan hadis, tujuan lain adalah untuk mempertegas pembedaan antara kawan dan
lawan. Kawan adalah kaum muslim, sedangkan lawan muslim disebut kafir. Kafir
juga akan memberikan pengertian konotasi dan nilai antagonis sehingga
membangkitkan semangat kaum muslim untuk memeranginya.
Pada awalnya Ibn Tamiyyah
adalah seorang salafy. Kelompok
salafy merupakan gerakan pemurnian Islam yang berusaha mengembalikan pemahaman
agama menurut generasi salafus shalih. Generasi
ini dianggap merupakan zaman murninya ajaran Islam karena terdiri dari;
generasi sahabat nabi, generasi tabiin
dan generasi tabiit tabin. Tetapi
keadaan dan pengalaman buruk pada diri Ibn Taymiyyah dapat merubah alirannya
menjadi salafy jihadisme yaitu
merupakan penggabungan antara pemahaman salafy yang diyakininya dengan jihad
(perjuangan) yang dilakukannya.
b. Pergolakan Berdirinya
Negara Daulah Saudiyyah
Pada abad ke-17 muncul
nama Muhammad bin Saud, kepala suku di daerah Dari’yyah, Najd. Muhammad bin
Saud memiliki keinginan dan tujuan politik untuk melawan kekhalifahan Turki
Utsmani yang menguasai Jazira Arab dan membentuk negara sendiri yaitu Daulah
Saudiyyah (Kerajaan Arab Saudi). Untuk mewujudkan keinginannya tersebut maka
perlu menggalang dukungan dari Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama pengagum
dan pengikut ajaran salafy Ibn
Taymiyyah (abad ke-13).
Muhammad bin Abdul Wahhab
saat itu ingin mengembalikan pemurnian ajaran Islam pada masyarakat Arab yang
dianggapnya telah banyak melakukan ritual-ritual agama yang menyimpang. Oleh
karena itu Muhammad bin Abdul Wahhab menyambut baik Muhammad bin Saud sebagai
penguasa yang akan mendukung dakwahnya. Sedangkan Muhammad bin Saud meminta
Muhammad bin Abdul Wahhab untuk dapat memberikan fatwa bahwa Turki Utsmani
sebagai al dawlah al kufriyyah
(bangsa kafir). Selanjutnya menyatakan barang siapa yang mendukungnya adalah sama
berdosanya dengan mendukung orang Kristen atau Yahudi. Muhammad bin Abdul
Wahhab dalam fatwanya menggunakan rujukan fatwa Ibn Taymiyyah pada saat melawan
bangsa Mongolia.
Dengan menyatukan kekuatan
jihad melawan pemerintah kafir Turki Utsmani dan jihad melawan orang-orang
musyrik menjadi sesuatu kekuatan yang luar biasa, sehingga Daulah Saudiyyah
dapat berhasil didirikan. Meskipun kemudian sempat dapat kembali ditaklukkan
oleh Turki Utsmani yang di bantu tentara Mesir. Anak cucu Muhammad bin Saud dan
Muhammad bin Abdul Wahhab berhasil kembali memproklamirkan Daulah Saudiyyah
pada tahun 1926. Kemudian menjadikan salafy
atau wahhabi sebagai mazhab resmi di
Arab Saudi.
Dari uraian peristiwa
diatas dapat diketahui bahwa fatwa-fatwa ulama dapat dijadikan sebagai alat
pembenaran dalam melakukan jihad untuk mencapai tujuan politik yaitu perebutan
kekuasaan dan mendirikan negara baru. Di negara-negara Islam Timur Tengah
seorang ulama merupakan tokoh sentral dalam setiap perumusan kebijakan
pemerintah. Fatwa-fatwanya akan selalu dipandang dan diikuti jamaahnya.
Sehingga ulama memiliki pengaruh yang cukup besar dan kekuatan untuk
memobilisasi massa. Meskipun ternyata ulama bukan saja hanya terbatas memberikan
pengaruh dalam ajaran-ajaran Islam, tetapi juga ikut masuk dalam Islam politik.
Ada korelasi antara fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dengan konsensus
yang didapatkannya, meskipun konsensus tersebut juga bertujuan untuk
pengembangan dakwah agama.
c. Perebutan Sumber Daya Alam
Sebagian besar konflik
terjadi akibat persoalan politik, etnik atau agama, yang diperparah oleh adanya
kompetisi ekonomi. Tetapi kalau diamati beberapa perang pasca Perang Dingin,
jelas terlihat bahwa kompetisi merebutkan sumber daya alam merupakan faktor
yang signifikan. Berbagai perang etnik atau perang antar kelompok agama seringkali terjadi akibat
pertikaian sengit merebutkan sumber bahan material yang bernilai tinggi,
seperti tambang minyak bumi. Karena itu, untuk memahami konflik internasional,
sangat perlu untuk menelaah hubungan antara persaingan merebutkan sumber daya
alam dengan berbagai penyebab lain terjadinya konflik. ( Mas’oed, 2011)
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar sumber energi
minyak dunia berada di daerah Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Sumber minyak
yang melimpah mengakibatkan banyaknya kepentingan negara-negara Barat masuk ke
wilayah Arab Saudi. Kepentingan politik tersebut salah satunya dapat
direalisasikan dalam bentuk bantuan ribuan para ahli eksplorasi dan konstruksi
minyak. Kebijakan pemerintah Arab Saudi untuk medatangan banyaknya pekerja
asing ini akhirnya menjadi masalah sosial dan mendapatkan penolakan oleh para
ulama. Salah satu tokoh penting ulama yang menentang adalah Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz. Ia menyebutkan bahwa kebijakan
pemerintah tersebut telah bertentangan dengan ajaran Wahhabi, yang kemudian
mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya mempekerjakan pegawai non- muslim di
Jazira Arab pada tahun 1940. Selain itu masuknya bangsa Barat di Jazira Arab juga
mengakibatkan benturan peradaban dan budaya. Banyak pengaruh budaya Barat yang
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan budaya masyarakat Arab Saudi
mengakibatkan resistensi terhadap bangsa Barat. Karena ketidakpuasan dan penolakan
terhadap masuknya bangsa Barat tidak ditanggapi oleh pemerintah, maka pada
tahun 1960-an, Abdullah bin Baz di Madinah membentuk Jama’ah Salafyyyah Al Muhtasiba (JSM) yang merupakan cikal bakal
gerakan salafy atau neo-wahhabi.
Pengaruh JSM semakin
meluas dan mendapat dukungan dari para ulama, hingga pada tahun 1976, berhasil
mendirikan cabang di berbagai kota di Arab Saudi seperti Mekkah, Riyadh, Jedah,
Thaif, Ha’il, Abha, Damman dan Burayda. Selain itu JSM juga membangun hubungan
degan kelompok Wahhabi diluar Arab Saudi, seperti kelompok Ahlu Hadis di Pakistan dan Anshar
As-Sunnah Al Muhammadiyyah di Mesir.
Puncak dari gerakan JSM
ini adalah terjadinya peristiwa Mekkah Berdarah pada tanggal 20 November 1970.
Juhaiman Al Utaibah, mantan pengikut JSM dan sekitar 300 pengikutnya yang
bersenjata menduduki Haram Al Syarif
(Monumen Suci) dan menyandera umat islam yang sedang melaksanakan ibadah haji.
Tindakan ini merupakan bentuk pemberontakan terhadap pemerintah Arab Saudi yang
dinilai kebijakannya menyimpang dari ajaran salafy.
Ketidakpuasan terhadap pengelolaan
Sumber Daya Alam (resources) dan
benturan peradaban serta budaya akhirnya dapat menimbulkan bentuk aksi-aksi
kekerasan (terorisme). Tidak tersalurkannya jalur aspirasi masyarakat terbukti
akan mengakibatkan masyarakat mencari jalur-jalur lain untuk dapat menyalurkan
aspirasinya. Salah satunya dengan cara kekerasan (terorisme). Sehingga dengan
cara tersebut aspirasinya dapat didengar, diterima dan direspon dengan baik
oleh pemerintah.
d. Perang Afganistan
Perang di Afganistan merupakan perlawanan terhadap Uni
Soviet yang telah menduduki Afganistan sejak tahun 1979. Konflik ini juga tidak
terlepas dari adanya pengaruh ”perang dingin” antara negara adidaya
Soviet-Amerika. Amerika selain memiliki kepentingan di Timur Tengah terkait
dengan sumber minyak, juga Afganistan dapat dijadikan sebagai ”balas dendan”
terhadap Uni Soviet atas kekalahannya di perang Vietnam. Dimana dalam perang
vietnam tersebut Uni Soviet telah menyokong pejuang komunis Vietnam. Untuk
mencapai keinginannya maka Amerika melakukan konspirasi dengan Arab Saudi
dengan mendukung kelompok perlawanan Afganistan ”mujahidin”. Kelihatan memang
dalam konflik di Timur Tengah, pemerintah Arab Saudi memiliki sikap yang
mendua. Disatu sisi Arab Saudi perlu untuk bekerja sama dengan Amerika karena kebutuhan
tehnologi dan tenaga ahli dalam pengelolaan sumber daya minyak serta bantuan
keamanannya. Disisi yang lain dia harus melawan Amerika atas dorongan
masyarakatnya yang anti Amerika dan untuk menunjukkan komitmennya terhadap
ajaran-ajaran Islam.
Alasan lain Arab Saudi mendukung perang di Afganistan adalah untuk menjegal
Iran yang juga akan menyebarkan revolusi Syiah ke Afganistan. Iran dianggap
berbahaya bagi Arab Saudi. Setelah naiknya Khomeini pada 1976, Syiah menjadi
kekuatan politik baru yang secara terang-terangan menyatakan sikap bermusuhan
dengan Arab Saudi. Kelompok Syiah menuduh wahhabi sebagai ”Islam-Amerika”
karena kedekatannya Arab Saudi dengan Amerika.
Kebijakan pemerintah Arab Saudi di
Afganistan tersebut mendapat dukungan dari ulama Syaikh Abdul Azis bin Abdullah
bin Baz, dengan mengeluarkan fatwa yang mendukung jihad di Afganistan :
”We thank God who
is generous. He allow us to issue a fatwa stating that one should perform jihad
in Afganistan against the enemies of religion. Jihad was confirmed in its
global Islamic image”.
Kemudian fatwa ini ditindaklanjuti oleh Syaikh Abdullah Azzam (1941-1989)
yang menggelorakan jihad di Afganistan
dengan propaganda-propaganda yang dilakukan untuk menarik simpati dan
mendatangkan sukarelawan jihad ke Afganistan dari seluruh dunia. Syaikh Abdullah Azzam dengan dibantu Usamah bin
Laden mendirikan tempat latihan perang (i’dad
askary) untuk para sukarelawan jihad yang datang ke Afganistan dan kemudian
menggabungkan dengan kelompok mujahidin. Kamp pelatihan itu berada di
perbatasan Afganistan dan dikenal dengan sebutan Muaskar Saada. Propaganda yang gencar dari Abdullah Azzam dalam
bentuk publikasi majalah dan buku-buku jihad mendapatkan respon yang luar
biasa.
Abdullah Azzam dalam propagandanya banyak mengutip fatwa-fatwa dari Ibn
Taymiyyah diantaranya;
”Jika musuh telah
memasuki satu tanah Islam, maka tidak ada keraguan lagi bahwa menjadi kewajiban
bagi mereka yang paling dekat dengan negeri tersebut untuk bangkit
mempertahankan diri melawan musuh, kemudian kewajiban ini berlaku atas mereka
yang berada di sekelilingnya, kemudian sekeliling mereka lagi.....demikian
seterusnya, karena seluruh tanah Islam itu hakekatnya adalah satu negeri”.
Kemudian Abdullah Azzam juga
atas dasar pendapat Ibn Taymiyyah berfatwa;
”Siapa saja yang
berperang atau ikut membantu memerangi kita dengan cara apa saja, maka kita
berhak membunuh atau memeranginya. Oleh sebab itu, kita tidak perlu memerangi
kaum wanita, karena mereka adalah kaum lemah, kecuali jika mereka bergabung
dengan orang musyrikin...”
Fatwa ini yang menjadikan
dasar diperbolehkannya membunuh kaum sipil apabila mereka dianggap membantu
memerangi umat muslim. Oleh karena itu, bagi Abdullah jihad merupakan fardlu’ain dan menjadikan ibadah ini
sebagai jihad alamy (jihad
internasional) dan perang total.
Pada 1986 sukarelawan jihad yang berdatangan dari luar
Afganistan mencapai 12 ribu orang dan ditambah relawan kemanusiaan menjadi 25
ribu orang. Jumlah ini terus bertambah hingga kemungkinan mencapai 40 ribu
orang. Dari sukarelawan tersebut diantaranya terdapat beberapa kader dari Darul
Islam Indonesia. Salah satu buku karya Abdullah Azzam yang berjudul Ayaturrahman fi Jihad Al Afgan
(ayat-ayat Ar Rahman dalam Jihad Afganistan) juga telah menginspirasi Abdul
Aziz alias Imam Samudra yang merupakan pelaku terorisme Bom Bali I di
Indonesia.
Dengan banyaknya sukarelawan jihad yang datang ke Afganistan
dari berbagai negara Islam, memberikan keuntungan bagi Arab Saudi dan Amerika.
Perang Afganistan dapat menyalurkan energi para kelompok militan jihad yang
selama ini anti Amerika dan Arab Saudi. Selain itu bagi Amerika kedatangan sukarelawan
ini juga dapat digunakan untuk memperluas koalisi negara-negara Islam untuk melawan
Uni Soviet.
Perlawanan sukarelawan dan kelompok mujahidin ini
akhirnya meraih kemenangan dengan ditariknya pasukan Uni Soviet dari Afganistan
pada Februari 1989 dan menyerahkan pemerintahan kepada Muhammad Najibullah
sebagai tokoh partai komunis Afganistan.
e. Perang Irak
Pada tanggal 2 Agustus
1990, Irak melakukan invasi ke Kuwait. Serangan Ini mengakibatkan kekhawatiran
bagi Arab Saudi, bahwa nantinya Saddam Hussein juga akan berlanjut menyerang
Arab Saudi. Oleh karena itu tawaran bantuan pasukan milititer Amerika untuk
menjaga Arab Saudi disambut baik pemerintah. Kemudian kebijakan mendatangkan
pasukan militer Amerika ini didukung oleh Haiah
Kibarul Ulama (Majelis Ulama Saudi) yang dipimpin oleh Abdullah bin Baz.
Majelis Ulama Saudi kemudian mengeluarkan fatwa bahwa bahwa wajib bagi
pemerintah Saudi melindungi keselamatan warganya, dan untuk itu dibenarkan
meminta bantuan kepada Amerika.
Usamah bin Laden yang
pulang ke Arab Saudi setelah perang Afganistan, merupakan sosok yang cukup
disegani di negaranya, karena merupakan salah satu pemuda yang kaya raya, dekat
dengan pejabat dan ulama Saudi. Usamah mencoba memberikan solusi dan proposal
kepada pemerintah. Untuk mengusir Irak dari Kuwait dapat dengan menggunakan mujahidin veteran perang
Afganistan yang sudah teruji kemampuannya dengan mengalahkan Uni Soviet. Usamah akan dapat memobilisasi dan
memimpin sekitar 60.000 mujahidin dari luar Saudi dalam waktu singkat. Ia menentang
kebijakan pemerintah untuk mendatangkan pasukan militer Amerika, karena
menurutnya kedatangan pasukan Amerika memiliki maksud terselubung untuk
menguasai kekayaan minyak di wilayah Jazira Arab. Pandangan Usamah ini didukung
oleh seorang dosen Universitas Ummul Qura Mekkah, Syaikh Safar Hawali. Ia
berpendapat bahwa invasi Irak ke Kuwait adalah sekenario politik Amerika untuk
menguasai Jazirah Arab. Dengan adanya perang ini maka ada alasan bagi Amerika
untuk dapat mendatangkan pasukan militernya di Arab Saudi.
Tetapi kenyataannya usulan
Usamah bin Laden ini tidak ditanggapi oleh pemerintah Arab Saudi, sehingga ia
merasa kecewa. Bahkan aksi protes Usamah dan Hawali dianggap sebagai oposisi
dan ditindak secara represif dengan ditangkap
dan dipenjarakannya Hawali. Sedangkan Usamah berhasil melarikan diri ke
Sudan pada tahun 1991. Kemudian pada tahun 1996 pindah ke Afganistan dengan
membawa kebencian yang mendalam terhadap Amerika dan pemerintahan Arab Saudi.
Pada
kasus Usamah bin Laden, rasa kekecewaan, dan aspirasi yang tidak tersalurkan
dan direspon dengan baik oleh pemerintah pada akhirnya dapat menjadikan rasa
anti dan kebencian yang berujung pada tindakan perlawanan dalam bentuk
kekerasan. Tindakan represif pemerintah justru dapat menambah kerasnya
perlawanan dan kebencian terhadap pemerintah dan Amerika. Untuk mengobarkan
perlawanannya dapat dengan menggunakan kembali fatwa-fatwa ulama terdahulu
sebagai referensi yang telah terbukti berhasil dalam mengatasi situasi yang
hampir sama pada zamannya. Tetapi apabila diperlukan fatwa-fatwa tersebut dapat
dirubah, dikurangi atau ditambah disesuaikan kebutuhannya dalam mengatasi
masalah. Fatwa adalah lahir dari hak prerogatif seorang ulama berdasarkan
keyakinan penafsiran terhadap nash-nash Al Quran dan hadis yang dianggap tidak
menyimpang. Atau paling tidak penafsiran sesui pembenaran yang dihadapkan pada kebutuhannya.
f. Konflik
Palestina
Palestina
mulai direbut oleh Israel mulai tahun 1948. Kemudian wilayah dudukannya semakin
meluas melalui pengembangan wilayah dan pemukiman hingga sekarang. Perebutan
wilayah ini mengakibatkan penderitaan yang luar biasa bagi penduduk asli Palestina yang telah kehilangan dan terusir
dari tanah airnya. Tentang konflik Palestina, Ahmad Syafi’i Maarif menyatakan
penegasan terhadap komitmen kemanusiaan dalam masalah Israel-Palestina. Masalah
penderitaan Palestina dan perjuangannya untuk menjadi negara yang merdeka dan
berdaulat bukanlah semata persoalan dua etnis atau bangsa yang berbeda, bukan
pula hanya persoalan bangsa-bangsa Arab atau umat Islam. Namun hal tersebut
merupakan persoalan kemanusiaan yang menuntut tanggung jawab semua orang.
Permasalahan
kemanusiaan inilah yang kemudian menjadi dorongan rasa impati para kaum
muslimin di seluruh dunia, khususnya negara-negara Islam di Timur Tengah. Sejak awal sudah banyak para
mujahidin negara Arab yang melakukan jihad di Palestina. Tetapi karena situasi
bahwa dianggap Afganistan lebih membutuhkan prioritas dan lebih mudah pencapaian
kemenangannya, maka Palestina dijadikan rencana jihad setelah Afganistan
selesai. Namun kenyataan berubah ketika setelah perang Afganistan selesai.
Dengan terbunuhnya Abdullah Azzam sebagai pengobar jihad di Palestina dalam
insiden ledakan bom pada 24 November 1989 dan pecahnya perang Irak
mengakibatkan konsentrasi jihad di Palestina terpecah dan tertunda.
Di
Afganistan Usamah bin Laden yang karena kebenciannya, menyerukan perang melawan
Amerika dan Pemerintah Arab Saudi yang dianggap mendukung Amerika (pemerintahan
kafir). Dalam propaganda perangnya salah satunya adalah mengangkat kembali
konflik Palestina. Memobilisasi jihad di Palestina untuk melepaskannya dari
cengkraman Israel yang merupakan sekutu Amerika. Selain itu Usama juga
memobilisasi perang terhadap pemerintahan negara-negara yang dianggap kafir
karena kebijakannya yang selalu mendukung Amerika.
”.....atas rahmat Allah, telah
tersedia sebuah basis aman di puncak Pegunungan Hindukush di Kurshan. Atas
rahmat Alloh pula kekuatan militer Kuffar terbesar di dunia (Uni Soviet) telah
berhasil dihancurkan. Mitos super power telah takluk di depan Mujahidin yang
meneriakkan kalimat ”Allahu Akbar” Sekarang kami bekerja dari pegunungan yang
sama untuk melenyapkan ketidakadilan yang telah dipaksakan pada umat oleh
sekutu pasukan penakluk Zionis, khususnya sesudah mereka menduduki tanah yang
diberkati seputar Yerusalem-rute perjalanan Rasulullah (Shala Allahu Alayhi wa
sallam) dan wilayah Haramain (Dua tanah suci”).
Pada tanggal 23 Februari
1998, Usamah mengeluarkan fatwa perang melawan Amerika yang ditandatangani oleh
anggota World Islamic Front
(organisasi yang dibentuknya) : Ayman AL Zawahiri (Jihad Al-Islami, Mesir),
Rifa’i Ahmad Taha (Jama’ah Islamiyah Mesir), Syaikh Mir Hamzah (sekretaris
Jamiatul Ulama, Pakistan) dan Fazlur Rahman (tokoh gerakan jihad di
bangladesh).
”To kill the American and their allies-civilians and military-is an
individual duty incombent upon every Muslim in all countries, in order to
liberate the Al Aqsa Mosque and the Holy Mosque from their grip, so that their
armies leave all the teritory of Islam, defeated, broken, and unable to
threaten any Muslim. This is accordance with the words of God Al Mighty :”Fight
the idolator at any time, if they first fight you.” ”Fight them until there is
no more persecution and until worship is devoted to God” Why sould you not
fight in God’s couse and for those oppressed men, women, and children who cry
out,” ”Lord, rescue us from this town whose people are oppressors! By Your
grace, give us a protector an a helper!” With God’s permission we call on
everone who believe in God and wants reward to comply with His will to kill the
Americans and seize their money wherever and whenever they find them. We also
call on the religious scholars, their leaders, their youth and their soldiers,
to launch the raid on the soldiers of Satan, the Americans, and whichever
devil’s supporters are allied with them, to rout those behind them so that they
will not forget it.”
Usamah dalam
fatwa-fatwanya melawan Amerika tetap menggunakan doktrin Salafy al Jihadi atau Salafyy Jihadisme dengan melalui irhabiyah (terorisme) seperti pada
zaman Ibn Taymiyyah dan fatwa Abdullah
Azzam. Dalam irhabiyah (terorisme)
diijinkan untuk membunuh orang-orang sipil, warga negara, kawan, negara-negara
sekutu yang membantu Amerika dimanapun berada karena dianggap sebagai al muqotilah atau orang yang ikut
berperang. Selain itu alasannya adalah sebagai qishas atau balas dendam yang setimpal. Karena menurut tokoh Al
Qaida di Arab Saudi, jumlah umat Islam tidak berdosa yang terbunuh oleh Amerika
mencapai empat juta jiwa dan sekitar 10 juta jiwa lainnya yang terusir dari
tanah airnya.
Akibat
dari fatwa tersebut maka terjadilah aksi-aksi irhabiyah (terorisme), sepert: pengeboman di Kedutaan Besar Amerika
di Kenya dan Tanzania yang menewaskan lebih dari 231 jiwa dan melukai lebih
dari 4000 jiwa tahun 1998. Usamah melakukan penyerangan terhadap kapal perang USS Cole di Aden, Yaman yang
menewaska 17 tentara Amerika dan mencederai puluhan lainnya. Selanjutnya
serangan pada 11 September 2001 terhadap WTC (world Trade Center) dan pentagon
menewaskan sekitar 3000 jiwa. Dan fatwa Usamah tersebut jugalah yang menjadi
inspirasi bagi Imam Samudra cs. untuk melakukan Bom Bali I pada tahun 2002 yang
menewaskan lebih dari 200 jiwa.
Terlihat dari urain di atas bahwa konflik dan perang
merupakan hasil dari konspirasi politik pemerintah atau penguasa. Dan nampak
bahwa kelompok-kelompok jihadisme (teroris) tersebut dapat juga diciptakan dan
disokong oleh penguasa akibat dari hasil konspirasi politik yang dilakukan.
Yang kemudian didukung oleh fatwa-fatwa para ulama untuk memperkuat alasan dan
pembenaran terhadap jihad (perang) yang dilakukannya. Ulama akan menggunakan rujukan pada nash-nash
Al-Quran dan hadis-hadis yang sahih serta fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang
dianggap sesuai dengan problematika yang dihadapinya. Kata-kata seperti jihad
dan kafir dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis menjadi kata kunci yang sangat
penting. Karena memang ulama yang menggunakan dalam fatwanya tersebut sangat
berkepentingan dengan kedua kata tersebut. Berbeda dengan orang yang tidak
memiliki tujuan dan kepentingan tidak akan interes. Sehingga penggunaan dan penafsiran
terhadap ayat yang mengandung kedua kata tersebut pasti akan menimbukan
perbedaan. Dan perdebatan akan saling bantahan akan penafsiran ayat-ayat
tersebut tidak akan menghasilkan pertemuan, karena memang penggunaan dan
kepentingan yang menafsirkan berbeda pula. Hal ini yang kemudian peneliti
simpulkan bahwa perdebatan atas dasar ayat-ayat yang digunakan para terorisme
untuk sebagai pembenaran dalam aksinya adalah sia-sia belaka.
Kemudian dari
fatwa-fatwa ulama tersebut akan diikuti dengan fanatik oleh para murid, jamaah
dan pengikutnya yang merasa memiliki ikatan secara emosional teologis. Sehingga
lahirlah gerakan jihad (perang). Dalam konsep perang, ada strategi perang
konvensional dan perang gerilya atau berlarut. Perang konvensional di lakukan apabila
kekuatan kedua belah pihak hampir seimbang dan yakin akan dapat memenangkan
perang tersebut secara terbuka. Tetapi manakala merasa bahwa kekuatannya tidak
kuat untuk menghadapi perang terbuka melawan kekuatan yang besar, maka strategi
yang dilakukan adalah perang gerilya atau perang berlarut.
Perang gerilya atau perang berlarut merupakan perang yang
tidak terbatas pada ruang dan waktu, tidak terbatasi oleh geografis dan aturan
perang yang berlaku. Sehingga menganggap dan menjadikan semua daerah adalah
medan perang. Sasaran serangan terhadap musuh menjadi tidak terbatas pada
kombatan saja, tetapi juga terhadap sasaran sekunder dan tersier yaitu
non-kombatan. Sasaran non-kombatan atau warga sipil dianggap syah selama hal
tersebut dapat merugikan, melemahkan dan memberikan gangguan psykologis dan
menebarkan rasa takut bagi pihak musuh. Salah satu taktik yang dapat digunakan
dalam perang gerilya tersebut adalah dengan melakukan teror.
Nampaknya strategi perang gerilya atau berlarut inilah
yang sebetulnya menjadi inspirasi bagi para mujahidin atau organisasi terorisme
untuk melakukan perlawanan terhadap negara-negara agresor Barat dan Amerika.
Karena untuk melawan secara frontal atau konvensional jelas tidak memiliki
kemampuan, maka cara gerilya atau perang berlarut ini yang dipilih. Dengan
melakukan aksi-aksi terorisme terhadap instalasi, instansi dan warga sipil
maupun militer negara Barat dan Amerika.
Seperti yang disebutkan oleh Abdullah Azzam bahwa perang
melawan otoritas Barat dan Amerika merupakan fardlu’ain dan menjadikan ibadah ini sebagai jihad alamy (jihad internasional) dan perang total. Berarti bahwa
perang ini tidak terbatas di daerah dan bagi orang Timur Tengah atau Afganistan
saja, tetapi juga berlaku bagi negara dan orang di belahan dunia lain yang
merasa memiliki misi kejuangan yang sama.
Oleh karena itu, dari melihat secara global maka akan
dapat ditemukan bahwa sebenarnya aksi terorisme hanyalah sebagian kecil dari
sebuah perang yang besar. Apabila diperumpamakan anggota tubuh manusia, bahwa
terorisme itu merupakan bagian jari-jari tangan saja, sedangkan jihad adalah
lengan, fatwa ulama adalah tubuh dan konflik politik adalah kepala.
(Fajar Purwawidada)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar