Penanganan
masalah salah Keamanan Nasional dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak
melalui forum koordinasi lintas sektor. Sejalan dengan itu, dalam menangani
berbagai ancaman terhadap Keamanan Nasional yang terjadi selama ini, pemerintah
selalu mengedepankan aspek hukum sebagai koridor kegiatan aparat serta
pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, pemerintah secara terus menerus
mengupayakan sinkronisasi perangkat hukum yang jelas dan memadai untuk
menangani masalah Keamanan Nasional. Kejelasan dalam aturan hukum ini
diperlukan untuk menghindari mis interpretasi terhadap penjabaran peran, tugas
dan tanggung jawab aparat dan pihak-pihak yang terkait di lapangan. Berkaitan
dengan itu, pemisahan secara tegas peran TNI dan Kepolisian berdasarkan TAP MPR
No. VII tahun 2000, pada pelaksanaannya sering menimbulkan permasalahan di
lapangan, karena adanya multi interpretasi terhadap makna Keamanan Nasional
Indonesia. Untuk mengatasi multi interpretasi ini, selain disyaratkan kesamaan
pemahaman tentang makna Keamanan Nasional juga diperlukan kesadaran dan jiwa
besar semua pihak untuk tidak mempertentangkan peran TNI, Polri dan pihak-pihak
terkait secara berlebihan. Dalam hal ini, yang perlu lebih dikedepankan adalah
bagaimana suatu tujuan bersama (common goals) dapat tercapai yakni terciptanya
kondisi Keamanan Nasional yang didambakan semua pihak.
PERMASALAHAN
POKOK
Berdasarkan
latar belakang di atas maka permasalahan pokok yang dihadapi adalah bagaimana
mengupayakan sinkronisasi perangkat hukum tentang Keamanan Nasional?
ANALISIS
PEMBAHASAN
Pengertian
umum Keamanan Nasional (national security) Fungsi Keamanan Nasional (national
security) pada hakekatnya adalah himpunan berbagai kegiatan untuk menjamin dan
meningkatkan kondisi kualitas kehidupan social kemasyarakatan sebuah negara
bangsa (nation state). Fungsi ini dijabarkan ke dalam fungsi yang lebih
spesifik yaitu:
- Fungsi keselamatan masyarakat
(public safety),
- Fungsi perlindungan masyarakat
(community protection),
- Fungsi ketertiban umum, penegakan
hukum dan ketertiban masyarakat (law enforcement and good order).
- Fungsi pertahanan nasional
(national defence).
Dengan demikian maka fungsi Keamanan
Nasional cakupannya amat luas dan beragam. Pengertian Keamanan Nasional yang
sangat luas ini kadang sering diartikan sempit dan menjadi rancu ketika
keamanan dan ketertiban masyarakat diberi label keamanan saja. Pengertian
keamanan seharusnya tidak berdiri sendiri, karena mempunyai pengertian yang
berbeda dan spesifik bila mempunyai atribut tertentu. Atribut itulah yang
membedakan konteks dan bobot dari makna keamanan itu sendiri. Beberapa contoh
konkrit misalnya keamanan global (global security), keamanan regional (regional
security), keamanan manusia (human security), keamanan dalam negeri (internal
security), keamanan dan ketertiban masyarakat (public security and good order).
Mengalir dari logika ini maka penggunaan kata keamanan tanpa atribut, menjadi
netral, artinya ia tidak menjadi bagian apapun dan siapapun, ia hanya
menunjukkan tentang kondisi yang tidak jelas tentang/perihal apa. Oleh sebab
itu penggunaan kata keamanan sebaiknya lengkap dengan atributnya sehingga ia
menjadi jelas menerangkan tentang apa dan atau siapa. Mengalir dari pengertian
di atas Keamanan Nasional adalah sebuah spektrum keadaan yang menggambarkan
kondisi keamanan sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Kondisi ini berubah
dinamik bergantung kepada keberhasilan para penyelenggara pemerintahan negara
dalam mengendalikan berbagai ancaman yang mempengaruhi kondisi Keamanan
Nasional itu yaitu ancaman. Ancaman itu sendiri mempunyai hakekat majemuk (the
nature of threat). Ancaman dapat berbentuk fisik atau non fisik, konvensional
atau non konvensional, global atau lokal, segera (immediate) atau mendatang
(future), potensial atau aktual, militer atau non militer, langsung atau tak
langsung, dengan kekerasan bersenjata atau tanpa kekerasan bersenjata, ancaman
perang tak terbatas atau perang terbatas, datang dari luar negeri atau dari
dalam negeri. Atas dasar pertimbangan ini banyak negara yang melengkapi
instrument pengaturnya dengan Undang-undang tentang Keamanan Dalam Negeri
(Internal Security Act/ISA) seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan
Amerika Serikat baru saja menerbitkan ISA. ISA adalah instrumen pengatur untuk
mendukung tindakan cepat otoritas Keamanan Nasional dalam menanggulangi gangguan
keamanan dalam negeri yang disebabkan oleh ancaman non tradisional.
Sebenarnya
baik Singapura, Malaysia maupun Thailand "meniru" Indonesia yang telah
sejak lama mempunyai Undang-undang tentang Anti Subversi guna menanggulangi ancaman
non tradisional, namun seiring dengan gencarnya reformasi nasional UU ini
dianggap sangat represif dan melanggar HAM sehingga UU ini kemudian dicabut.
Mengalir dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara universal banyak
negara melengkapi manajemen Keamanan Nasionalnya dengan beberapa instrumen
pegatur seperti UU tentang Keamanan Nasional (NSA), UU tentang Keamanan Dalam
Negeri (ISA), UU tentang Intelijen Negara, UU tentang Keadaan Darurat/Emergency
Act, UU tentang Kepolisian, sebaliknya
belum ada negara mempunyai UU tentang Pertahanan Negara kecuali Indonesia paska
reformasi. Pada masa lalu, UU tentang Pertahanan Keamanan Negara RI dapat
disetarakan dengan NSA.
Perubahan
produk peraturan perundang-undangan tentang Pertahanan Keamanan Negara
Pengertian
awal tentang Hankamneg RI adalah satu nafas, holistik dan integral dalam
penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara RI yang merupakan satu kesatuan
yang utuh dalam arti bahwa penyelenggaraan Hankamneg diarahkan pada satu tujuan
yang integral. Salah satu permasalahan di masa lalu adalah mengintegrasikan
Polri ke dalam tubuh ABRI dalam satu komando dan satu doktrin. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan bias bahwa Polri adalah kombatan, mengikuti budaya
militer, mempunyai tatalaku militer yang berarti menyimpang dari hakekat
keberadaannya sebagai non kombatan, atau civilian police. Secara universal
Polisi tak dapat di identikan dengan tentara karena keberadaannya sangat
berbeda. Konvensi Hukum Internasional tentang konflik bersenjata yang telah diratifikasi
RI membedakan Tentara dan Polisi ke dalam kombatan dan non kombatan. Tentara
tunduk pada hukum militer dan dalam keadaan tertentu tunduk pada hukum sipil,
sedangkan Polisi hanya tunduk pada hukum sipil saja. Habitat Tentara dan Polisi
sama sekali berbeda, dimana Polisi adalah penegak hukum dan pembasmi
kejahatan/kriminalitas, subyek dan obyek hukumnya adalah individu, instrumen
utamanya adalah hukum. Tentara berkaitan dengan kekerasan bersenjata, penegak
kedaulatan negara, subyek dan obyek hukumnya adalah negara bangsa (nation
state), instrument utamanya adalah sistem senjata untuk menjamin kedaulatan dan
kewibawaan bangsa dan negara. Perubahan internal yang dilakukan oleh TNI dan
Polri antara lain berupa revisi berbagai undang undang, doktrin, petunjuk
lapangan dan petunjuk teknis serta pemuliaan profesionalisme TNI dan Polri yang
pada kenyataannya memakan waktu cukup lama, sehingga hasilnya belum mampu mengimbangi
dinamika perubahan dan tuntutan masyarakat yang serba cepat. Akibat di
lapangan, pemulihan citra TNI dan Polri mengalami hambatan yang cukup serius. Apabila
hal ini tidak diimbangi dengan tekad yang sungguh-sungguh dari Lembaga
Legislatif dan Eksekutif untuk segera melakukan penataan produk peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan Keamanan Nasional dan menuangkannya ke dalam undang-undang
yang lebih rinci, bukan hal yang luar biasa apabila TNI dan Polri pasif dalam
menanggapi berbagai situasi konflik yang berkembang di masyarakat. UU No.
20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI semula
merupakan induk dari UU No. 28/1997 tentang Polri. Dengan terbitnya Ketetapan
MPR No. VI dan VII/MPR/2000 muncul image seolah-olah UU No. 20/1982 direvisi
menjadi UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri dan UU No. 3 tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara RI dalam kedudukan yang setara. Hal ini lebih diperkuat oleh
adanya kenyataan bahwa Kapolri dan Menhan berada langsung di bawah Presiden.
Pada konteks ini maka permasalahan berawal dari pemisahan TNI dan Polri yang
diterjemahkan secara pragmatis dengan memisahkan istilah Pertahanan Keamanan
Negara sebagai satu kesatuan yang utuh menjadi Pertahanan dan Keamanan sebagai
dua idiom yang sama sekali terpisah. Lebih tragis lagi ketika pertahanan adalah
identik tugas dan fungsi TNI, sedangkan keamanan adalah tugas dan fungsi Polri.
Gambaran
kronologisnya dapat ditelusuri dari rumusan yang terkandung dalam instrumen
pengatur yang tidak konsisten untuk materi yang sama yang dituangkan dalam beberapa
pasal berbeda di dalam satu produk hukum yang sama dan atau antar produk hukum
yang berbeda. Pada awalnya terbit terlebih dahulu TAP MPR yang mengatur TNI dan
Polri yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No.
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Inkonsistensi materi yang terkandung
dalam kedua TAP tersebut dan UUD 1945 sampai perubahan keempat antara lain:
1. TAP MPR No. VI/MPR/2000 antara
lain dimuat pada pasal 2 yaitu pada ayat,
- TNI adalah alat negara yang
berperan dalam pertahanan negara.
- Polri adalah alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan.
- Dalam hal keterkaitan kegiatan
pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.
Penggunaan istilah keamanan disini
berbeda dengan istilah yang selama ini digunakan untuk dan oleh Polri yaitu
berperan dalam keamanan dan ketertiban masyarakat. Penggunaan istilah ini dapat
dilihat pada KUHP, KUHAP, UU tentang Polri sebelumnya. Pada UUD 1945 pada pasal
30 ayat (4) dinyatakan bahwa Polri
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.....
dst. Secara umum selama ini di Indonesia telah lazim dikenal beberapa istilah
baku yaitu pertahanan keamanan negara, keamanan dalam negeri, keamanan dan
ketertiban masyarakat. Dari sinilah awal kerancuan penggunaan istillah
pertahanan dan keamanan sebagai dua istilah berbeda yang terkandung dalam TAP
MPR ini.
2. TAP MPR No. VII/MPR /2000 antara
lain menyatakan:
- Pada pasal 1 ayat (2), TNI
berperan sebagai komponen utama sistem pertahanan negara. Istilah ini sama
sekali baru sehingga dapat mengaburkan istilah sebelumnya dan masih tercantum
dalam pasal 30 yaitu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
- Pada pasal 6 ayat (1) menyata-kan
bahwa Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Kembali di sini digunakan istilah baku yaitu kamtibmas.
3. UUD 1945 amandemen/perubahan
keempat antara pada Bab XII pasal 30 pada ayat (2), dan (4) masing-masing
menyatakan bahwa:
- Usaha pertahanan dan keamanan
negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
- Polri sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Dapat memberi kesan bahwa
sishankamrata terdiri dari sishan (rata) dengan TNI sebagai komponen utama dan
siskam (rata) dengan Polri sebagai komponen utama.
4. UU No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI mengandung beberapa
substansi yang inkonsisten antara
lain dapat dibaca pada:
-Konsideran menimbang butir b yaitu
bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri
melalui upaya pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum,........... dan
seterusnya ......... dilakukan oleh Polri. Diktum ini dapat mengubah operasi keamanan dalam negeri yang selama ini
dilaksanakan melalui operasi
intelijen, operasi tempur, operasi teritorial dan operasi kamtibmas.
- Pasal 1 butir 5 yaitu keamanan dan ketertiban masyarakat adalah
suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai ........... dst. Kembali disini
digunakan istilah baku kamtibmas.
- Pasal 2 menyatakan bahwa fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat. Kembali disini menggunakan istilah baku
yaitu Kamtibmas. Instrumen pengatur idealnya adalah seperangkat patokan-patokan
baku yang konsisten agar dapat menjamin kepastian penerapannya di lapangan.
Penggunaan istilah, pengertian,
redaksi, substansi yang tidak konsisten dapat menimbulkan keraguan para
pelaksana tugas di lapangan.
SOLUSI
PERMASALAHAN
Konsep
Dasar Pemecahan masalah sinkronisasi perangkat hukum Keamanan Nasional
dilakukan secara konseptual, dengan memperhatikan :
- Tetap berpedoman pada :
Kaidah filosofi hukum (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945).
Pengalaman sejarah.
Norma dan nilai yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
- Perubahan lingkungan strategis.
-.Itikad sungguh-sungguh untuk
melakukan perubahan sesuai yang dicita-citakan.
-.Sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundang-undangan sebagai-mana diatur dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000.
- Azas tujuan, cita-cita masa depan
untuk mewujudkan Civil Society.
-. Konsisten dengan istilah/definisi
dan lingkup bahasa mengenai Keamanan Nasional.
Alternatif Pemecahan. Alternatif pemecahan permasalahan dapat
dilakukan sebagai berikut:
Alternatif pertama,
- Membangun sistem Keamanan Nasional
dengan sub sistemnya adalah keselamatan masyarakat, perlindungan masyarakat,
penegakan hukum, ketertiban umum dan ketertiban masyarakat serta pertahanan.
- Membudayakan istilah Keamanan
Nasional (kamnas) sebagai pengganti istilah hankamnas, unsurnya adalah semua
fungsi pemerintahan negara kecuali kesejahteraan nasional.
- Mengkaji ulang perangkat hukum
tentang Keamanan Nasional, menyusun pokok pokok pikirannya, naskah akademiknya
untuk kemudian disiapkan draft amandemen pasal 30 UUD 1945, perubahan TAP MPR
No. VI dan VII/2000 serta UU baru tentang Keamanan Nasional sebagai pengganti
UU No. 2 dan 3 tahun 2002.
- Merumuskan perangkat hukum tentang
fungsi Intelijen Negara, Keadaan Darurat (pengganti UU No. 23/Perpu tahun
1959), serta Keamanan Dalam Negeri (setara ISA).
Alternatif kedua,
- Mempertahankan istilah pertahanan
negara serta keamanan dan ketertiban masyarakat, menghindari sejauh mungkin
penggunaan istilah keamanan secara tunggal/tanpa atribut untuk menunjuk-kan
kontekstualitasnya.
- Mengkaji ulang perangkat hukum
tentang pertahanan dan keamanan serta ketertiban masyarakat. Menyusun pokok
pokok pikirannya, naskah akademiknya untuk kemudian disiapkan draft penggantinya
mulai dari pasal 30 UUD 1945, TAP MPR No. VI dan VII/2000 serta UU No. 2 dan tahun
2002.
Langkah
yang Ditempuh
Guna menunjang hal di atas diperlukan
langkah pemecahan sebagai berikut :
- Menghimpun semua pengalaman para
aparat Keamanan Nasional selama implementasi di lapangan, menyusun bahan
evaluasi dan tindakan korektif yang diperlukan.
- Menyusun kelompok kerja khusus
untuk melakukan penelitian lapangan, menghimpun data dan fakta kemudian membuat
bahan masukan bagi proses evaluasi dan validasi akademik.
- Mengkaji kembali semua produk
pengatur yang berkait dengan Keamana Nasional. Kajian dilakukan dibawah koordinasi
Komisi Konstitusi, pelaksana langsung adalah Badan Pengembangan Hukum Nasional
bekerja sama dengan Departemen/LPND terkait, melibatkan jalur aspiratif
(Parpol, LSM, perorangan), jalur akademik (para pakar, akademisi, pengamat) dan
jalur empirik (birokrat dari Dephan, Mabes TNI, Mabes Angkatan, Mabes Polri,
BIN). Fokus utamanya adalah sinkronisasi substansi/materi hukum yang selama ini
dinilai tumpang tindih, inkonsisten dan menimbulkan multi interpretasi. Hasilnya
disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diproses lanjut pada tingkat
legislatif.
- Menyusun Pokok-Pokok Pikiran dan
Naskah Akademik tentang sinkronisasi berbagai instrumen pengatur berkait dengan
Keamanan Nasional.
- Menyusun Draft berbagai
materi/substansi penting secara paradigmatic sebagai bahan masukan bagi
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan berkait dengan Keamanan
Nasional mulai dari Pasal 30 UUD 1945, TAP MPR, UU tentang Keamanan Nasional,
UU tentang TNI, UU tentang Polri, UU tentang Intelijen Negara, UU tentang
Keadaan Darurat, UU tentang Keamanan Dalam Negeri (setara ISA).
KESIMPULAN
Dari
uraian tulisan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, kelemahan penanganan
masalah keamanan nasional selama ini lebih dikarenakan kesalahan pemahaman
antara keamanan nasional dengan keamanan
dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), dalam merumuskannya pada pasal-pasal
perundang-undangan. Selain itu juga terjadinya ketidak kesesuaian dan tumpang
tindih pasal-pasal pada perundang-undangan,
baik antar pasal maupun dengan undang-undang yang lain yang berkaitan diatasnya.
Hal ini sangat fatal sehingga menyebabkan kerancuan, ketidakharmonisan dan
daerah abu-abu pada pelaksanaan tugas di lapangan khususnya bagi institusi TNI
dan Polri. Oleh karena itu sebelum merumuskan sistem keamanan Negara dalam
bentuk undang-undang Keamanan Nasional ataupun membentuk Dewan Keamanan
Nasional, yang lebih fital adalah melakukan sinkronisasi perundang-undangan
yang ada, baik mulai dari UUD1945 sampai dengan undang-undang dibawahnya
sehingga terjadi kejelasan dalam tugas dan tanggung jawab masing-masing
instansi (TNI-Polri). Suatu Institusi dapat bertindak apabila ada landasan
hukumnya. Kelemahan dan kecacatan landasan hukum maka akan menyebabkan
melemahkan dan ketidakberdayaan Institusi. Apabila pemahaman tentang keamanan
nasional dengan keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas) sudah benar serta sinkronisasi pasal dan
perundang-undangan sudah dilakukan dengan baik, maka dengan tidak dibentuk
Dewan Keamanan Nasional pun institusi terkait sudah dapat melaksanakan tugasnya
dengan lebih sigab karena ada kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing
dan tidak adanya daerah abu-abu.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar