Jumat, 13 Desember 2013

KONFLIK PULAU SIPADAN & LIGITAN




Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai klaim kepemilikan atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan. 

Kalau dilihat dari dimensinya, konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas jajahan tersebut. 

Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.

Keputusan Mahkamah Internasional
Putusan Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ) tanggal 17 Desember 2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.  dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.

Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat, dengan alasan  effective occupation” sepakat menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa sarana dan prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut. 

Sia-sialah perjuangan Indonesia selama kurun waktu yang panjang kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah pemerintah kurang serius memperjuangkan atas kepemilikan dua pulau yang sangat penting bagi eksistensi NKRI tersebut ?

Pemantapan Implementasi Wawasan Nusantara
Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan Mahkamah Internasional sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi “kekalahan” ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.

Implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi berbagai masalah menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh.

Seringkali terjadi suatu ”attention disorder” dalam pola pikir pemerintah dalam usaha mengimplementasikan wawasan nusantara. Proses ”menegara”, atau khususnya pada pembahasan integrasi nasional, bukan saja dilakukan dengan cara membangun pos-pos pengaman di berbagai daerah perbatasan atau wilayah pulau terluar. Apa yang perlu dipahami di sini adalah bagaimana peran aparat pengaman, seperti TNI misalnya, dalam memelihara integrasi nasional hanyalah berfungsi sebagai striking force murni. Tidak dapat dinafikan begitu saja bahwa pembangunan dan pemeliharaan pos pengaman integritas itu memiliki peran penting, tetapi guna lebih menyadarkan masyarakat luas terhadap integritas wilayah NKRI, sangat perlu untuk kembali memberikan pemahaman tentang wawasan nusantara kepada segenap elemen bangsa Indonesia. Kemampuan ketahanan nasional (national surveillance capability) ssesungguhnya terletak pada kuatnya jejaring pengaman ketahanan (surveillance networking) yang dibentuk yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Indonesia (Soehoed, 2004:50).

Jejaring ketahanan harus dimulai dari pemberdayaan masyarakat luas (society empowerment) tentang pemahaman wawasan nusantara, yang bukan hanya dipandang sebagai konsep, melainkan diwujudkan secara implementatif melalui pemberdayaan-pemberdayaan, seperti halnya pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, atau segala hal yang berhubungan dengan konsep ketahanan yang mengerucut pada astagatra (Lemhannas, tanpa tasun). Seringkali para pemegang tampuk wewenang pengambil kebijakan (pusat, khususnya) lupa bahwa kebijakan yang populis bagi masyarakat daerah tidak terdistribusi dengan baik, terutama dalam hal ini bagi masyarakat di daerah perbatasan dan wilayah pulau terluar.
Hal tersebut dapat dilihat secara riil bagaimana pola pembangunan di daerah perbatasan dan wilayah pulau terluar terjadi. Pendidikan, kesejahteraan, penghargaan atas budaya daerah belum tampak direalisasikan sebagai agenda pembangunan dan pemerataan kesejahteraan. Ironisnya, justru negara tetangga lah yang paham dengan baik bagaimana daerah perbatasan tersebut memiliki pesona potensi multiaspek yang tinggi. Justru dengan pemanfaatan wilayah yang profesional tersebut pada akhirnya Malaysia dengan gemilang mendapatkan dua pulau penuh pesona tersebut, sekaligus menunjukkan kepada mata internasional bahwa dokumen hukum sebagai peninggalan sejarah Indonesia atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan serta merta dapat disangkal dengan pendayagunaan atas wilayah dan kemanusiaan, seperti apa yang disebut dengan effective ocupation.

Penutup
            Apabila sekali lagi mempertanyakan, siapa yang harus bertanggung jawab atas lepasnya dua pulau penting, yakni Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan? Secara sepihak, sebagai Warga Negara Indonesia (yang baik?), muncul sebuah opini bahwa Malaysia lah yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut. Atau kah warga dua pulau tersebut mengalami krisis nasionalisme, sehingga dengan mudah mereka mengafirmasi klaim Malaysia atas kepemilikan dua pulau tersebut, karena bagaimanapun juga ”seharusnya” mereka menerima kebijakan-kebijakan pusat yang (mungkin) tidak mengakomodasi kesejahteraan mereka, dan karena nasionalisme adalah cerminan atas jargon ”right or wrong is my country (lord)?”. 

            Apabila harus berandai-andai, mungkin pihak Malaysia akan menjawab bahwa dirinya pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk menghidupi atau menyalurkan kesejahteraan sekaligus memanfaatkan potensi yang ada di dua pulau yang dimilikinya (yakni Sipadan dan Ligitan), karena dua pulau tersebut berada di daerah teritorialnya. Mengutip JB. Mangunwijaya, nasionalisme bukan lah sejauhmana dapat menghafal lagu kebangsaan, menghafal jargon-jargon kebangsaan, atau menerima begitusaja doktrin-doktrin kebangsaan. Nasionalisme tercipta karena adanya hubungan interrelasional atas kesamaan tujuan, kesamaan rasa kepemilikan, dan berbagai macam rasa kepemilikan yang lain (Mangunwijaya, 1995:30). Atas dasar konsepsi nasionalisme tersebut apakah lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sepenuhnya kesalahan warga masyarakat setempat?

         Lantas apakah hal ini merupakan kesalahan bangsa kita sendiri, terutama tanggung jawab pemerintah? Sebagai negara yang besar, sebagai bangsa ksatria, mengakui kesalahan sebagai nota pembelajaran untuk kehidupan lebih baik adalah prasyarat. Konsep negara yang mendikotomikan anatara ”pusat” dan ”periphery” adalah naif. Bagaimanapun juga, baik secara konstitusi maupun segi teleologis terjabarkan bahwa Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Pemeliharaan atas konsep integralistik Negara ini harus dibumikan kepada warga masyarakat luas, dengan cara; Negara mengajak partisipasi warga masyarakat dengan penuh kepercayaan, yakni dengan memberikan kesejahteraan dengan seadil-adilnya, sesuai apa yang diamanatkan oleh Pancasila dan konstitusi UUD’45. 

Kejadian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan harus dipahami sebagai wahana instropeksi untuk kesatuan nusantara di masa depan, dengan memberdayakan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, termasuk memberikan penghargaan segala hal yang dimiliki warga masyarakat perbatasan. Apabila daerah-daerah tersebut dipelihara sebagai kekayaan, dan bukan sebagai hal yang marjinal, niscaya persatuan dan kesatuan yang tertuan dari filsafat kenusantaraan akan tercipta dan terjaga secara abadi.

 Daftar Pustaka
Lemhannas, Tanpa Tahun, Materi Pokok Geostrategi dan Tannas, tidak
            Diterbitkan.
Mangunwijaya, YB., 1995, Gerundelan Orang Republik, Pustaka pelajar;
            Jakarta.
Mayasari, Mieke, 2005, Persengketaan Daerah Perbatasan di Wilayah Ambalat
            Kaitannya Dengan Konsep dan Implementasi Wawasan Nusantara,
            tidak diterbitkan; makalah.
Purwanegara, Dani, 2009, Handout Kuliah Teori Wawasan Nusantara, tidak
            diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar