A.
Pendahuluan
Kemajuan
teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang
revolusioner (digital revolution era)
karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan
memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi
menimbulkan pula sisi rawan dan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana
teknologi informasi “cybercrime” atau kejahatan telematika
yang dapat mengancam keamanan Nasional.
Masalah kejahatan telematika dewasa
ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan
teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar
biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious
crime (kejahatan serius) dan transnational
crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga
masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini
adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan modern dari masyarakat informasi
akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan
komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias
informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
B.
Perkembangan Kejahatan Telematika
Adanya
penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah
menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat modern sebagai dampak dari
pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang
telah mengenal budaya teknologi (the
culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini.
Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam
kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional
yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang
menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi,
politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer
untuk pertahanan dan keamanan negara bahkankebutuhan intelijen.
Penyalahgunaan
teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum
pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana
yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan telematika ini adalah seperangkat
komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi modern ini
dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau
sekelompok cracker dari rumah atau
tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban
dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting,
domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari
suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan telematika
atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang
jelas. Kejahatan teknologi informasi ini dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya,
kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari
rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan
jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan
saja mengingat akses teknologi telematika pada masa depan sulit untuk
menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.
Kejahatan telematika sudah jelas akan dapat
menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut
Romli Atmasasmita, karena adanya
standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat
tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak. Segala macam
penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal
berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk
kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk
kejahatan tersebut dapat berupa spionase
informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa
dan anak, penyebaran e-mail
bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA),
terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan telematika
tersebut amat merugikan bagi keamanan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan
negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian
abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
C.
Ancaman Terhadap Keamanan Nasional
Kejahatan
telematika dewasa ini mengalami perkembangan pesat tanpa mengenal batas wilayah
negara lagi (borderless state).
Sehingga dapat lebih mudah menembus sistem keamanan nasional, karena kemajuan
teknologi yang digunakan para pelaku cukup canggih dalam aksi kejahatannya.
Para hacker dan cracker bisa melakukannya lewat lintas negara (cross boundaries countries) bahkan di negara-negara berkembang (developing countries) aparat penegak
hukum, khususnya kepolisian tidak mampu untuk menangkal dan menanggulangi
disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana teknologi
yang dimiliki.
Berdasarkan
catatan dari National Criminal
Intellengence Services (NCIS) di Inggris terdapat 13 macam bentuk-bentuk cybercrime;
1. Recreational Hackers, kejahatan ini
dilakukan oleh netter tingkat pemula
untuk mencoba kekurangan dari sistem sekuritas atau keamanan data suatu
perusahaan. Tujuan pelaku dimaksudkan untuk sekedar hiburan akan tetapi
mempunyai dampak pada kejahatan telematika yang secara langsung maupun tidak
langsung merugikan pihak lain.
2. Crackers atau Criminal Minded Hackers, yaitu pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan finansial, sabotase, dan penghancuran data pihak korban.
2. Crackers atau Criminal Minded Hackers, yaitu pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan finansial, sabotase, dan penghancuran data pihak korban.
3. Political
Hackers, yakni aktivis politik atau hactivist melakukan perusakan terhadap ratusan situs web untuk mengkampanyekan
program-program tertentu bahkan tidak jarang digunakan untuk menempelkan pesan
untuk mendiskreditkan lawan politiknya. Usaha tersebut pernah dilakukan secara
aktif dalam usaha untuk kampanye anti Indonesia pada masalah Timor Timur yang
dipelopori oleh Ramos Horta dan
kawan-kawan sehingga situs Departemen Luar Negeri Republik Indonesia sempat
mendapat serangan yang diduga dari kelompok anti integrasi sebelum dan setelah
jajak pendapat tentang Referendum Timor Timur tahun 1999 lalu.
4. Denial
of Service Attack. Serangan tujuan ini adalah untuk
memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna jasa internet yang sah.
Taktik yang digunakan adalah dengan mengirim atau membanjiri situs web dengan data sampah yang tidak perlu
bagi orang yang dituju.
5. Insiders
(Internal) Hackers yang biasanya dilakukan oleh orang dalam perusahaan
sendiri. Modus operandinya adalah karyawan bermasalah merusak data atau akses
data dalam transaksi bisnis.
6. Viruses.
Program pengganggu (malicious)
perangkat lunak dengan melakukan penyebaran virus yang dapat menular melalui
aplikasi internet, ketika akan diakses oleh pemakai.
7. Piracy.
Pembajakan software atau perangkat
lunak komputer merupakan trend atau
kecenderungan yang terjadi dewasa ini, karena dianggap lebih mudah dan murah
untuk dilakukan para pembajak dengan meraup keuntungan berlipat ganda.
8. Fraud
adalah sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya.
9. Gambling.
Perjudian di dunia telematika semakin global sulit dijerat sebagai pelanggaran
hukum apabila hanya memakai hukum nasional suatu negara berdasarkan pada locus delicti atau tempat kejadian
perkara, karena para pelaku dengan mudah dapat memindahkan tempat permainan
judi dengan sarana komputer yang dimilikinya secara mobil.
10. Pornography and paeddophilia.
Perkembangan dunia telematika selain mendatangkan berbagai kemaslahatan bagi
umat manusia dengan mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah melahirkan
dampak negatif berupa “dunia pornografi” yang mengkhawatirkan berbagai kalangan
terhadap nilai-nilai etika, moral dan estetika.
11. Cyber
stalking adalah segala bentuk kiriman e-mail yang tidak dikehendaki oleh user atau junk e-mail yang sering memakai folder serta tidak jarang dengan
pemaksaan.
12. Hate
sites. Situs ini sering digunakan oleh hackers untuk saling menyerang dan
melontarkan komentar-komentar yang tidak sopan dan vulgar yang dikelola oleh
para “ekstrimis” untuk menyerang pihak-pihak yang tidak disenanginya. Penyerangan
terhadap lawan atau opponent ini
sering mengangkat pada isu-isu rasial, perang program dan promosi kebijakan
ataupun suatu pandangan yang dianut oleh seseorang, kelompok, bangsa dan negara
untuk bisa dibaca serta dipahami orang atau pihak lain sebagai “pesan” yang
disampaikan.
13. Criminal
communications. NCIS telah mendeteksi bahwa internet
dijadikan sebagai alat yang andal dan modern untuk melakukan kegiatan
komunikasi antar gangster, anggota
sindikat obat bius. Komunikasi lewat internet merupakan alat atau sarana yang
cukup ampuh untuk melakukan kejahatan terorganisir.
Bentuk-bentuk
dari kejahatan telematika lain bukan berarti tidak pernah terjadi di Indonesia,
akan tetapi karena tidak dilaporkan oleh para korban pada pihak kepolisian. Maka
masalah ini tidak menonjol dan menjadi prioritas penegakan hukum. Keadaan
demikian sebenarnya akan menjadi kejahatan tersembunyi (hidden crime of cyber) pada masa depan apabila tidak ditanggulangi
secara hukum.
D.
Upaya Penanggulangan Kejahatan Telematika
Harus diakui
bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di
bidang penegakan hukum (law enforcement)
dalam upaya mengantisipasi kejahatan telematika seperti dilakukan oleh
negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Pihak kepolisian Indonesia
telah membentuk suatu unit penanggulangan kejahatan telematika dengan nama Cybercrime Unit yang berada di bawah
kendali Direktrorat Reserse Kriminal Polri.
Selain melakukan
upaya dengan mengkriminalisasikan kegiatan di cyberspace dengan pendekatan global, Pemerintah Indonesia sedang
melakukan suatu pendekatan evolusioner untuk mengatur kegiatan-kegiatan santun
di cyberspace dengan memperluas
pengertian-pengertian (ekstensif
interpretasi) yang terdapat dalam Konsep KUHP Baru. Artinya, Konsep KUHP Baru
sebelumnya tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait dengan kegiatan
di cyberspace sebagai delik baru. Menurut
Barda Nawawi Arief, kebijakan yang
ditempuh dalam Konsep KUHP Baru yang berkaitan dengan kegiatan cyberspace antara lain (1) dalam Buku I
(ketentuan umum) dibuat ketentuan mengenai (a) pengertian “barang” (Pasal 174)
yang di dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program
komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atas jasa komputer. (b) pengertian
“anak kunci” (Pasal 178) yang di dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk
komputer, kartu magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu.
(c) pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam
disket, pita magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data
elektronik lainnya. (d) pengertian “ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau
terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu oleh pelaku. (e)
pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam
sistem komputer. (f) pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191) termasuk
jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. (2) dalam Buku II memuat
delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi dengan harapan dapat
menjaring kasus-kasus cybercrime
antara lain (a) menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat bantu
teknis (Pasal 263), (b) memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar atau
merekam pembicaraan (Pasal 264), (c) merekam (memiliki) atau menyiarkan gambar
dengan alat bantu teknis di ruangan tidak untuk umum (Pasal 266), (d) merusak
atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana atau prasarana pelayanan
umum, seperti bangunan telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau
komunikasi jarak jauh (Pasal 546), dan (e) pencucian uang (Pasal 641 – 642).
Usaha yang
dilakukan di atas adalah melalui regulasi undang-undang dengan menggunakan
sarana penal, yakni memperluas
pengaturan cyberspace dalam Konsep
KUHP Baru dan telah membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
berkaitan dengan kegiatan di cyberspace.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah pengkajian lebih intensif terhadap
masalah yang hendak dikriminalisasikan sebagai upaya penanggulangan kejahatan telematika.
Persyaratan pokok adalah kerugian korban yang signifikan dengan perbuatan
pelaku. Ketentuan pidana harus dapat dioperasionalkan dan keyakinan bahwa tidak
ada sarana lain yang betul-betul dapat mengatasinya.
Meskipun hukum
pidana merupakan sarana terakhir (ultimum
remedium), tetapi hukum pidana bukanlah alat yang cukup ampuh untuk
menanggulangi kejahatan telematika karena penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana hanya pengobatan simptomatik sehingga
dibutuhkan sarana lain yang bersifat non
penal. Sarana non penal ini dapat
dilakukan melalui saluran teknologi (techno-prevention)
pada pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan itu
sendiri yang dapat digunakan manusia, baik untuk tujuan baik maupun jahat.
Pendekatan budaya ini dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan
tinggi warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap setiap masalah cybercrime dan menyebarluaskan atau
mengajarkan etika penggunaan komputer yang baik melalui media pendidikan.
Pentingnya pendekatan ini adalah dalam upaya mengembangkan kode etik dan
perilaku (code of behaviour and ethics)
dalam pemakaian teknologi internet. Pendekatan non penal ini diharapkan dapat mengurangi pelanggaran hukum yang
menggunakan sarana teknologi sebagai bentuk pencegahan kejahatan.
E. Penutup
1.
Kesimpulan
Dampak buruk teknologi yang
disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab menjadi masalah hukum
pidana dan menjadi ancaman keamanan nasional. Oleh karena itu harus segera
ditanggulangi melalui sarana penal
yang dapat dilakukan oleh penegak hukum kepolisian. Namun perkembangan
teknologi digital tidak akan dapat dihentikan oleh siapapun, karena telah
menjadi “kebutuhan pokok” manusia modern yang cenderung pada kemajuan dengan
mempermudah kehidupan masyarakat melalui komunikasi dan memperoleh informasi
baru. Dampak buruk teknologi menjadi pekerjaan rumah bersama yang merupakan
sisi gelap dari perkembangan teknologi yang harus ditanggulangi. Mengingat
kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok dunia, termasuk kepedesaan di
Indonesia, maka dampak buruk teknologi yang menjadi kejahatan telematika pada
masa depan harus ditanggulangi dengan lebih hati-hati, baik melalui sarana penal maupun non penal agar tidak menjadi masalah kejahatan besar bagi bangsa.
2.
S a r a n
Untuk Menanggulangi kejahatan teknologi
telematika yang dapat mengancam keamanan nasional, maka diberikan saran sebagai
berikut;
a. Melaksanakan dengan tegas Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Meningkatkan
profesionalisme aparat hukum tentang penggunaan tehnologi tinggi.
c. Melakukan pengawasan
dan control ketat terhadap arus informasi di internet.
d. Meningkatkan budaya
dan etika menggunakan komputer dan teknologi telematika kepada masyarakat.
(Fajar Purwawidada, MH.,MS.c)
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Wisnubroto. Cybercrime
Permasalahan dan Penanggulangan dari Aspek Hukum Pidana. Diskusi Bagian Kepidanaan FH
UMY.Yogyakarta. 6 Juli 2000.
Magfirah,
Esther Dwi.
Kriminalitas di Intenernet. Dikutip
dari http://www. google.com. Diakses pada tangal 2 Oktober 2011.
Mulyanto, Edy dkk. Bedah Buku Tindak Pidana
Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime
di Indonesia, Karangan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief.S.H Guru Besar Fakultas Ilmu Hukum Undip Semarang pada tanggal 12 September 2006.
Mursito, Danan dkk. 2005. Pendekatan Hukum
untuk Keamanan Dunia Cyber serta Urgensi Cyber
Law bagi Indonesia. Makalah
Program
Studi Teknologi Informasi Program Magister Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dikutip dari http;//www.yahoo.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2011.
Nawawi Arief, Barda. Kriminalisasi Kebebasan Pribadi
dan Pornografi/Pornoaksi dalam Prespektif
kebijakan Hukum Pidana, Makalah.
Disajikan pada Seminar. Kriminalisasi Atas Kebebasan Pribadi Dan Pornografi /
Pornoaksi. Diselenggarakan atas kerja sama FH
UNDIP dengan KOMNAS HAM, di Hotel Graha Santika Semarang, 20 Desember 2005.
Ramli, Ahmad M. 2004. Prinsip-Prinsip Cyber Law Dan
Kendala Hukum Positif Dalam Menanggulangi
Cyber Crime.
Bandung: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar