Sabtu, 01 Februari 2014

KASUS TERORISME DI INDONESIA


BOM HOTEL JW MARRIOTT


Aksi terorisme di Indonesia terus saja terjadi hingga saat ini. Korban jiwa dan material sudah demikian besar dan nampaknya ini akan terus terjadi di masa yang akan datang. Aksi-aksi terorisme di Indonesia yang paling menonjol adalah sebagai berikut:


1981

·   Teroris menyamar sebagai penumpang dan membajak pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Indonesia pada 28 Maret 2081. Teroris bersenjata senapan mesin, granat dan mengaku sebagai Komando Jihad.


2000

·  Bom meledak di lantai parker P2 gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), pada 13 September 2000. Sebanyak 10 orang tewas, 90 lainnya luka-luka dan 104 mobil rusak berat.

·  Serangkaian ledakan pada malan Natal, 24 Desember 2000 di beberapa kota Indonesia. Sebanyak 16 orang tewas.


2001

·      Bom meledak di Gereja Santa Anna dan HKBP kawasan Kalimalang, Jakarta Timur pada 22 Juli 2001. Korban 5 orang tewas.

·      Bom meledak di Plaza Atrium, Senen, Jakarta pada  23 September 2001. Korban 6 orang luka-luka.


2002

·     Dua ledakan bom terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali.  Secara bersamaan bom juga meledak di Konsulat Amerika Serikat. Aksi tersebut kemudian dikenal sebagai Bom Bali I yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Korban sebagian besar warga negara asing.


2003

·    Ledakan dahsyat mengguncang hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003. Sebanyak 11 orang tewas dan 152 lainnya luka-luka.


2004

·   Ledakan bom yang disimpan di dalam sebuah mobil box menghancurkan sebagian kantor Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004. Korban 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.


2005

·     Bom meledak di pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah pada 28 Mei 2005. Aksi tersebut menewaskan sedikitnya 20 orang.

·      Bom kembali meledak di Bali pada 5 Oktober 2005. Terjadi di kawasan Kuta dan Jimbaran yang mengakibatkan korban 22 orang tewas. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan Bom Bali II.


2009

·     Dua ledakan bom mengguncang hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta pada 17 Juli 2009. Ledakan menewaskan 9 orang dan melukai lebih dari 50 orang. Dikenal sebagai Bom Mega Kuningan 2009.


2010

·   Terjadi sejumlah penembakan warga sipil di Aceh. Jaringan teroris pimpinan Abu Tholud melakukan pelatihan militer di pegunungan Janto Aceh Besar.

·  Terjadi perampokan bank CIMB Niaga Medan pada September 2010, pelaku adalah kelompok jaringan Medan.


2011

·  Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon pada 11 April 2011. Bom menewaskan M. Syarif pelaku bom bunuh diri dan melukai 25 orang lainnya termasuk Kapolresta Cirebon.

·  Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah menewaskan pelaku Ahmad Hayat  dan melukai 22 orang lainnya.


2012

·    Pelemparan granat  dan penembakan terjadi di sejumlah pos polisi pengamanan Lebaran di solo pada 17, 19 dan 30 September 2012. Korban 1 polisi tewas dan dua polisi luka-luka. Pelaku teror adalah kelompok Farhan.

Pada 31 September 2012 malam penyergapan dilakukan di Jalan Veteran menewaskan teroris Muchsin dan Farhan. Dalam penyergapan itu satu anggota Densus 88 Polri tewas.

·   Tiga anggota Brimob Polda Sulteng ditembak kelompok  bersenjata di kawasan Tambarana, Poso pada 20 Desember 2012. Sebelumnya pada Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan tewas dibunuh di hutan Tamanjeka, Poso.


2013

·     Polisi melakukan serangkaian penangkapan teroris, mulai dari Jakarta, Depok, Bandung, Kendal dan Kebumen. Kelompok yang berhasil dibongkar jaringannya adalah kelompok Thoriq, Farhan, Hasmi, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat) serta sejumlah perampokan bank dan toko emas di berbagai tempat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang terkait juga kelompok Santoso (Mujahidin Indonesia Timur) di Poso. Sejumlah teroris tewas dan berhasil ditahan.

·  Polisi berhasil menembak mati 7 teroris dan menangkap13 teroris lainnya dalam penyergapan di Jakarta, Bandung, Kendal dan Kebumen yang berlangsung selama dua hari tanggal 8-9 Mei 2013.

·    Polisi melakukan penyergapan yang menewaskan 6 teroris kelompok Dayat di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada 31 Desember 2013.



A N A L I S I S


Berdasarkan data aksi terorisme di Indonesia, setelah pasca reformasi mulai tahun 2000 aksi terorisme marak di Indonesia. Hampir tiap tahun terjadi serangan teroris. Hal ini disebabkan karena pergantian kekuasaan Orde Baru yang begitu keras menekan gerakan-gerakan radikal baik kiri maupun kanan dengan kebijakan undang-undang suversibnya. Tindakan keras dan pencegahan yang dilakukan terbukti efektif untuk menghentikan aksi terorisme, sehingga pada Era Orde Baru hampir tidak ada kasus terorisme. 

Tetapi setelah berganti Era Reformasi, penguasa dan politik menjadi gila kebebasan yang dianggap sebagai zaman demokrasi. Hiporia kebebasan ini akhirnya melemahkan kewaspadaan dan tindakan terhadap gerakan radikalisme, bahkan dengan emosional dicabutnya undang-undang suversib. Kebijakan emosional ini akhirnya mengakibatkan geraka-gerakan radikal, khususnya kanan (Islam) yang selama Orde Lama tiarap beramai-ramai muncul di permukaan dan berbiak seperti jamur di musim hujan. Mulai gerakan separatis di Aceh (GAM) hingga terbentuknya laskar-laskar Islam yang merupakan organisasi massa Islam radikal. Kebangkitan gerakan Islam radikal ini pastinya menghidupkan ideology lama mereka yang telah terpendam dengan satu tujuan tegaknya syari’at Islam dalam bentuk Negara Islam Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian menjadikan Indonesia menjadi hujan bom oleh aksi-aksi teroris gerakan Islam radikal (politik Islam).

Bila disimak, aksi teroris dari awal tahun 2000 sampai 1999 yang dijadikan target adalah sasaran presentasi asing; hotel asing, pub  / cafĂ©, Keduataan Besar, Konsulat Jendral, bank dan tempat pariwisata yang banyak dihuni orang asing khususnya warga Amerika dan sekutunya. Hal ini dikarenakan fatwa dari Osama bin Laden pimpinan Al Qaeda yang menyerukan untuk menyerang, membunuh warga Amerika / sekutu baik sipil maupun militer dimanapun berada. Fatwa itu muncul karena perkembangan situasi global di Timur Tengah yang dianggapnya sebagai tindakan anti-kemanusiaan Amerika terhadap warga negara Islam di Jazera Arab.

Tetapi pada tahun 2010 hingga kini, orientasi target mereka berubah. Yaitu sasaran mengarah pada aparat pemerintah (polisi) dan issue kristenisasi atau agama tertentu (Budha). Pergeseran target ini disebabkan karena perkembangan situasi Lokal (dalam negeri). Polisi dijadikan sasaran karena dianggap thogut karena bagian dari pemerintah yang bukan berdasarkan hukum Allah, tetapi berdasarkan hukum buatan manusia. Polisi juga dianggap sebagai penghalang bagi gerakan dan aksinya untuk mencapai tujuan. Selain itu alasan lain bahwa polisi telah banyak berbuat dzolim kepada ikhwan-ihwan mereka dengan menangkap, menyiksa, dan menembak mati. Sehingga aksi penyerangan terhadap polisi dianggapnya sebagai aksi balas dendam.

Issue kristenisasi sudah lama ada, tetapi benturan yang paling besar adalah pada konflik di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Aksi terorisme terhadap target Nasrani karena dianggap sebagai balasan terhadap kesadisan dan pembantaian umat Muslim di daerah konflik tersebut oleh kelompok Nasrani. Penyebab lain karena adanya issue “Laskar Kristus” yang dianggap mereka sebagai pasukan tandingan yang sengaja diciptakan Gereja untuk melawan Laskar Islam. Padahal Laskar Kristus hanyalah bahasa dakwah untuk memerangi hawa nafsu.

Target komunitas Budha belakangan ini terkai dengan pembantaian umat Muslim Rohiyang di Myanmar. Serangan terhadap vihara merupan aksi balas dendam dan simpati terhada saudara-saudara Muslim.

Mulai 2010, setelah Noordin M. Top ditembak mati di Solo, banyak bermunculan kelompok-kelompok teroris baru sebagai regenerasi dari jaringan Noordi M. Top. Kelompok Noordin M. Top terpecah dalam kelompok kecil-kecil dengan jumlah anggota yang tidak banyak. Kelompok yang lebih kecil akan lebih sulit diakses oleh aparat. Tetapi kelemahannya kelompok baru ini anggotanya masih pemula sehingga dapat dikatakan premature kurang pengalaman dibandingkan senior-senior mereka pada jaringan lama. Anggota kelompok baru hanya mendapatkan pelatihan lokal dengan seadanya dan waktu yang singkat karena tekanan aparat dan minimnya dana. Sedangkan jaringan lama mendapatkan pelatihan memadai di berbagai tempat latihan paramiliter baik di Afganistan dan Moro, Filipina dengan pratek tempur, perlengkapan persenjataan dan pendidikan yang memadai.

Oleh karena itu diharapkan pemerintah dalam hal ini BNPT terus berupaya dan aktif untuk mengembangkan penanggulangan dengan mengedepankan pencegahan (prefentive) sehingga aksi-aksi teroris tahunan dapat dihentikan. Program-program seperti deradikalisasi dan disengagement harus diaplikasikan hingga pada tataran bawah di daerah untuk menekan pengembangan ideology dan aksi terorisme.



(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar