Pendahuluan.
1. Latar Belakang.
a. Berdasarkan
data dan pengamatan migrasi swakarsa orang Madura ke Kalbar telah berlangsung
lama, tepatnya sejak 1902. Kebanyakan mereka berasal dari dua kabupaten di
bagian barat Pulau Garam itu, yakni Bangkalan dan Sampang, karena dari dua
kabupaten inilah penduduknya paling banyak. Sejak 1815 sampai 1940 penduduk Madura malah lebih
padat dari pulau Jawa. Artinya sampai 1940 Madura adalah pulau terpadat di Indonesia.
Kepadatan penduduk yang tinggi ini berakibat pada sempitnya pemilikan tanah.
Faktor pendorong migrasi lainnya adalah tanah di Madura tergolong gersang.Kepadatan
penduduk, tanah gersang, keberanian, dan kebiasaan bermigrasi, ditambah satu pendukung
berlangsungnya migrasi yang juga penting, yakni tersedianya armada kapal layar
Madura yang mampu menjangkau wilayah jauh, sampai ke Semenanjung Malaya.Adapun
Kalbar menjadi daerah tujuan migrasi lantaran kepadatan penduduknya rendah. Mulai
periode 1950-1980 mereka hidup layak. Mereka memiliki rumah dan kebun, bahkan
menguasai sektor-sektor ekonomi informal tertentu, semisal penarik becak,
penambang sampan, dan pekerja jalan darat yang
membuat mereka berhasil? antara lain, pertama, mereka memiliki etos kerja dan
jiwa wirausaha yang kuat sehingga sanggup bekerja keras, menderita, dan hidup
hemat. Etos kerja ini didorong rasa malu ('todus') yang tecermin dalam pepatah
'ango'an potea tolang, e tebang pote mata'¨(lebih baik putih tulang, daripada
putih mata). Maknanya adalah lebih baik mati daripada gagal dalam kehidupan di
rantau . Kedua, solidaritas sosial mereka sangat tinggi. Banyak migran Madura
ke Kalbar tanpa membawa modal usaha sepeser pun. Mereka yakin, keluarga atau
teman-temannya di rantau akan membantu. Kombinasi solidaritas dan kerja keras
itu membuat mereka menguasai sektor-sektor perdagangan tertentu, sehingga
orang-orang non-Madura yang lebih dulu bergerak di bidang itu terdesak, bahkan
terlempar keluar.
Belakangan, soal ini
menjadi salah satu faktor penyebab meletusnya konflik etnis Madura melawan
Melayu di Sambas, Kalbar. Pasalnya,migran Madura acap merebut kesempatan kerja
dan pemilikan barang melalui kekerasan atau intimidasi tidak lagi melalui jalan
yang sah ( Prof. Dr Syarif Ibrahim Alqadrie,''Konflik Etnis di Ambon dan
Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis'', 'Antropologi Indonesia', Th XXIII, No. 58,
1999, hlm. 41). Lantas, factor apa saja yang menimbulkan konflik? pertama,
sifat dan kelakuan dari tanah air (rasa kesukuan atau 'ethnic urbanism ) di
Madura dibawa serta bermigrasi. Adat carok dan solidaritas kuat meski acap
membabi buta mereka bawa ke Kalbar. Akibatnya pertengkaran antarindividu segera
menjelma menjadi pertengkaran antarkelompok. Perkelahian antarkelompok kontan
berkobar menjadi perang suku. Kedua,
pola permukiman 'reng Madure'¨kebanyakan pola kelompok, bukan pola sisipan. Ini
membuat proses asimilasi dengan warga setempat terhalang. Ketiga, tingkat pendidikan para migran sangat rendah. Otomatis mereka
sulit mengunyah-nguyah informasi, beradaptasi, dan hanya mampu menguasai sector
formal. .Hubungan etnis Madura-Dayak
kurang harmonis antara lain karena faktor-faktor tersebut di atas. Sifat keras
orang Madura juga terdapat pada orang Dayak. Tingkat pendidikan dan posisi
ekonomi kedua suku ini hampir sejajar, Sama-sama rendah dan mengisi sektor
informal. Sementara agama dan adat mereka berbeda. Di sisi lain hubungan etnis
Madura-Bugis di Kalbar rukun lantaran faktor kesamaan agama. Rendahnya
kemampuan berbahasa Indonesia pada kedua suku itu menambah kekurang harmonisan.
Orang Madura menggunakan bahasa Indonesia dialek Madura yang kurang sempurna. Sedangkan
orang Dayak berbahasa Indonesia dengan aksen Dayak¨yang juga kurang sempurna.
Intonasi meledak-ledak sebagai pencerminan sifat etnis Madura yang keras, mudah
menimbulkan salah paham.Toh, tak berarti dengan kekurangharmonisan ini kedua
suku itu tidak bias melakukan kontak sosial. Hubungan sosial mereka diwarnai
sikap prasangka dan menjaga jarak. Yang¨menggembirakan bahwa di beberapa
kampung, seperti di Sungai Ambawang dan Marga Mulia.
b. Timbulnya Permasahan.
1) Sosial
Budaya. Sejak
migrasi orang Madura ke Kalimantan, dimana hubungan antar kedua etnis sudah
menunjukkan adanya ketidak harmonisan. Hubungan sosial keduanya diwarnai sikap
saling prasangka dan menjaga jarak. Terjadinya kerusuhan sampit disebabkan oleh
rentetan kasus pada tahun 1983, yaitu perseteruan antara seorang Dayak dengan
seorang Madura yang mengakibatkan tewasnya orang Dayak, peristiwa ini
menghasilkan kesepakatan jika orang Madura membuat kerusuhan lagi terhadap
orang Dayak maka orang Madura bersedia meninggalkan Kalimantan Tengah.
Kesepakatan yang telah dibuat ternyata gagal mencegah konflik. Pada Januari
1999 kembali terjadi pertikaian yang melibatkan pengemudi taksi dan berlanjut
pada tawuran antar golongan di Kumai, pada September 1999 seorang Dayak dan
istrinya ditikam orang Madura dari belakang. Rentetan-rentetan kejadian
tersebut kemudian meletus di kota Sampit Kalimantan Tengah pada pertengahan
Februari 2001 (pada pertengahan April 2001 tercatat sekitar 108.000 pengungsi).
Pembantaian di Sampit telah meninggalkan luka yang teramat dalam bagi orang
Madura sehingga muncul dendam terhadap Etnis Dayak yang dilampiaskan pada
orang-orang Dayak yang menikah dengan orang Madura dan ikut mengungsi ke
Madura.
2) Ekonomi.
Proyek-proyek HPH, kebun kelapa sawit dan sebagainya semakin menyingkirkan
orang Dayak. Hutan- hutan dibabat, mereka yang biasanya cari makan di hutan,
sekarang dilarang masuk hutan. Kebanyakan orang Dayak tidak siap memanfaatkan infrastruktur yang dibangun
pemerintah di wilayah mereka. Akibatnya orang lain yang mengambil keuntungan,
di antaranya Madura. Mereka, yang tinggal di pedalaman, pintar berdagang¨dan
berkebun. Orang Dayak entah kenapa lamban secara ekonomi. Pembangunan memang
hanya dilakukan disektor fisik, bukan budaya.
3) Lapangan Pekerjaan.
Peluang lapangan kerja untuk tingkat menengah ke atas pada perusahaan swasta nasional
sulit ditembus putra daerah. Sementara itu, peluang di tingkat menengah ke
bawah yakni sektor informal telah diisi perantau Madura, Bugis-Makassar, Batak,
Ambon, maupun keturunan Cina. Orang Dayak sendiri juga terasing dari struktur
pemerintah daerah. Dari tujuh daerah tingkat II di Kalbar pada 1997, hanya satu
kepala daerah dipercayakan kepada etnis Dayak. Di lembaga legislatif, baik di
tingkat I maupun di tingkat II, orang Dayak jumlahnya adalah hitungan jari
sebelah tangan. Di pemerintahan, hanya empat jabatan eselon dua dipercayakan
kepada etnis Dayak. Ada pula, para pejabat daerah etnis non-Dayak yang didrop oleh
pemerintah pusat.
2. Analisa masalah.
a. Beberapa faktor yang diduga sebagai
akselerator konflik Madura-Dayak, Pertama,
antara etnik Dayak dan Madura memiliki budaya yang sangat berbeda. Etnik Madura
selaku pendatang tetap berpegang pada budaya Madura walaupun mereka tinggal di
Kalimantan. Orang Madura menganggap Kalimantan adalah milik Tuhan sehingga
mereka bebas berperilaku apapun asalkan mencerminkan budaya mereka sendiri.
Lain dengan orang Madura, orang Dayak menganggap Kalimantan adalah warisan
leluhur yang harus dijaga dan tidak boleh dikuasai oleh etnis lain (perbedaan
pandangan inilah yang menyebabkan konflik). Kedua, gelombang migrasi mengakibatkan orang Dayak terpaksa
meninggalkan tanah yang sebelumnya mereka huni dan garap. Disisi lain etnis
Madura dilapangan ekonomi dikenal sebagai agresor yang pandai mencaplok hak-hak
ekonomi rakyat setempat. Ketiga,
Masyarakat Madura cenderung berkelompok sehingga tidak terjadi asimilasi dengan
etnis setempat. Keempat, lemahnya
sikap aparat keamanan.¨Rasa kesal etnis Madura terhadap pembantaian yang
dilakukan etnis Dayak selanjutnya memunculkan prasangka-prasangka negatif dan
berlanjut pada perilaku balas dendam yang ditujukan kepada orang-orang Dayak
yang menikah dengan orang Madura dan mengungsi ke Madura. Upaya mereduksi
prasangka etnik dapat dilakukan dengan asimilasi, keterbukaan aturan- aturan
pada tiap-tiap etnik, meningkatkan pendidikan, pemulihan konflik melaui
pembangunan jangka panjang, dan perlunya keseimbangan pemanfaatan sember daya
antara etnis pendatang dan etnis lokal.
b. Masalah ini belum ditangani serius oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan aparat keamanan. Pemerintah tidak mengunakan metode preventif
dengan memberdayakan adat istiadat warga setempat. Pemberdayaan
persekutuan adat merupakan garda masa depan rekonsiliasi warga
Kalimantan Karena tidak ada artinya
kalau selama acara adat ulu bakas
hanya dipergunakan sebagai hiburan tontonan pariwisata. Selama ini, pemerintah
kurang memperhatikan makna upacara adat.
Kini saatnya memberdayakan adat istiadat pada setiap program pembangunan
di Kalimantan.
3. Kesimpulan.
a.
Konflik laten antar etnis di Kalbar ini
nampaknya merupakan pendekatan pembangunan yang keliru dimana hak-hak ekonomi
penduduk asli yang direbut.
b.
Kekerasan merupakan bentuk konflik yang negative,
dengan munculnya kekerasan berarti konflik belum atau bahkan tidak bisa
dikelola dengan baik dan itu berarti mekanisme dan instrument, penyebab
terjadinya kekerasan atau konflik dapat dikelompokan sebagai berikut :
1)
Tindakan kekerasan merupakan reaksi emosional
terhadap gangguan dari luar.
2) Tindakan kekerasan merupakan hasil dari
perhitungan strategi atau keputusan taktis.
4. Penutup.
Dalam
kondisi pertikaian antar etnik, maka tidak mudah bagi siapapun dan dengan cara
apapun untuk menemukan solusi konflik sosial secara jitu dan manjur untuk semua
kasus. Oleh karena itu, penyelesaian konflik sepantasnyalah diletakkan kembali
dalam bingkai lokalitas dan didekati secara lokalitas pula. Pendekatan sepantasnya
dilakukan secara bertahap dan yang
terpenting adalah selalu melibatkan semua pihak terkait dalam konflik untuk
berpartisipasi aktif dalam mencari solusi konflik. Hanya dengan pendekatan ini,
maka pemahaman akan akar-konflik serta penyelesaian konflik menjadi lengkap dan
menyeluruh. Segala cara yang menafikan proses-proses partisipatif dan
bottom-up approach adalah upaya yang akan menghadapi kesia-siaan,
karena konflik sosial pada hakekatnya adalah wujud riil interaksi sosial dimana
para-pihaklah yang tahu mengapa mereka berinteraksi social dalam “jalur
konfliktual” dan bukan kerjasama yang sinergetik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar