Konflik
Ahmadiyah dan kerusuhan Temanggung yang diekspose media sungguh membuat saya cemas
dan resah. Resah bukan karena peristiwa itu, tetapi karena pendapat para ahli
yang dirilis pada media cetak maupun elektronik yang terkadang tidak jelas
bahkan justru menyesatkan. Dari sekian banyak ahli dalam membahas masalah itu
tidak ada satupun yang menunjuk landasan pemikiran dari konstitusi UUD 1945
pasal 29 ayat 2 yang menyebutkan ”Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Konsentrasi
analisa cenderung berdasarkan HAM dan Demokrasi yang diyakininya secara
universal. Seakan kita saat ini sudah benar-benar lupa dan menganggap bahwa
konstitusi UUD 1945 dengan Pancasila di dalamnya menjadi barang yang usang dan
tidak relevan maupun trend lagi menjadi sebuah referensi. Ini juga yang telah
terjadi dalam menentukan kebijakan dalam pemerintahan. Padahal UUD 1945 dibuat
oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa, yang melibatkan beberapa elemen bangsa yang
tahu persis karakter bangsa ini. Dan sesungguhnya justru pada UUD 1945 itulah
warga Negara dijamih HAM dan Demokrasinya, Tetapi kebebasan HAM dan Demokrasi
yang memang dibatasi, ada rambu-rambu yang tetap mengedepankan Kewajiban Azasi.
Dan dalam pelaksanaannya, Kewajiban Azasi haruslah didahulukan dari pada Hak Azasi.
Karena menuntut Hak Azasi secara berlebihan pasti akan melanggar Hak Azasi
orang lain. Itulah sesungguhnya jati
diri kita, bukan HAM dan Demokrasi yang liberal.
Pada
konflik Ahmadiyah atau penodaan agama lainnya, sesungguhnya pada amanat
konstitusi pasal 29 ayat 2 sudah diatur secara jelas. Dan ini menjadi dasar
ketentuan peraturan dibawahnya yaitu; KUHP pasal 156a, UU No 1/Pnps/1965 dan SKB 3 Menteri. Seringkali
para ahli mengutip pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dengan mengatakan ” jelas bahwa
negara menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya”,
tanpa mengutip lengkap dan memahami keseluruhan bunyi ayat itu. Hal itu justru
menyesatkan, karena di akhir naskah itu ada kalimat ”beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”, yang merupakan
pembatasan bahwa dalam beribadat haruslah menjalankannya sesuai dengan ajaran
agama yang dianut dan telah diyakininya itu. Kata ”menurut dan itu” menunjuk
pada suatu agama yang syah dan diakui negara. Jadi warga negara memang dijamin
kebebasan memeluk agama, tetapi dalam menjalankan ibadatnya haruslah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya itu. Bukan beribadat sesuai keyakinan,
kepercayaannya masing-masing. Sehingga sesungguhnya tokoh-tokoh pendiri bangsa
ini sudah memikirkan jangan sampai terjadi penyimpangan dan pemahaman
menjalankan ibadat yang seenaknya bahkan bertentangan dengan ajaran agama yang
sesungguhnya. Karena masalah keyakinan beragama sangatlah sensitif dan rawan
terhadap konflik horizontal yang bisa berdampak pada perpecahan bangsa. Oleh
dasar itu maka jelas aliran Ahmadiyah tidak sesuai dengan amanat konstitusi
bangsa ini. Ahmadiyah mengaku bagian agama Islam tetapi dalam ajarannya
mengingkari Kitap Suci AL Qur’an dan Nabi Muhammad, yang merupakan keyakinan
dan ajaran fundamental agama Islam. Hal ini sangat prinsip dan sudah tidak
dapat ditoleransi lagi sebagai bentuk penodaan terhadap agama Islam. Kalau penyimpangan
hanya sebatas tatacara beribadat mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi apabila
sudah menyangkut yang prinsip fundametal agama yaitu, kitab suci dan nabi,
siapapun yang merasa beragama pasti tidak akan memberikan toleransi dan bahkan
marah. Berbeda halnya jika Ahmadiyah bukan mengaku sebagai bagian agama Islam.
Sehingga menyikapi hal itu maka janganlah memberikan pendapat yang masih
memberikan peluang dan ruang bagi Ahmadiyah dengan berdalih landasan teori HAM
dan Demokrasi yang universal. Di negara Islam lainnyapun Ahmadiyah juga telah
dilarang dan dinyatakan sebagai aliran sesat; Arab Saudi, Pakistan, Brunai
Darusalam dan Malaysia. Jadi kesimpulan bukan pada permasalahan SKB 3 Menteri,
tetapi pada komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum dengan menindak pelaku
penyebaran aliran Ahmadiyah sebagai penodaan agama Islam sesuai KUHP pasal 156a
dengan ancaman lima tahun penjara. Aturan hukum apapun bunyinya tidak akan
berguna dan hanya sebagai slogan saja bila tidak ada alat pemaksaan dalam pelaksanaannya.
Tidak akan mungkin Ahmadiyah dengan ajarannya itu dipersatukan, dinegosiasikan
bahkan disejajarkan dengan umat Islam secara umum, karena menyangkut hal
fundamental agama. Justru tindakan yang ragu dan tidak tegas pemerintah untuk
membubarkan Ahmadiyah akan menimbulkan kemarahan dan kekerasan yang mengarah
pada konflik horizontal yang mengancam
Ketahanan Nasional. Karena perlu diingat bahwa strata masyarakat kita masih pada tataran Ontologis yang memandang ajaran agama
cenderung masih pada substansionalnya, belum pada fungsional operasionalisme yang dapat lebih bisa menerima
perbedaan-perbedaan. Dengan pembahasan ini diharapkan ahli, media dan
masyarakat dalam melihat konflik Ahmadiyah dan penodaan agama yang lain dari
sudut pandang sosiologis, historis dan culture bangsa indonesia sendiri, bukan
sudut pandang HAM dan Demokrasi universal
yang semu belaka.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar