BAB I
PENDAHULUAN
1 Latar
Belakang
Selama
ini pengelolaan kawasan Melanesia dianggap tidak optimal, bahkan lebih terlihat
diabaikan. Sebuah wilayah yang memanjang dari Pasifik Barat sampai ke Laut Arafura, Utara dan Timur Laut Australia apa bila dimanfaatkan dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan di sisi Timur
Indonesia. Perbatasan Indonesia yang terletak di wilayah Papua yang berbatasan
langsung dengan wilayah negara Papua New Guinea jarang sekali atau hampir sama
sekali tidak pernah dibahas. Diskusi lebih banyak dilakukan selama ini mengenai
perkembangan terakhir kawasan Timika, yang terkenal dengan pertambangan emas
dan biji besi, serta bahan mineral lainnya di Freeport. Selain karena wilayah
tersebut lebih jauh letaknya dan lebih sulit dan terbatas fasilitas
transportasinya, perkembangannya pun tidak sedinamis wilayah lainnya di Papua. Di
luar isu Freeport, pengamat, peneliti, dan publik pada umumnya lebih banyak
membicarakan gerakan separatis atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang
dikenal dengan Bintang Kejora mereka. Aktifitas GPK yang marak dalam periode
reformasi pasca jatuhnya Soeharto dengan kepemimpinan tokoh yang terus berganti
seiring dengan perkembangan dinamika politik internal dan nasional, membuat
penelitian lebih banyak dilakukan di kota-kota besar yang dekat dengan
keberadaan industri-industri dan proyek-proyek investasi asing berskala besar
dan pusat pemerintahan daerah, mengingat di sana GPK sering melakukan berbagai
aksinya. Sejalan dengan perkembangan di atas, orang lebih banyak menyoroti aksi-aksi
GPK dengan tokoh-tokohnya, misalnya Kelly Kwalik dan Theys Eluay, demikian juga
dengan aktifitas aparat keamanan Indonesia di Papua dalam menangani masalah
separatisme yang dinilai banyak mengganggu dan mengancam kegiatan investasi
asing di Freeport. Sementara, mengenai aktifitas GPK, jika ada, dan ancaman
keamanan yang diakibatkannya, yang berasal dari wilayah perbatasan, belum
banyak diperhatikan. Bukan hal yang berlebihan, jika yang disorot selama ini
adalah respons represif aparat keamanan Indonesia terhadap aktifitas GPK yang
mengancam kelangsungan Freeport. Padahal, belum tentu yang menjadi ancaman
keamanan di wilayah yang paling belakangan diserahkan oleh penjajah Belanda itu
hanyalah GPK, dan yang patut diperhatikan adalah perilaku represif aparat
keamanan Indonesia, khususnya yang berasal dari kalangan militer, dan
kemungkinan pula aktor negara lainnya, serta tidak mustahil dewasa ini dalam
perkembangan internasional yang kompleks dan cepat, juga aktor non-negara. Dengan
demikian, seharusnya, wilayah sepanjang perbatasan Papua di luar Jayapura
diberikan perhatian yang sama besarnya karena semua wilayah tersebut memiliki
potensi sumber daya alam yang kaya dan letaknya penting dari perspektif
geopolitik dan geostrategis. Begitu pula, negara tetangga Papua New Guinea
adalah negara yang menjadi perhatian internasional, karena selain merupakan
tetangga terdekat Australia, ia juga merupakan salah satu bagian dari komunitas
Pasifik Selatan.
Di masa
lalu, dalam periode Perang Dunia II atau Perang Pasifik, yang dilanjutkan dalam
periode berikutnya, Perang Dingin, wilayah Papua dan Papua New Guinea menjadi
salah satu hot spot perebutan wilayah di Asia Pasifik, sebagai batu
pijakan (stepping stone) untuk dapat menguasai pusat kekuasaan di Jepang
dan negara Asia Tenggara dan Pasifik, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,dan
Filpina. Sementara, dewasa ini, setelah berakhirnya periode Perang Dingin,
wilayah Papua yang terletak di persimpangan kawasan Pasifik, tetap menjadi
signifikan kehadirannya bagi banyak negara, terutama adidaya seperti AS. Tidak
heran, pernah ada rencana AS untuk membangun pangkalan angkatan laut di Papua
dan seringnya pelanggaran wilayah kedaulatan udara Indonesia dilakukan oleh
pesawat-pesawat asing, seperti yang dilaporkan pernah dilakukan AS dan Australia.
Belum terbangunnya kesejahteraan dan perekonomian wilayah di sepanjang
perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea membuat kawasan itu patut mendapat
perhatian yang besar dewasa ini dan di masa depan. Sebab, mudah diasumsikan,
dengan kondisi demikian, dapat muncul lebih banyak lagi ancaman keamanan yang
akan lebih memotivasi munculnya gerakan pemisahan diri (seccesionist)
yang sangat berimplikasi terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang belum kokoh dan tuntas nation building-nya. Dengan minimnya
kemampuan aparat pemda dan aparat keamanan di perbatasan dalam mengelola dan
mengawasi wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga di sana, dapat
diperkirakan ancaman keamanan akan menjadi lebih berbahaya dan berisiko
dihadapi pemerintah di masa depan.
2. Permasalahan
Beberapa
pertanyan yang disusun adalah: (1) seberapa jauh potensi ancaman keamanan yang
dihadapi Indonesia di sepanjang perbatasan Indonesia-Papua New Guinea?; (2)
Seberapa besar kekuatan pengamanan di sepanjang perbatasan Indonesia-Papua New
Guinea? (3) apakah pernah muncul infiltrasi pasukan pemberontak dan asing serta
ancaman dan gangguan keamanan yang berasal dari wilayah Papua New Guinea ke
Indonesia?; (4) kebijakan dan kegiatan apa saja yang dilakukan pemerintah
Indonesia selama ini dalam menangani masalah perbatasan Indonesia-Papua New
Guinea dan ancaman serta gangguan keamanan yang muncul?; dan (5) bagaimana
kordinasi antara aparat negara dilakukan dalam menangani masalah perbatasan
Indonesia-Papua New Guinea dan ancaman serta gangguan keamanan yang muncul selama
ini?
BAB II
LANDASAN TEORI
DAN KERANGKA PEMIKIRAN
3. Landasan
Teori
Para
analis hubungan internasional dan studi keamanan sering lebih memperhatikan
masalah migrasi penduduk internasional dan pergeseran (komposisi) demografis
yang diakibatkannya sebagai penyebab ancaman dan gangguan stabilitas dan
keamanan di sekitar wilayah perbatasan. Walaupun demikian, ini tidak berarti
masalah perbatasan bukan hal penting dan boleh diabaikan begitu saja dalam
studi kontemporer, mengingat persoalan migrasi internasional dan pergeseran
komposisi demografis juga dapat berdampak langsung terhadap situasi stabilitas
dan keamanan di perbatasan. Selanjutnya, karena kawasan perbatasan adalah pintu
masuk ke suatu negara, pada akhirnya ancaman dan gangguan keamanan terhadap
negara, pemerintah dan penduduknya secara nasional, yang bermula dari
kasus-kasus migrasi internasional dan perubahan struktur demografis, akan
terjadi juga. Sebagai konsekuensinya, masalah yang bermula di perbatasan, namun
tidak dapat terkendali atau direspons dengan baik, dapat menimbulkan ancaman
dan gangguan yang bersifat penting, signifikan, dan berskala nasional (state
leve threat), tidak hanya keamanan individual (individual security)
dan masyarakat (societal security).
Secara lebih jelas, walau tidak
menjadi faktor penyebab utama ancaman dan gangguan stabilitas dan keamanan,
kondisi perbatasan yang rawan oleh masalah kemiskinan, ledakan penduduk,
degradasi lingkungan hidup, dan kejahatan (kriminalitas) dapat menjadi pemicu
terjadinya disintegrasi negara bangsa. Integrasi negara bangsa yang semakin
mendalam dalam sistem internasional akibat globalisasi yang kian intensif
berlangsung, membuat kawasan perbatasan tidak steril dari ancaman dan gangguan
baik aktor negara maupun non-negara yang begitu kompleks, sebagaimana telah
diantisipasi oleh, antara lain, Robert Harvey dalam Global Disorder.
Sehingga, kawasan perbatasan yang tidak terkelola dengan baik dapat menciptakan
negara besar seperti Indonesia, apalagi negara kepulauan yang luas rentang
kontrolnya, tidak mustahil pula sebagai disintegrasionist state,
terutama jika telah kehilangan identitas nasional yang menjadi perekat
kemajemukan yang ada selama ini. Dalam studi klasik tentang perang dan
pertahanan nasional, David Rodin, dalam War and Self-Defense, misalnya,
melihat wilayah perbatasan merupakan bagian yang terpisahkan dari entitas
politik nasional yang terletak di garis depan yang harus dipertahankan. Karena
posisinya di garis depan, dan bukan belakang, ia tidak lagi merupakan halaman
belakang negara lain, namun pintu masuk ancaman dan gangguan bagi suatu negara
berdaulat. Sehingga, logis kawasan perbatasan menjadi fokus perhatian dan benchmark
integritas teritorial negara berdaulat tersebut, dan menjadi isu penting
dalam perang dan pertahanan negara.
4. Kerangka Pemikiran
Dengan pemikiran
semakin terbukanya kawasan perbatasan bagi pihak asing, ancaman dan gangguan
potensial terhadap stabilitas dan keamanan nasional turut meningkat, terlebih
dengan kehadiran para aktor non-negara yang kian beragam dan sulit dikontrol
pihak yang berwenang. Di luar para aktifis terorisme internasional, aktor
non-negara lainnya yang potensial mengancam adalah para pelaku gerakan
separatisme yang tidak puas atas respons pemerintah mereka. Sebagai
konsekuensinya, di luar klaim teritorial resmi yang muncul akibat kekeliruan
sejarah (politik kolonialisme), aksi-aksi gerakan separatisme menjadi persoalan
tersendiri yang harus dihadapi di wilayah perbatasan.³ Berdasarkan perspektif
dan terminologi Barry Buzan4 masalah
perbatasan turut menjadi fokus kajian dari masalah keamanan dan ketidakamanan
nasional yang dihadapi suatu negara.
Ia tidak
lagi secara kaku dilihat hanya sebagai sumber ancaman dan gangguan atas
stabilitas dan keamanan regional, dalam hubungannya dengan perkembangan
negara-negara lain (tetangga), tetapi dapat pula sesuatu yang bersifat ancaman
dan gangguan atas stabilitas dan keamanan masyarakat atau domestik. Sehingga,
selama konsepsi negara tetap merupakan basis fisik (physical base)
tidak lepas dari eksistensi teritorial atau wilayah serta penduduk di dalamnya,
itu artinya kawasan perbatasan memegang peran signifikan sebagai hal yang harus
diperhatikan dalam membicarakan keamanan negara. Adapun bersama-sama dengan
gagasan pembentukan negara (the idea of the state) dan ekspresi
kelembagaan dari negara (the institutional expression of the state), basis
fisik dari negara tersebut (the physical base of the state) merupakan komponen-komponen
yang telah membentuk negara, yang sama pentingnya dalam menentukan eksistensi
dan prospek negara dalam kaitannya dengan ancaman dan gangguan stabilitas dan
keamanan. Perbatasan memang tidak lagi merupakan isu kedaulatan, namun lebih luas
dari itu. Dalam studi
yang lebih maju, pengawasan dan pengelolaan wilayah perbatasan telah menjadi
unsur security sector governance, karenanya upaya reformasi sektor
keamanan yang komprehensif meliputi pula pengelolaan kawasan perbatasan secara
cermat.
Selain itu, ia turut menjadi
faktor penentu dan barometer kondisi keamanan, kawasan perbatasan harus pula
dikelola dengan mengandalkan prinsip-prinsip demokrasi liberal dengan
menjalankan transparansi, akuntabilitas, dan kontrol demokratis lebih luas. Kebijakan pengawasan perbatasan
sendiri dewasa ini telah menjadi bagian dari kebijakan sekuritisasi lebih luas.5 Sementara isu perbatasan internal mulai
diabaikan, perbatasan eksternal kian menjadi penting karena masuknya dengan
deras ancaman transnasional, seperti terorisme internasional, huma trafficking,
dan lain-lain akibat intensitas yang meningkat cepat dari hubungan internasional
antara bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, perbatasan negara bukan lagi
sekedar batas fisik atau garis demarkasi yang membatasi sebuah negara dari
negara lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
PERMASALAHAN
5. Kondisi
Umum
Masalah
keamanan diakui sebagai masalah utama yang dihadapi baik oleh pemerintah
Indonesia maupun PNG. Di wilayah PNG sendiri, kondisi keamanan domestik amat
rawan akibat friksi politik dan instabilitas yang dihasilkannya. Kondisi
keamanan di Vanimo, wilayah PNG yang dekat ke Indonesia, masih jauh lebih baik
daripada di Port Moresby, ibukota PNG. Banyak pagar tinggi dibangun di depan
rumah penduduk, toko, dan gedung, kantor untuk mencegah penjajah dan gangguan
keamanan. Penduduk amat kuatir mengendarai motor di malam hari
karena ancaman perampokan. Di luar Skouw, wilayah perbatasan sulit dijangkau dengan
kendaaraan, karena belum semua memiliki akses jalan beraspal. Begitu pula,
belum terdapat fasilitas PPLB, PLB, dan kantor pelengkap lainnya, seperti
imigrasi, bea-cukai, karantina, dan keamanan (kepolisian dan tentara/TNI). Sebagai
contoh di Sota, kota yang berbatasan langsung dengan PNG di Merauke Selatan,
belum terdapat kantor imigrasi. Sebagai konsekuensinya, wilayah ini juga rawan
dari aktifitas pelintas batas ilegal, termasuk yang berasal dari negara lain di
luar PNG. Selain itu, wilayah perbatasan ini rawan untuk dimanfaatkan gerakan
separatis dan pelaku kejahatan lintas negara. Kenyataan di lapangan, kinerja
petugas BPKD amat rendah dan buruk. Mereka jarang ditemui di kantor
mereka di kota Jayapura dan perbatasan Skouw, walaupun kantor mereka begitu
megah, jauh lebih baik daripada di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong
dan Tawau. Mereka sering datang terlambat, atau baru datang sesudah pintu
perbatasan dibuka, dan sudah pulang sebelum pintu perbatasan ditutup. Itupun
mereka pulang kembali ke kota Jayapura, dan tidak menetap di wilayah
perbatasan, walaupun di sana sudah dilengkapi dengan fasilitas perumahan dinas.
Kondisi yang memprihatinkan juga dijumpai di kantor Bea Cukai kota Jayapura. Kinerja
petugas mereka juga dapat dinilai buruk, karena tidak mempunyai catatan tentang
lalu-lintas barang yang keluar-masuk perbatasan darat Indonesia-PNG, antara
lain melalui Skouw dan Keerom. Bahkan dapat dikatakan seluruh barang dagangan
yang bernilai ekonomi yang keluar masuk Papua melalui perbatasan darat PNG,
tidak diperiksa sama sekali. Kantor petugas mereka tutup, walaupun pintu perbatasan
sudah dibuka dan orang sudah masuk dari PNG ke wilayah Indonesia, atau
sebaliknya keluar wilayah Indonesia menuju PNG. Ini artinya, negara memiliki potential
loss atau kehilangan pemasukan uang yang tinggi dari bea dan cukai yang
bisa seharusnya dipungut. Jika dikaitkan dengan realitas PNG sebagai penghasil
emas, vanilli, dan sumber alam lainnya, tentu potensial loss pemasukan
bagi negara itu semakin besar. Secara realistis juga, emas rawan untuk
diselundupkan atau dibawa secara ilegal, karena bisa dibawa melalui pintu
perbatasan Indonesia-PNG dengan penampilan yang tidak mencolok, namun nilainya
sangat besar dan berharga. Begitu pula benda-benda berharga lainnya, seperti
berlian, bisa diperjualbelikan di Indonesia atau Australia dengan dibawa atau
dimasukkan secara ilegal tanpa pemeriksaan. Ini belum termasuk benda-benda
berbahaya lainnya, seperti narkoba dan senjata api, yang bisa disembunyikan
secara rapi dan canggih. Sehingga, seharusnya tidak diperbolehkan berlakunya
kondisi tanpa hukum (lawless) di pintu perbatasan Indonesia-PNG,
mengingat itu bukan wilayah (zona) netral, namun menjadi kedaulatan Indonesia
secara penuh, sebagaimana halnya berlaku secara mutlak di wilayah hukum
nasional PNG, yang petugas bea cukai mereka melakukan pemeriksaan penuh dan
seksama di kantor pintu perbatasan mereka.
Begitu
pula, sama terjadi dengan kinerja petugas karantina, yang dalam temuan di
lapangan kantornya kosong, tidak ada petugas seorang pun di sana. Pintu
pemeriksaan karantina di bagian terdepan wilayah perbatasan Indonesia-PNG
didapatkan dalam kondisi terkunci, seperti tidak pernah digunakan sejauh ini
untuk memeriksa barang-barang yang dibawa para pelintas batas untuk dapat
memastikan apakah bebas dari penyakit yang mungkin dibawa dari PNG.
6. Keamanan
Bilateral
Kerja
sama keamanan bersama sudah dipikirkan oleh pemerintah kedua negara, tetapi
baru pada tingkat konseptual. Sayangnya, gagasan tersebut belum ditindaklanjuti
dan belum pernah diimplementasikan sampai sekarang ini, terutama oleh angkatan
bersenjata kedua negara. Di luar realitas ini, pemerintah kedua negara tetap
melihat pengaturan keamanan bersama (border security arrangement)
kedua negara tetap diperlukan.
Dari
perspektif Indonesia, keamanan domestik PNG amat rawan, selain karena situasi
dan perkembangan politik yang labil, juga akibat ketergantungan yang tinggi PNG
pada Australia. Kepolisian PNG dan penyelenggaraan aktifitas keamanan
domestiknya banyak dibiayai Australia. Di wilayah perbatasan dengan Indonesia,
PNG hanya menempatkan sekitar 15 polisi, yang perilaku mereka tergantung pada
pendidikan dan sosialisasi yang diberikan Australia, khususnya dalam soal
disiplin. Perspektif ancaman dan kepentingan keamanan yang berbeda antara
Indonesia dengan Australia, telah membuat hubungan keamanan Indonesia dengan
PNG terganggu. Hubungan keamanan yang buruk ini ditandai oleh sulitnya
melakukan hubungan komunikasi dengan menggunakan handphone (HP) dari
wilayah perbatasan Indonesia dengan pihak-pihak di PNG, yang ditengarai berlangsungnya
praktek penyadapan, dan bahkan pem-block-an oleh pihak berwenang,
terutama kalangan intelejen, Australia. Koran-koran
PNG, khususnya yang berbasis di Vanimo, juga sering menyampaikan
pendapat-pendapat miring tentang Indonesia, seperti halnya yang dilakukan
pemerintah Malaysia. Sikap ini tampaknya diciptakan agar selalu muncul sikap
anti Indonesia di PNG yang akan selalu menguntungkan Australia karena kian
meningkatkan ketergantungan PNG pada pemerintah Australia, terutama dalam soal
keamanan.
Pada tahun 2007,
ada kasus penembakan nelayan Indonesia asal Makassar oleh pihak keamanan PNG. Pihak
Indonesia menyampaikan compliance, namun, masalah tersebut dianggap
selesai, setelah pihak keamanan PNG melakukan pengusutan, walaupun tidak
diketahui apa bentuk pertanggungjawaban yang diberikan mereka. Itulah sebabnya
pemerintah PNG dengan berbagai kebijakannya selama ini selalu diplesetkan
sebagai “Promise Not Guarantee.” Institusi TNI tertinggi yang
mem-back-up aparat kepolisian dalam menjaga keamanan, yang sekaligus
juga merupakan garda terdepan pertahanan Indonesia di Propinsi Jayapura yang
berbatasan dengan PNG, adalah Kodam Cendrawasih. Di tingkat yang lebih rendah,
terdapat Korem 172/Praja Wirajakti dengan 3 Kodim, yang terdiri dari Kodim
1701/JPR, Kodim 1702/JWY, dan Kodim 1712/SRM. Adapun tugas utama prajurit TNI
yang berada di garis depan perbatasan ini adalah melakukan operasi pengamanan
perbatasan dan menjaga patok-patok perbatasan supaya tidak ada pergeseran. Terdapai
24 patok perbatasan yang menjadi tanggung jawab untuk dijaga dan diawasi prajurit
TNI. Dari hasil patroli di lapangan selama ini ada beberapa yang belum diketemukan.
Terdapat 2 Kompi Yonif dengan pos terdekat di perbatasan PNG di Wutung, Skopro,
Bewa dan Sendi. Masalah terbesar mereka selain hambatan alam, terbatasnya
akses, dan fasilitas adalah ancaman penyakit malaria. Diketahui, sekitar 60%
prajurit yang bertugas terkena malaria. Dalam tugas mereka, upaya negosiasi
hanya dilakukan dengan “Kelompok Putih”, yakni mereka yang koperatif, dari OPM.
Sebaliknya, terhadap “Kelompok Hitam” sulit dilakukan negosiasi.
Panjang
garis perbatasan yang harus diawasi, sekitar 770 km, merupakan problem besar
bagi TNI untuk mengawasinya setiap saat. Sebab, pasukan TNI sendiri selain
terbatas dalam fasilitas juga terbatas dalam jumlah mereka yang bertugas.
Menurut Pangdam, tidak cukup 4 batalyon yang dibantu satuan tugas lainnya, dan
beberapa Kodim. Untuk melakukan kegiatan pengawasan aktif dengan mobilitas
tinggi. Paling sedikit harus digelar di sana sekitar 2 divisi pasukan TNI agar
sepanjang garis perbatasan Indonesia-PNG dapat diawasi atau dikontrol dengan
baik. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan dukungan anggaran yang lebih besar dan
memadai. Padahal, sampai saat ini, hanya terdapat 40 pos TNI yang permanen,
sementara, 70 pos dibangun dalam kondisi seadanya, yang dapat dikatakan tidak
layak untuk ditinggali atau sebagai base camp, apalagi untuk selama 1 tahun
bertugas bagi prajurit. Kepolisian ingin memperbesar Pospol mereka di Skouw, namun
pemerintah PNG berkeberatan, sehingga mereka hanya bisa meningkatkan
kekuatannya dengan memperbanyak personil. Fasilitas hanya terdiri dari asrama,
hanya dilengkapi dengan 2 motor untuk kegiatan operasional, tanpa mobil
patroli. Sementara, terdapat sekitar 35 km panjang wilayah yang harus diawasi
dari Wutung ke Muaratami. Sebaliknya, TNI memiliki mobil patroli untuk bisa
digunakan dalam mendukung tugas operasional mereka. Sampai saat ini, tidak
pernah terjadi perseteruan dan konflik perbatasan (border disputes and
conflict) antara kedua negara, yang melibatkan kekuatan petinggi militer
kedua negara telah memberikan kontribusi yang berarti bagi pemeliharaan
stabilitas keamanan di perbatasan. Namun, upaya pembukaan pos lintas batas
secara resmi selalu gagal, karena sikap inkonsistensi pemerintah PNG. Padahal,
pemerintah Indonesia telah serius meresponnya, termasuk dengan kunjungan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal Januari 2007 ke Jayapura dan
sekitar wilayah perbatasan darat dengan PNG. Sehingga yang ada kini hanyalah
(pintu) pos untuk para pelintas batas tradisional yang boleh melintas dengan
menggunakan kartu pas tradisional. Pembukaan pos lintas batas secara resmi
dikuatirkan oleh pemerintah PNG akan merubah atau menjatuhkan harga komoditi
impor yang masuk dari Australia melalui PNG secara drastis. Dengan demikian,
pihak negara tetangga itu, baik PNG maupun Australia, akan kehilangan
keuntungan ekonomis dari tingginya harga komoditi yang mereka masukkan ke
wilayah Indonesia.
Kerja
sama bilateral dalam bentuk patroli perbatasan bersama, seperti yang dilakukan
antara Indonesia-Malaysia, di perbatasan Indonesia-PNG tidak ada, karena pihak
tentara PNG sendiri tidak melakukan patroli perbatasan. Sebagai konsekuensinya,
hanya pasukan Indonesia (TNI) yang giat melakukan patroli perbatasan. Logis
saja, jika kemudian masalah perbatasan seolah-olah merupakan persoalan sepihak
Indonesia, atau hanya Indonesia yang terobsesi terus untuk menyelesaikannya
secara tuntas.
Dalam
pertemuan Vanimo, pihak PNG telah menyampaikan beberapa pandangan, antara lain:
(1) Terhadap permasalahan Stenliss Tampra dan anaknya, Leo Stampra, yang
melakukan perusakan pagar perbatasan Indonesia terkait dengan penguasaan hak
tanah adat, pemerintah PNG mempersilahkan pihak Indonesia menangkapnya untuk
lalu menyerahkan ke otoritas PNG untuk diproses hukuman atas pelanggaran
tindakan yang bisa dikategorikan kriminal; (2) Kunjungan informal atau pribadi
anggota TNI telah dipertanyakan apakah bukan merupakan salah satu bentuk
penyusupan atau intervensi pasukan TNI di perbatasan ke atau di wilayah PNG;
(3) Pihak PNG mengajak pemerintah Indonesia untuk melakukan kerja sama dalam
mencegah dan menaggulangi illegal fishing yang terjadi di perairan kedua
negara. Terkait dengan penanganan pelanggar hukum, perlakuan Indonesia dan PNG terhadap
pelanggar hukum di masing-masing wilayah kedaulatan negaranya berbeda. Jika di
Indonesia pelaku tindak pelanggaran hukum, tidak dipukul aparat keamanan, jika
tidak melawan atau merespons dengan kekerasan, di PNG, warga negara Indonesia
yang tertangkap dipukuli, bahkan ada yang ditembak mati, dalam kasus illegal
fishing.
7. Kejahatan
Lintas Batas
Kejahatan
lintas batas (transnational crimes) yang banyak terjadi adalah penyelundupan
(smuggling) yang diinformasikan sangat sulit diatasi sejak dulu hingga
dewasa ini. Komoditas yang diselundupkan bersifat komersial, antara lain,
minyak tanah, bensin, kayu, dan kakao dari Papua Indonesia, dan vanilla asal
PNG, yang terutama dilakukan dengan memanfaatkan jalur (perbatasan) laut. Hal
ini amat rawan terjadi karena amat langkanya patroli perbatasan laut yang
dilakukan kedua belah pihak. Kasus-kasus penyelundupan banyak berlangsung pada
waktu malam hari, yang melibatkan banyak pihak yang berwenang di kedua negara,
seperti pihak imigrasi, pabean, kepolisian, dan bahkan militer. Pemicu
penyelundupan adalah perbedaan harga yang begitu tinggi di Indonesia dan PNG. Di
Indonesia harga beberapa komoditas, termasuk bahan dasar produk coklat, yaitu
kakao, dan kopra sangat murah harganya di Kabupaten Jayapura. Jenis kejahatan
lintas batas lainnya adalah penyelundupan senjata ringan dan amunisi, yang
menimbulkan keprihatinan pemerintah PNG, sehingga Committée on Gun Control telah
dibentuk di kantor PM. Senjata dan amunisi tersebut diperdagangkan di sepanjang
perbatasan Indonesia dan PNG. Keinginan yang besar dari penduduk PNG untuk
memiliki senjata telah menjadi pemicu mengapa tingkat penyelundupan begitu
tinggi belakangan ini. Hal ini ada hubungannya dengan meningkatnya rasa tidak
aman akibat sering terjadinya perang suku (tribal war) di PNG dan
kondisi keamanan domestik yang sering labil (terganggu) akibat ketidakpuasan
kelompok-kelompok politik di negeri itu. Situasi yang sering sulit
diprediksikan telah meningkatkan animo penduduk PNG atas kepemilikan senjata
api. Dengan kata lain, senjata api dibutuhkan untuk pegangan atau pengamanan
pribadi atau bela diri. Isu ini juga menjadi pembicaraan dalam forum pertemuan
reguler Joint Border Committeé. Aktifitas penyelundupan senjata banyak
pula menggunakan jalur laut di perbatasan kedua negara, baik melalui jalur laut
di bagian Utara maupun Selatan. Kegiatan penyelundupan di bagian Utara, jauh
lebih tinggi frekuensinya, terutama yang masuk ke wilayah perairan Indonesia.
Sementara, yang terjadi di bagian Selatan, penyelundupan senjata mengambil
jalur ke Daru di PNG menuju teritori Australia, yakni Darwin. Di sisi lain,
penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan besar-besaran sering
pula terjadi dan telah dianggap biasa, dan cenderung meningkat sekarang ini,
baik di perbatasan laut dengan Indonesia di bagian Utara maupun Selatan yang
berbatasan pula dengan negara Australia. Kesulitan kapal patroli telah
dimanfaatkan oleh para penyelundup untuk terus menjalankan aktifitas illegal
fishing di banyak jalur perbatasan laut kedua negara di sana. Banyak juga
kasus terjadi karena ketidakpahaman para nelayan tradisional (tradisional
fishermen) akan keberadaan jalar batas laut Indonesia dan PNG. Namun, ada pula
kasus yang terjadi akibat ‘undangan’ penduduk PNG sendiri yang mungkin masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk di sana. Kemiskinan merupakan
masalah utama penduduk di sekitar wilayah perbatasan yang melintasi Kabupaten
Keerom. Tanpa adanya PLB dan pemeriksaan imigrasi, tindak kriminal
penyelundupan ganja, yang ditanam di PNG dan sangat mahal harganya di Papua,
mencapai Rp. 100 ribu Rupiah untuk selinting kecil, dan emas yang baik
kualitasnya yang ditambang di PNG, serta BBM, dan lain-lain, rawan terjadi.
Terkait dengan jalur perbatasan laut, di masa lalu, telah terjadi kegiatan illegal
fishing yang dilakukan nelayan Indonesia asal Bugis. Potensi
terjadinya illegal trafficking in persons di Papua cukup tinggi. Terkait
hal ini, PBB telah mengundang Gubernur Papua, Barnabas Suebu,waktu itu, ke markas
PBB di Jenewa untuk membahas masalah perdagangan manusia bersama-sama dengan
Gubernur Kalimantan Barat, waktu itu, Cornelis.
Kasus-kasus
kejahatan lintas batas, terutama kejahatan ekonomi, tidak bisa dikatakan kecil,
mengingat petugas bea cukai dan karantina belum melakukan pemeriksaan secara
ketat dan reguler (rutin) selama jam kerja penuh mereka sebagaimana seharusnya
yang dilakukan di wilayah perbatasan Indonesia lainnya. Mesin-mesin pendeteksi
dan pemeriksa barang-barang bawaan para pelintas batas belum digunakan, atau masih
terbungkus rapi, begitu pula alat pemeriksa karantina. Sehingga, dapat diduga,
(potensi) kejahatan lintas-batas yang (telah) terjadi cukup besar, mengingat
wilayah (perbatasan) kedua negara memiliki SDA yang potensial, sementara
pemeriksaan atas barang bawaan para pelintas batas tidak dilakukan. Dalam kasus
penyelundupan ganja, proses hukum dilakukan di wilayah Indonesia dengan memakai
aturan hukum Indonesia, setelah memberitahukan atau meminta persetujuan pihak
PNG. Oleh aparat keamanan Indonesia di pintu perbatasan Skouw dilaporkan,
potensi penyelundupan BBM dari Indonesia melalui jalur laut cukup tinggi,
karena keterbatasan kemampuan patroli keamanan laut Indonesia. Begitu pula
minyak tanah, solar, bensin, minyak goreng, beras, makanan, serta obatan-obatan,
dengan menggunakan jalan-jalan tikus yang banyak terdapat di sana dan sulit
dikontrol terus-menerus oleh aparat TNI kita yang terbatas kemampuan dan
fasilitasnya. Sementara, dari wilayah PNG, seperti Wiwak, tempat tambang emas,
rawan penyelundupan emas ke wilayah Indonesia.
Kawasan
perbatasan laut atau wilayah perairan Indonesia Timur di sekitar Papua Selatan
merupakan kawasan yang rawan pencurian ikan oleh nelayan asal Cina, Taiwan, dan
Filipina. karena itu, diharapkan Operasi Gurita 4 yang dilakukan TNI-AL dengan
kapal patroli Hiu Macan 001 dan KRI Panana 817 dapat dilanjutkan, dan juga
harus ada kapal yang berpangkalan di Merauke. Kapal nelayan asal Cina paling
banyak beroperasi secara ilegal. Adapun saat Operasi Gurita 4 di Merauke dijalankan, telah
ditemukan 9 kapal, antara lain, dari Cina, yang mengeruk ikan di perairan
Arafuru. Operasi yang dilaksanakan Bakorkamla ini telah menyita 472 ton ikan
senilai Rp. 8,5 milyar, dan menangkap 24 kapal lain di Timika.
8. Aktifitas Separatis
Sikap pemerintah
PNG cukup jelas selama ini dan tidak berubah, yakni, tidak mendukung gerakan
separatis OPM. Bagi pemerintah PNG, Papua adalah bagian yang sah dan merupakan
urusan dalam negeri (domestik) negara Indonesia. Mereka menyadari, kegiatan
separatis yang dilakukan OPM yang sering menggunakan jalur-jalur perbatasan
darat untuk melarikan diri setelah melakukan aktifitas separatis, terutama
serangan bersenjata, mengganggu pula keamanan domestik PNG yang turut berdampak
pada hubungan kedua negara bertetangga tersebut. Sebagai konsekuensinya, jika
ada dari aktifis separatis dan simpatisan mereka yang dicurigai tertangkap di
wilayah perbatasan di PNG, pemerintah PNG mempunyai kebijakan untuk mengrim
mereka kembali ke pemerintah Indonesia untuk diselesaikan di sana. Pemerintah
PNG sendiri menyadari mungkin saja terdapat simpatisan OPM di PNG, namun,
mereka tidak ada hubungannya dengan kepentingan pemerintah PNG.7 Seperti dijelaskan pihak Deplu dari Kasubdit
Kewilayahan, Pegunungan Bintang sangat rawan dijadikan basis gerakan separatis
OPM. Letak wilayah-wilayah pedalaman di kabupaten ini yang sulit diawasi oleh
aparat keamanan Indonesia, telah menyebabkan sulitnya juga kawasan di sana
dikontrol keamanannya. Sehingga, logis, kawasan dimaksud menjadi ideal
dijadikan basis gerakan separatis OPM dan ideal bagi mobilitas gerakan mereka.
Para pengikut OPM di bawah pimpinan Herman Wanggai, dengan sekitar 42 orang
anggota rombongannya, pernah memanfaatkan
wilayah perbatasan laut dari
Merauke untuk memasuki wilayah Australia. Sisa-sisa anggota OPM diinformasikan tersebar
di sekitar Port Moresby dan Vanimo di wilayah PNG. Mereka sisa-sisa OPM yang
mau repatriasi berjumlah sekitar 708 orang dan akan diterima pemerintah
Indonesia dalam proses pemulangannya jika melakukan repatriasi secara sukarela.
Kebijakan Otonomi Khusus yang diantisipasi akan membawa banyak kemajuan bagi
masa depan mereka (Papua) di Indonesia telah memberi daya tarik bagi mereka
untuk kembali ke wilayah asalnya. Dengan pihak pemerintah PNG telah terbangun
kesepakatan tidak mengakui eksistensi dan aktifitas gerakan separatis OPM. Di
samping itu, pihak Deplu Indonesia juga aktif melakukan diplomasi publik untuk
mencegah pemahaman pihak luar yang keliru terhadap gerakan separatis OPM dan
posisi Indonesia. Sikap pemerintah PNG selama ini dinilai konsisten dalam
menghargai eksistensi NKRI. Mereka tidak pernah memberikan suaka politik kepada
para pelarian anggota gerakan separatis OPM, sekalipun di masa lalu wilayah perbatasannya
dengan Indonesia telah dipergunakan oleh para tokoh dan pengikut gerakan
separatis (OPM) untuk jalur pelarian, tempat persembunyian, ataupun jalur untuk
datangnya kembali mereka dari luar negeri ke Papua. Para pengikut OPM
diberitakan ditampung di Bewani, di wilayah PNG. Mereka pernah melakukan
aktifitas mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Pemerintah
PNG cenderung bersikap pasif, karena disibukkan dengan masalah dalam negerinya,
mengurus warganya yang kondisinya jauh lebih terbelakang secara ekonomis
dibandingkan dengan orang-orang Papua di wilayah Indonesia. Kepasifan ini rawan
terhadap tudingan negara tersebut memberi angin kepada para pengikut OPM di
wilayah perbatasan. Karena itu, pernah muncul usulan agar diberlakukan
ekstradisi, khususnya pemberlakuan kebijakan hot pursuit hingga masuk ke
wialyah PNG, atau sebaliknya ke wilayah Indonesia, termasuk untuk para pelaku
kejahatan kriminal pada umumnya. Dalam wawancara diinformasikan, senjata
gerakan separatis rawan dimasukkan ke Papua melalui jalur darat dan laut,
dengan melalui wilayah Bewani di PNG dan perairan Ambon di wilayah Indonesia.
Melalui darat terutama dengan menggunakan jalan-jalan yang sulit dikontrol
pasukan patroli perbatasan Indonesia karena keterbatasan akses, kapasitas atau
fasilitas.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
9. Kesimpulan
Papua sebagai kawasan perbatasan
paling timur dari wilayah kepulauan Indonesia, dan merupakan pintu gerbang
perbatasan terdepan Indonesia dengan negara-negara Asia Pasifik, memiliki letak
yang strategis dan sangat potensial, baik dari perspektif ekonomi, politik,
hubungan internasional, maupun keamanan. Sebagai konsekuensinya, tantangan, ancaman,
dan potensi gangguan yang diberikan terhadap stabilitas dan keamanan Indonesia
menjadi sangat besar pula, yang menonjol di antaranya yang datang dari kejahatan
transnasional dan kegiatan migrasi internasional dan bersumber dari aktor
non-negara, terutama kelompok separatis. Perubahan komposisi dan struktur
demografis secara luas sebagai akibat dari interaksi global yang semakin intens
itu semakin meningkatkan perbedaan dan kecemburuan sosial antara kelompok
penduduk pribumi dan pendatang, yang rawan menimbulkan konflik horizontal
(komunal) maupun vertikal. Walaupun penentuan nasib sendiri telah dilakukan
melalui Pepera di Papua sejak dasawarsa 1960, dalam kenyataannya ketidakpuasan penduduk
pribumi atau lokal terhadap pendekatan dan kebijakan pembangunan pemerintah
pusat tetap muncul dan tidak surut sampai saat ini. Sementara, permasalahan
garis demarkasi Indonesia dan PNG meskipun masih jauh dari yang diharapkan
tetapi perkembangan semakin dapat diatasi oleh pemerintah kedua negara.
10. S a r a n
Ancaman
dan gangguan atas stabilitas dan keamanan kawasan perbatasan Papua yang
bersumber dari para aktor negara, yakni gerakan separatisme, harus menjadi
prioritas penanganan. Walaupun demikian, tetap dibutuhkan dukungan kerja sama
internasional, termasuk dengan negara tetangga terdekat, yakni PNG, dalam
menanganinya, mengingat para aktor non-negara yang selama ini menjadi masalah
selalu memusatkan kegiatan mereka dengan mobilitas yang tinggi di sekitar
wilayah perbatasan Indonesia-PNG. Karena letaknya yang sangat strategis dari
berbagai sisi, wajar saja setiap aktifitas para aktor non-negara, terutama yang
terkait dengan gerakan separatisme atau tuntutan kemerdekaan Papua, mudah
memperoleh perhatian internasional. Oleh sebab itu, dalam menangani masalah
perbatasan Indonesia- PNG, pemerintah Indonesia harus berusaha ekstra
hati-hati, jangan mudah terjebak dalam provokasi internasional yang ingin
menjadikan isu domestik di sana menjadi berskala internasional. Kebijakan yang
memprioritas keamanan memang tepat diakhiri dan diganti dengan kebijakan
pembangunan yang mendasarkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Jika
pendekatan kesejahteraan ini terus dilakukan dalam jangka panjang di Papua, dan
kesejahteraan penduduk lokal di sana dapat meningkat secara signifikan, maka
ancaman dan gangguan stabilitas dan keamanan di kawasan perbatasan dapat
berkurang drastis. Jika tidak, justru akan meningkat dan sulit di atasi,
mengingat PNG sendiri menghadapi masalah keterbelakangan dan ketidakstabilan
politik.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)