Kasus hukum di
Indonesia saat ini sungguh membuat jengah kita semua. Hampir semua penyelesaian
dan putusan kasus hukum selalu menimbulkan polemik di masyarakat. Misalnya yang menghebohkan
adalah putusan hakim terhadap mafia pajak Gayus Tambunan. Apa sebenarnya yang
terjadi dengan hukum di Indonesia?
Memang benar kitab
hukum di Indonesia masih peninggalan Belanda. Pembaharuan dengan mengajukan
rancangan KUHP sampai saat ini belum juga dibahas di DPR, padahal konsepnya
sudah lama dibuat dan akhirnya isi dari konsep tersebut sudah menjadi
terpisah-pisah dalam bentuk Undang-Undang yang baru seperti UU korupsi, UU
Pemilu, UU terorisme, UU pornografi dsb. Sehingga harus menyusun rancangan KUHP
dari awal lagi. Kenapa Rancangan pembaharuan KUHP begitu tidak mendapat
perhatian dari pemerintah atau DPR? padahal itu sangat urgent sebagai landasan penerapan hukum (Pidana) di negeri ini. Mudah
saja jawabannya karena pembahasan rancangan KUHP kering, tidak ada yang
berkepentingan atau dana segar untuk memuluskan dalam pembahasan di DPR.
Berbeda dengan pembahasan UU yang basah, seperti UU tentang pemerintahan daerah
misalnya yang begitu cepat direspon dan bahkan berkali-kali direvisi. Jadi
sesungguhnya hukum di Indonesia mulai dari proses pembuatan landasan hukumnya
sudah dilihat dari nilai materiilnya yaitu uang. Inilah yang disebut sebagai
kapitalisme hukum. Istilah kapitalisme muncul sebagai paham di Eropa Barat pada
abad ke-18. Yang intinya adalah segala sesuatu dipandang dari segi keuntungan
dan penguatan modal. Konsep diluar hukum untung rugi dianggap tidak berlaku. Di
era globalisasi ini kapitalisme telah berubah dalam wujud baru menjadi Neo Liberalisme dengan sarana demokrasi
dan pasar bebasnya. Kapitalisme baru ini telah menggilas Negara dunia ketiga,
termasuk Indonesia. Meskipun dominan pada sektor ekonomi, tetapi saat ini telah
merambah semua aspek kehidupan bangsa; ideologi, politik, sosial budaya
termasuk hukum di dalamnya. Jadi pengaruh-pengaruh kapitalisme inilah yang
membuat hukum kita menjadi hancur. Sesungguhnya bukan karena kitab hukumnya
yang masih peninggalan Belanda, tetapi letak permasalahannya lebih cenderung
pada orang pelaku hukumnya. Para penegak hukum sudah tercuci otaknya oleh paham
kapitalisme itu. Pandangannya selalu bertujuan materialistik. Sehingga setiap
kasus dipandang dari segi keuntungan dan pendapatan materiil uang. Mulai
tingkat Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lapas dan advocat selalu berfikir
uang dan uang dalam menagani kasus. Oleh karena itu suap menjadi sebuah budaya. Apabila kasus basah, kasus korupsi
misalnya penegak hukum berebut cepat merespon dengan penanganan sesuai order dan berdasarkan nominal uang yang
didapat, mulai ratusan juta hingga milyaran rupiah. Bisa dicontohkan bagaimana
penanganan kasus Century dan Gayus. Kasus menjadi tidak jelas arahnya karena
semua berebut menangani karena dianggap akan memberikan keuntungan uang. Tetapi
coba dilihat seperti kasus Tiga Kakao Minah dan kasus Semangka yang merupakan
orang tidak berdaya dan nilai materi kasusnya sangat kecil mendapat perlakuan
hukum yang semena-mena dan tidak ada yang mau peduli. Sungguh merupakan
ironisme penegakan hukum. Pikiran dan sifat kapitalisme pada aparat hukum kita
saat ini talah menghilangkan sifat sosiologis hukum dan filsafat hukum yang
ada. Hukum yang harusnya memenuhi tiga unsur yaitu hukum yang berkeadilan,
kepastian hukum dan hukum yang berketujuan, telah digantinya dengan hukum yang
berkeuangan. Berpegang prinsip berani membela yang bayar. Ini merupakan
kejahatan profesi yang nyata. Hakim sudah tidak menggunakan hati nurani lagi
dalam memutus suatu kasus dan hanya cenderung menerapkan pasal-pasal secara
dogmatis. Padahal sosiologis dan filsafat hukum haruslah menjadi pertimbangan
untuk mengantarkan pada putusan yang berkeadilan. Vonis hukum harusnya mempertimbangkan
dampak sosial bagi masyarakat akibat kasus tersebut dan nilai kemanusiannya
serta apa tujuan dari penjatuhan hukuman tersebut. Vonis hukum saat ini hanya
benar secara legal kepastian hukum, tetapi belum berkeadilan dan berketujuan.
Jadi sebenarnya bukan ilmu hukumnya yang membuat hukum kita menjadi hancur, tetapi
orang hukumnya sendiri yang tidak mau melakukannya dengan benar sesuai disiplin
ilmu yang didapatnya di bangku kuliah. Pengembangan yang dilakukan di lapangan
telah jauh menyimpang akibat terpengaruhnya desakan kapitalisme yang semakin
dominan di negeri ini. Apabila penegak hukum belum bisa melepaskan diri dari
kapitalisme hukum, maka kesejahteraan berupa kenaikan gaji atau remunerasi
setinggi apapun tidak akan merubah kinerja dan sistem penegakan hukum itu
sendiri.
Mari kita saling
mengingatkan tentang ancaman kapitalisme dalam hukum ini, dengan mengembalikan
pikiran dan sifat aparat penegak hukum kita pada garis profesi yang benar. Agar
citra hukum kita kembali baik yang dapat benar-benar memberikan kepastian,
keadilan dan berketujuan bagi masyarakat kita.
(Fajar Purwawidada, HM., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar