Desentralisasi merupakan salah satu
alternatif untuk mengakomodasi perbedaan pandangan dan kepentingan dalam
politik, sosial budaya maupun ekonomi, yang terjadi antara daerah dan pusat.
Perbedaan wewenang untuk daerah tertentu dibatasi secara legal dalam hal
keuangan dan pelayanan publik. Otonomi
daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas
kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah
termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian dalam praktik memang
tidak mudah. Kondisi geografis, tingkat kesuburan dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya tidak merata, berbeda antar satu daerah dengan daerah
lainnya. Demikian juga dengan jumlah penduduk, kualitas intelektual, termasuk
sebarannya juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi
geografis dan demografi tersebut dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah
dilaksanakan. Daerah mulai berbenah diri. Namun seperti diperkirakan
sebelumnya, membawa masalah tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh
ketidaklengkapan materi pengaturan sehingga membuat potential problem dalam pelaksanaannya. Meskipun UU tentang
pemerintahan daerah ini telah mengalami beberapa revisi tetapi sampai saat ini
masih dirasakan kurang lengkap dan kerancuan materi pengaturan tersebut jelas
merupakan sebuah kondisi kekosongan dan kekacauan hukum. Kekurangan mendasar
semacam ini dilihat dari perspektif keamanan
nasional sangat rentan mengingat kedudukan Gubernur mewakili pemerintah pusat
dan status propinsi sebagai wilayah administratif menjadi tidak jelas.
Analisis Pelaksanaan
Otonomi Daerah Terhadap Stabilitas
Dalam era transisi kebijakan
sentralistik ke desentralistik demokratis yang dituju dalam pemerintahan
nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, memang
masih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat
permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada
melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya
disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :
a. Masalah
hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah.
Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai
Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan
Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dan berkedudukan sejajar dengan
Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan
memposisikan diri lebih kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang
disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan
oleh legislatif dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola
pikir, pola sikap dan pola tindak. Pola pikir yang harus sama adalah sadar
terhadap apa yang harus pertahankan, upayakan, yaitu integritas dan identitas
bangsa serta berbagai upaya untuk memajukan dan mencapai tujuan bangsa. Pola
sikap yaitu, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai kemampuan dan kontribusi
seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang komprehensif, terkordinasi dan
terkomunikasikan.
b. Masalah
Perimbangan Keuangan.
Pada saat sekarang ini, banyak daerah yang
mengeluh tentang tidak proporsionalnya jumlah Dana Alokasi Umum (DAU)
yang diterima, baik oleh Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota.
Banyak daerah yang DAU-nya hanya cukup untuk membayar gaji pegawai
daerah dan pegawai eks kanwil, Kandep/Instansi vertikal di daerah. Disamping
itu, kriteria penentuan bobot setiap daerah dirasakan oleh banyak daerah
kurang transparan. Kriteria potensi daerah dan kebutuhan daerah tampaknya kurang
representatif secara langsung terhadap pembiayaan daerah. Kemudian, pembagian
bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan kurang mengikuti
prinsip-prinsip pembiayaan yang layak yang sejalan dengan pemberian kewenangan
Kepala Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti halnya dalam
paradigma lama, melalui paradigma baru pun bagian daerah selalu jauh
dari Sumber Daya Alam yang kurang potensial (seperti: perkebunan, kehutanan,
pertambangan umum dan sebagainya), sedangkan disektor minyak dan gas
alam, hanya mendapat porsi kecil. Bagian bagi hasil di bidang ini perlu
diperbesar, sehingga daerah penghasil mendapat bagian yang proporsional sebanding
dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi
SDA tersebut.
c. Perangkat
Daerah.
Dengan bergesernya paradigma sentralisasi menjadi
desentralisasi, dimana otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab difokuskan di
daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi terbatas difokuskan di daerah
Propinsi, kenyataan ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam tatanan
organisasi Pemerintah Daerah. Dengan luasnya otonomi daerah di daerah kabupaten
dan kota, mengharuskan daerah untuk melakukan restrukturisasi kelembagaan
Pemerintah Daerah sesuai dengan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yakni mulai perangkat desa yaitu unsur staf
di lingkungan Pemerintah Daerah yang membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan
tugasnya sehari-hari. Perangkat daerah terdiri dari sekretariat daerah, dinas
daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya seperti Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah, Lembaga Pengawasan Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan
Daerah dan lain-lain. Hingga saat ini semua daerah otonomi telah melakukan
langkah-langkah penyusunan dan perumusan kelembagaan dan organisasi perangkat
desa, namun disayangkan langkah yang dilakukan daerah itu masih belum mampu
sepenuhnya didasarkan pada bobot kewenangan yang akan dilaksanakan sesuai
dengan karakteristik kemampuan dan kebutuhan daerah. Isu yang berkembang dalam
rangka pengisian formasi perangkat daerah cenderung mengutamakan aspek
kedaerahan yang kurang memperhatikan aspek kualitas profesional. Padahal salah
satu syarat suksesnya penyelenggaraan otonomi daerah adalah dukungan sumber
daya aparatur yang cakap dan profesional. Ada kekhawatiran di daerah dengan
makin berkurangnya kewenangan Pusat dan Pemerintah Propinsi, berarti banyak Pegawai Negeri
Sipil yang dialihtugaskan ke daerah kabupaten dan kota, Padahal kebijakan ini
membuka kesempatan kepada daerah kabupaten dan kota untuk memilih dan/atau
menyeleksi tenaga yang dimanfaatkan guna memenuhi pengisian formasi perangkat
daerah yang sesuai kebutuhan daerah. Dengan demikian kekhawatiran itu tidak
perlu terjadi karena kebijaksanaan tersebut tidak bersifat intervensi atau
pemaksaan, tetapi didasari pada pertimbangan pada prinsip-prinsip keseimbangan,
keserasian dan harmonisasi dalam rangka pemberdayaan sumber daya aparatur
pemerintahan secara nasional.
d. Keterbatasan
Kemampuan Sumber Daya Manusia Aparatur Daerah.
Pada umumnya, Sumber Daya Manusia pada
pemerintah daerah memiliki sumber informasi dan pengetahuan yang lebih terbatas
dibandingkan dengan sumber daya pada Pemerintah Pusat. Hal ini mungkin
diakibatkan oleh sistem kepegawaian yang masih tersentralisasi sehingga
Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam mengelola Sumber Daya
Manusianya sesuai dengan kriteria dan karakteristik yang dibutuhkan oleh suatu
daerah.
e. Partisipasi
Masyarakat.
Sebagai dampak dari agenda reformasi
nasional dan pengaruh isu global terutama demokratisasi dan hak asasi manusia,
masyarakat semakin memahami akan haknya sebagai warga negara. Namun ada
kecenderungan mereka kurang memahami akan kewajibannya. Masyarakat makin
kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah, namun
kurang mau mengerti apa yang menjadi kesulitan dan/atau permasalahan yang
dihadapi pemerintah termasuk Pemerintah Daerah. Kondisi ini merupakan suatu
realita yang terjadi di seluruh pelosok tanah air dan realitas ini dapat
dipahami sebagai refleksi dinamika demokratisasi yang berorientasi pada
kebebasan tanpa didasari etika nilai budaya bangsa yang terakomodasi di dalam
Pancasila. Pada era Orde Baru, masyarakat lebih banyak dituntut untuk berperan
serta ketimbang untuk berperan aktif. Akibatnya masyarakat menjadi pasif karena
mereka berada di dalam suatu program yang diarahkan Pemerintah, namun tidak
dalam posisi untuk membangun suatu program.
f. Potensi
Disintegrasi.
Masalah lain yang dapat dipandang sebagai potensi
dalam pelaksanaan otoda antara lain:
1)
Arogansi sektoral.
Disintegrasi dapat juga terjadi karena beberapa
daerah cenderung eksklusif, mementingkan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan
kepentingan daerah lain, termasuk kepentingan pemerintah pusat. Penolakan terhadap calon kepala daerah dari luar (hanya mau putra
daerah), dan penolakan pengalihan pegawai pusat ke daerah merupakan beberapa
contoh yang bila tidak diatasi dapat mengancam integrasi bangsa.
2) Perbedaan
Sumber Daya.
Sebagian daerah punya potensi sumber
daya/kekayaan alamnya yang berlimpah/berlebih, sehingga daerah-daerah tersebut
mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya
yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena hasil sumber daya alam dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) nya melebihi kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintah.
Kondisi seperti ini akan memunculkan konflik horizontal dengan daerah tetangga
yang tidak punya kemampuan.
Meluruskan,
Mengamankan dan Memberdayakan Otoda dalam Mencegah
Disintegrasi
Membangun dan mempertahankan integrasi
nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan
menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam
kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan
kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta
membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya
diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus
kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah)
ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang
tepat. Kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh
integrasinasional dapat dituangkan dalam langkah sebagai
berikut :
a. Membangun dan menghidupkan terus
komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang masa Indonesia
untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah
Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan rangkaian upaya menumpas
pemberontakan dan harus terus dihadirkan dalam hati sanubari dan amal pikiran
bangsa Indonesia.
b. Menciptakan kondisi yang mendukung
komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk
selalu membangun. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan
sesungguhnya juga demokrasi. Bagi Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya
demikian amat diperlukan. Tentulah penghormatan dan pengakuan kepada mayoritas
diperlukan, sebaliknya perlindungan terhadap mitos-mitos tidak boleh pula
diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan
hegemoni. Oleh karena itu premis yang mengatakan “The minority has its say,
the majority has its way”, harus kita pahami secara arif dan
kontekstual. Jika
kita sepakat bahwa demi keadilan yang mayoritas perlu mendapatkan tempat dan
peran yang tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka
peran itu kiranya dapat diabadikan untuk memperkukuh persatuan, menaburkan
keadilan dan memajukan kehidupan seluruh masyarakat.
c. Membangun
kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan
dan kesatuan bangsa. Membangun integrasi nasional tidak hanya dilakukan
secarastruktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun
mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah
kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik
dan represif approach digunakan jika persuasive approach dinyatakan
gagal.
d. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang
arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun non formal,
harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh
untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional kita. Kesalahan yang
lazim terjadi adalah, kita sering berbicara tentang kondisi obiektif dari kurang
kukuhnya integrasi nasional di negeri ini serta setelah itu “bermimpi” tentang
kondisi yang kita tuju (end states), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan
proses dan kerja keras yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif disemua
lini, akhirnya merupakan penentu yang bisa menciptakan iklim dan langkah
bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional ini. Frame work kelima langkah tersebut harus diikuti dengan strategi yang berdimensi
ruang masalah dan waktu, sehingga perlu langkah-langkah jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang dalam menyikapi permasalahan mencegah keinginan beberapa daerah untuk memisahkan
diri dalam bingkai NKRI. Menyikapi permasalahan daerah tentunya dalam jangka
pendek kita harus mampu meredam, menetralisasi dan mengikis ide tersebut oleh
pemerintah pusat, karena pemerintah daerah di wilayah separatisme cenderung ambivalent
dan lumpuh, sedangkan Untuk jangka sedang perlu langkah rehabilitasi dan
sosialisasi wawasan kebangsaan dalam daerah, sedangkan untuk jangka panjang
secara simultan penyelesaian konflik dalam wilayah perlu didekati secara
komprehensif dan terkoordinasikan. Strategi penyelesaian konflik akibat
pertikaian elite seharusnya akar masalahnya yaitu para elite dan jaringannya
untuk dapat dinetralisasi dengan lebih transparan dengan waktu yang singkat.
Demikian pula konflik yang diakibatkan oleh masalah otonomi daerah. Jalan menuju
terbangunnya integrasi nasional agaknya cukup panjang, dengan segala tantangan
dan permasalahannya. Tantangan itu juga bukan hanya berasal dari dalam negeri
karena masih banyaknya benih-benih konflik dilingkungan masyarakat, tetapi juga
dari luar negeri yang karena dampak globalisasi dapat memunculkan konflik nilai
dan konflik kepentingan, sehingga keinginan beberapa daerah untuk memisahkan
diri dari pangkuan Ibu Pertiwi merupakan refleksi kewajaran seiring dengan
perubahan zaman dengan akumulasi permasalahannya. Kiranya apapun yang terjadi
maka NKRI harus dipertahankan.
KESIMPULAN
Dari uraian makalah diatas
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Beberapa
milik bangsa yang hilang akibat hoforia reformasi (rasa kebanggaan, kepercayaan,
rasa aman, rasa hormat) harus dibangun kembali dengan upaya yang keras dari
seluruh bangsa
b. Disintegrasi
bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks akibat akumulasi
permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih. Dengan
demikian diperlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas
walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh
dan perlu pemikiran tersendiri.
c. Pemberlakuan
UU No. 32 tentang pemerintahan daerah merupakan implikasi positif bagi masa
depan pemerintahan Daerah di Indonesia. Ada potensi untuk menciptakan
pengentalan heterogenitas dibidang SARA dan dapat berdampak pada suatu konflik
yang pada akhirnya berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
d. Berbagai masalah yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, berpeluang untuk
direkayasa menjadi permasalahan dan dipermasalahkan oleh pihak
tertentu dengan sasaran tejadinya instabilitas yang mengarah pada disintegrasi
bangsa. Dengan otonomi daerah, jalur lebih pendek, aparat terkait diharapkan
akan lebih
peka dan cepat mengatasinya.
e. Kepemimpinan
(leadership) dari tingkat elite politik nasional sampai kepemimpinan
daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik pada stadium dini.
Peredaman konflik pada stadium lanjutan memerlukan tingkat profesionalisme
aparat keamanan secara terpadu dan tidak melakukan keberpihakan-keberpihakan.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar