Pluralisme
kelembagaan negara dalam 10 tahun terakhir merupakan akibat dari respon
terhadap kebutuhan sistem tata negara yang terus berkembang karena dinamika,
permasalahan dan tuntutan perkembangan demokratisasi. Perubahan-perubahan
terhadap kelembagaan dan birokrasi negara dilakukan secara mendasar di semua
bidang dan sektor. Hal tersebut sebenarnya juga terjadi di negara-negara lain,
terutama yang memiliki demokrasi yang sudah mapan seperti Amerika dan Perancis
yang pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak bertumbuhan lembaga-lembaga negara baru.
Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state
auxiliary organs, atau auxiliary institutions
sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Ada pula lembaga-lembaga yang
hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen. Dari
pengalaman di berbagai negara tersebut, ketika di Indonesia ide pembaruan
kelembagaan diterima sebagai pendapat umum, maka dimana di semua lini dan semua
bidang, orang berusaha untuk menerapkan ide pembentukan lembaga dan
organisasi-organisasi baru itu dengan idealisme, yaitu untuk modernisasi dan
pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi
masalah adalah proses pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa
didasarkan atas desain yang matang dan komprehensif.
Timbulnya ide
yang bersifat reaktif, sektoral dan bersifat dadakan dalam pembentukan lembaga-lembaga baru itu
pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk mewujudkan idenya sesegera mungkin
karena adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya
demokratisasi di segala bidang, seperti misalnya ketika Presiden langsung
membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada saat menghadapi
permasalahan isu korupsi, pembentukan Komisi Hukum Nasional dan Komisi
Ombudsman Nasional yang hanya berdasarkan Keputusan Presiden, pembentukan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional
Hak Azasi Manusia (Komnasham), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Kedokteran Indonesia (KPI)
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tren pembentukan lembaga-lembaga baru itu
tumbuh dengan jumlahnya yang sangat banyak, tanpa disertai oleh penciutan peran
birokrasi yang besar. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan
justru menambah inefisiensi karena meningkatkan beban anggaran negara dan
menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Ada pula lembaga
yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu,
tetapi karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis lembaganya tidak atau
belum juga dibubarkan, sementara para pengurusnya terus menerus digaji dari
anggaran pendapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Menelaah
hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR melalui amandemen sebanyak
empat kali, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah
satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam
kelembagaan MPR tetapi oleh UUD, Pasal 1 ayat (2). Sehingga hal ini merubah
sistem dan hubungan kelembagaan negara. UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada
lembaga-lembaga tinggi negara, pembagian kekuasaan (distribution of power) yang
bersifat vertikal dan tidak mengenal
pemisahan yang tegas.
Setelah amandemen
UUD 1945 MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara, maka dianut sistem
pemisahan kekuasaan (sparation of power) yang bersifat horizontal, yang secara tegas tercermin pada lembaga negara
yang menjalankan fungsinya dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Jika dikaitkan dengan hal tersebut
di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang
dari 34 lembaga negara yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945 dan masih
banyak lagi lembaga-lembaga yang disebut secara eksplisit atau tidak disebut
dalam UUD 1945 yang pembentukannya berdasarkan
UU atau peraturan dibawah UU. Dengan banyaknya lembaga negara yang dengan
sistem pemisahan kekuasaan (sparation of power) berarti bahwa kedudukan antara
lembaga-lembaga negara tersebut adalah setara, sehingga dapat saling melakukan
pengecekan dan penyeimbangan. Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada
yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau
penunjang (auxiliary). Sedangkan
dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Lapis
pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Lapis kedua disebut
sebagai lembaga negara saja, sedangkan Lapis ketiga merupakan lembaga daerah.
Memang sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi
negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, pada lapis pertama dapat disebut sebagai
lembaga tinggi negara, yaitu :
1 Presiden dan Wakil Presiden
2 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
5 Mahkamah Konstitusi (MK)
6 Mahkamah Agung (MA)
7 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
2 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
5 Mahkamah Konstitusi (MK)
6 Mahkamah Agung (MA)
7 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Lembaga-lembaga negara sebagai lapis kedua itu adalah:
1 Menteri Negara
2 Tentara Nasional lndonesia
3 Kepolisian Negara
4 Komisi Yudisial
5 Komisi pemilihan umum
6 Bank sentral
1 Menteri Negara
2 Tentara Nasional lndonesia
3 Kepolisian Negara
4 Komisi Yudisial
5 Komisi pemilihan umum
6 Bank sentral
Lembaga-lembaga
daerah itu adalah:
1) Pemerintahan Daerah Provinsi
2) Gubemur
3) DPRD provinsi
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten
5) Bupati
6) DPRD Kabupaten
7) Pemerintahan Daerah Kota
8) Walikota
9) DPRD Kota
Demikian pula, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
(Komnasham), Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman Nasional dan sebagainya,
merupakan lembaga negara juga yang dibentuk berdasarkan UU atau peraturan
dibawah UU yang memiliki kedudukan sama dan kuat secara konstitusional. Dengan
begitu banyaknya lembaga-lembaga negara baik itu yang bersifat primer atau penunjang
yang dibentuk bertujuan untuk efisiensi dan efektif karena pembentukannya tidak
didesain dengan baik dan bersifat sektoral serta tidak komprehensif justru
menghasilkan ketidakefektifan, penyimpangan, konflik dan tumpang tindih
pekerjaan. Suatu contoh kasus pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) bersinggungan dengan lembaga Kepolisian Negara dimana dalam UU
Kepolisian dan KUHP masih disebutkan bahwa Kepolisian adalah penyidik tunggal,
tetapi dalam hal ini KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan,
meskipun KPK juga diatur oleh UU Tipikor tetapi tumpang tindih UU dan ketidak
pastian batasan kewenangan menimbulkan gesekan dan konflik kepentingan antara
lembaga negara tersebut.
Misalnya dalam menangani kasus mafia
pajak Gayus Tambunan, siapa yang berhak menangani apakah Kepolisian atau KPK.
Ketidak jelasan aturan dan tumpang tindih fungsi lembaga menimbulkan konflik
sehingga terjadilah seperti; kasus ’Cicak vs Buaya’, kasus Bibit Candra,
Century, Susnoduadji dan sebagainya. Kemudian dibentuk Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) padahal sudah ada Kementerian Menkominfo, Komisi Kedokteran
Indonesia padahal sudah ada Kementerian Kesehatan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa bayaknya lembaga negara justru bisa mengakibatkan kontra produktif dan
pemborosan anggaran apabila tidak diatur dengan ketentuan perundang-undangan
yang jelas, tegas dan komprehensif antara satu dengan yang lain, karena tiap kelembagaan
negara membutuhkan dana operasional negara yang besar. Dengan kondisi seperti
ini tentu antar lembaga negara tidak bisa melakukan checks and balances karena
tumpang tindihnya pekerjaan dan kewenangan yang dimiliki. Apabila checks and
balances tidak bisa dilakukan dengan baik maka jelas dampaknya akan terjadi
banyak penyimpangan, seperti; manipulasi, kolusi, korupsi dan kesewenang-wenangan,
sehingga tidak heran apabila saat ini masih terjadi pembusukan pengelolaan
kekuasaan dan belum menghasilkan nilai-nilai tata pemerintahan yang baik.
Sebetulnya yang lebih mendasar lagi
dari penyebab carut marutnya sistem kelembagaan negara adalah kondisi demokrasi
kita. Demokrasilah yang mendorong munculnya lembaga-lebanga negara yang begitu
banyak, tetapi sayangnya demokrasi yang dijalankan saat ini masih sebatas
struktural dan belum pada tataran fungsional. Contoh yang jelas adalah pada
saat pelaksanaan Pemilu. Pemilu dilaksanakan untuk menunjukkan sistem demokrasi
dan aspirasi dari rakyat, tetapi apakah betul-betul secara fungsional itu dapat
menunjukkan aspirasi dan demokrasi yang sesungguhnya, bila dalam Pemilu politik
uang (money politic) sebagai penggeraknya. Padahal Pemilu adalah sarana untuk
memilih wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang nantinya akan mewakili
dan merumuskan perundang-undangan (regulation) yang dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara. Kalau hasil pemilihan wakil-wakil rakyat dan kepala
pemerintahan tidak sesuai kelayakan dan penuh dengan intrik politik dalam
pemilihannya, maka perundang-undangan (regulation) yang dihasilkannya pasti tidak
jelas karena penuh dengan kepentingan. Ketidak jelasan aturan berarti akan
menghasilkan kekacauan dan kegagalan sistem di semua lini dan bidang seperti
saat ini.
ANALISIS SOLUSI
1. Telah
dirumuskan di atas bahwa akar permasalahan adalah pelaksanaan demokrasi kita
yang masih belum baik. Oleh karena itu yang perlu dibenahi terlebih dahulu
adalah bagaimana bisa melaksanakan demokrasi secara baik dan benar. Demokrasi
yang baik adalah dengan melakukannya sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Jadi
memang harus ada pemaksaan untuk penegakan hukum, kepastian hukum dan
penindakan yang tegas bagi yang melanggar karena kita juga sudah memiliki
perangkat hukum. Realitanya adalah pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil
sebagai penyaluran aspirasi rakyat dalam memilih wakil-wakilnya serta kepala
pemerintahan yang betul-betul credible, layak dan memiliki integritas yang
tinggi. Perlunya jaminan tidak ada politik uang (money politic) dan pemaksaan
politik lain dalam Pemilu. Apabila wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan
dipilih benar- benar sebagai aspirasi rakyat dan memenuhi kelayakan maka dapat
dipastikan hasil kerja dalam perumusan perundang-undangan (regulation) akan
baik dan kepemimpinan pemerintahan yang kuat karena didukung sepenuhnya oleh
rakyat. Perundang-undangan (regulation) yang baik, jelas, tegas dan
komprehensif akan mudah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang telah
dibentuk, tidak menimbulkan keraguan, sehingga tercapai tujuan efektif dan
efisen dan tidak ada bersinggungan, tumpang tindih pekerjaan dan kepentingan.
2. Lembaga-lembaga
Negara yang dibentuk disesuaikan dengan kebutuhan dan telah di desain dengan
matang dan komprehensif sesuai yang tertuang dalam UUD 1945, UU ataupun
peraturan dibawah UU. Tidak membentuk lembaga yang baru apabila pekerjaan
tersebut sudah dan dapat dilakukan oleh lembaga negara yang sudah ada. Tentu
hal ini harus diimbangi oleh peningkatan kemampuan (capability) dan kepercayaan
(trust) terhadap lembaga negara tersebut.
Suatu contoh kasus korupsi harusnya bisa
ditangani secara keseluruhan oleh Kepolisian Negara, dengan membentuk biro-biro
penanganan bidang kasus, misalnya biro korupsi dan biro lain seperti; biro
kejahatan ekonomi, biro narkoba, biro kejahatan informatika dan sebagainya, sehingga
tidak perlu di bentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sebetulnya
biro-biro ini sudah ada di Kepolisian Negara, tinggal memberdayakan dan memberi
kepercayaan karena pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru sering
disebabkan karena tidak adanya kemampuan (capability) dan kepercayaan (trust)
terhadap lembaga yang sudah ada. Jadi kelembagaan negara haruslah dibuat
ramping tetapi efektif dan efisien sehingga tidak terjadi pemborosan tenaga dan
biaya negara serta memudahkan untuk melakukan checks and balances. Tidak semua
permasalahan harus di atasi dengan pembentukan lembaga baru yang bersifat bebas
dan mandiri.
Apabila
hal tersebut sudah ditempuh maka sistem ketatanegaraan akan dapat berjalan
dengan baik dan dapat membangun tata pemerintahan demokrasi yang akuntabel dan
sanggup mensejahterakan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar