Polemik kebohongan pemerintah yang dilontarkan tokoh lintas agama pada tanggal 10 Januari 2011, dengan menyebut pemerintah telah banyak melakukan kebohongan publik dengan melakukan sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Ini merupakan kritik pedas terhadap kinerja pemerintah yang dianggap telah gagal dan banyak tidak menepati janjinya. Sebenarnya ini merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Itulah arti demokrasi yang sesungguhnya.
Berbicara
masalah demokrasi jangan hanya berpandangan identik dengan Pemilu dan Pilkada
saja. Sesungguhnya bicara demokrasi tidak terlepas adanya popular control yaitu kontrol masyarakat terhadap setiap kebijakan
dan pekerjaan pemerintah. Karena relevansi dari demokrasi adalah terwujudnya welfare / kesejahteraan. Dalam negara
berdemokrasi rakyat harus memiliki akses untuk dapat mengontrol terhadap resource dan kesanggupan pemerintah negara
untuk dapat memenuhi public goods
yang merupakan nilai-nilai dasar kebutuhan citizenship
/ warga negara. Karena memang tujuan dibentuknya suatu negara adalah untuk
menjamin ketersediaan resource dan welfare bagi warga negaranya. Demokrasi
bukan merupakan goal, tetapi hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Pemilu dan Pilkada dengan sistem one man one vote tidaklah dapat
dijadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi di Indonesia. Apalagi dengan
pelaksanaannya yang penuh dengan kecurangan dan politik uang. Sistem one man one vote juga tidak dapat
dikatakan sebagai sikap yang demokrasi karena bagaimana mayoritarian dapat
menguasai minoritas, dan tidak adanya tempat dan terwakili bagi minoritas.
Sistem ini sungguh tidak sesuai dengan demokrasi ideologi Pancasila yang
bercirikan kolektif dalam musyawarah mufakat. Sehingga apabila selama ini
pemerintah telah berulang kali menyatakan keberhasilan pelaksanaan demokrasi
melalui Pemilu dan Pilkada sebenarnya merupakan pengerdilan terhadap demokrasi
itu sendiri.
Kata
demokrasi selama ini hanya dijadikan bahan komoditi politik saja. Hasilnya
dapat dilihat, Pemilihan langsung Presiden dengan kemenangan 60% satu kali
putaran yang harusnya memberikan legitimasi yang kuat sebagai representatif
rakyat untuk memimpin pemerintahan negara dengan sistem presidensil, ternyata
tidak mampu berbuat banyak. Karena memang demokrasi yang dilaksanakan masih
sebatas prosedural dan belum substantif. Demokrasi prosedural hanya
mementingkan prosesnya saja. Pemilu hanya sarat dengan permainan politik untuk
kekuasaan. Koalisi dan oposisi yang harusnya tidak dikenal dalam sistem presidensil
justru mendominasi kebijakan karena dalam pemenangannya sudah ada barter-barter
kepentingan dan kekuasaan. Presiden pemenang Pemilu seolah menjadi tidak
berdaya. Sedangkan demokrasi yang substantive yaitu adanya popular control justru terabaikan. Saluran-saluran formal yang
berupa lembaga negara yang harusnya dapat digunakan rakyat untuk mengontrol dan
menyalurkan aspirasinya ternyata tidak lancar. Oleh karena itu rakyat akan
menggunakan saluran lembaga non formal seperti; LSM, media, Ormas, demontrasi.
Maka tidak heran apabila tokoh lintas agama melontarkan kritiknya melalui media
sebagai bentuk kontrol dan protesnya terhadap kinerja pemerintah yg membuatnya
jengah. Pemerintah harusnya juga dapat memahaminya sebagai bentuk popular control dalam berdemokrasi,
sehingga tidak perlu tersinggung dan defensive.
Dan itu sekali lagi membuktikan bahwa saluran formal tidak berjalan lancar.
Semakin rakyat sering menggunakan lembaga non formal, maka menunjukkan
ketidakpercayaannya terhadap lembaga formal yang ada.
Kebohongan
pemerintah yang dilontarkan para tokoh lintas agama memang ada korelasinya, tetapi itu semua disebabkan oleh diawalinya pemerintah
melakukan formalisasi terhadap demokrasi melalui sistem one man one vote. Karena demokrasi merupakan sistem
kehidupan bernegara, maka apabila prosesnya sudah melalui input yang tidak tepat maka outputnya tentu akan menghasilkan banyak permasalahan yang lain di kehidupan bernegara.
Oleh
karena itu koreksi yang patut menjadi prioritas adalah bagaimana membangun
sistem demokrasi yang sesungguhnya. Sehingga dapat memberikan legitimasi yang
sesungguhnya terhadap Presiden yang akan menjamin rakyatnya dapat melakukan
kontrol terhadap resource untuk
mencapai tujuan welfare /
kesejahteraan bagi warga negaranya.
(Fajar Purwawidada, MH.,M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar