NEO LIBERALISME SEBAGAI BENTUK KOLONIALISME BARU
DAN PENGARUHNYA BAGI INDONESIA
PENDAHULUAN
Neo Liberalisme merupakan sistem
ekonomi yang berpengaruh di dunia pada saat ini, khususnya bagi negara dunia
ketiga. Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dan dampak perkembangan sistem
ekonomi ini, padahal sistem ekonomi Pancasila yang dimiliki dan harusnya dianut
oleh Indonesia mulai terkikis dan dilupakan karena derasnya pengaruh
liberalisme, globalisasi, demokrasi dan modernisasi. Neo Liberalisme jelas bertentangan
dengan ideologi ekonomi Pancasila yang kita anut dan tujuan ekonomi bangsa
Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum seperti juga amanat dalam
pembukaan UUD 1945 alenia IV dan diimplementasikan pada pasal 33 batang tubuh
UUD 1945. Tetapi sepertinya bangsa Indonesia mengalami dilema besar dalam
menjalankan sistem ekonominya karena dengan sistem ekonomi Pancasila yang
dianut belum terbukti bisa menyejahterakan rakyatnya dan desakan sistem Neo
Liberalisme dengan pasar bebasnya yang ditawarkan negara Barat belum tentu jaga
lebih baik dan bahkan menimbulkan kerawanan baru. Oleh karena itu perlu kiranya
mengetahui apa Neo Liberalisme tersebut dan dampaknya bagi bangsa Indonesia
guna mencegah bentuk ancaman yang ditimbulkannya terhadap ketahanan Nasional.
PERMASALAHAN
Neo Liberalisme bagi negara Barat
merupakan suatu sistem ekonomi yang menguntungkan, karena itu usaha yang
dilakukan adalah bagaimana sistem tersebut dapat eksis dan diterima diseluruh
dunia khususnya dunia ketiga. Bagaimana sebenarnya Neo Liberalisme itu terbentuk
dan apa pengaruhnya bagi bangsa
Indonesia?
PEMBAHASAN
Latar Belakang Munculnya Neoliberalisme
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme”. Padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO.
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme”. Padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO.
Banyak yang menduga bahwa IMF, World Bank dan WTO adalah
pendukung neoliberalisme. Kedua lembaga ini
merupakan penyebab suburnya neoliberalisme. Lembaga-lembaga ini memiliki
kesempatan besar untuk memaksa negara-negara berkembang (miskin) untuk
mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam tataran pasar bebas
dengan istilah kren demi “structural adjustment” (penyesuaian struktural).
Ujung-ujungnya adalah banyak negara berkembang yang justru semakin banyak
hutangnya. Pada tahun 1975-80an, di
AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan
kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari
lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah:
REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme”. Reaganomics
atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran
John Locke,
sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A.
Smith.
Walaupun
Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap
bermuara pada intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas
berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME. Paham ekonomi
neoliberal ini, di kemudian hari dikembangkan oleh Milton Friedman. Menurut
Milton Friedman, prinsip utama bisnis ekonomi adalah mencari keuntungan.
Menurutnya, tugas dari pebisnis adalah mencari uang/keuntungan (“the
business/task of businessman is business / making money”). Hanya dengan
cara ini, suatu perusahaan akan bertahan dan bisa menghidupi para karyawannya
serta CEO-nya. Tetapi, gagasan ini, kemudian banyak ditentang, karena bisnis
tidak semata-mata hanya mencari keuntungan tetapi juga memiliki tanggung jawab
sosial: memelihara sumber daya alam dan juga memperhatikan lingkungan sosial
bisnis, serta ikut andil mengentaskan pengangguran serta kemiskinan.
Gagasan Filosofis Neoliberalisme
Pertama, menginginkan sistem ekonomi yang sama dengan
kapitalisme abad ke-19. Kapitalisme
abad ke-19 menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan
pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu
utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah, The least government is the best government. Gagasan ini barangkali
masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum
liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera,
bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan
apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai
seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil
campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan
sendiri.
Kedua, mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang
berkuasa. Untuk
mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme
selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan
pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi
yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau
tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan
yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota,
subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen
lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum
neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah
produsen dan pemerintah.
Ketiga, menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah
dalam ekonomi domestik. Gagasan ini terfokus pada metode
pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku
bisnis dan hak-hak milik pribadi. Gagasan ini sebenarnya tidak sehat. Kaum kaya
semakin kaya dan kaum miskin semakin miskin. Seharusnya yang lebih penting
adalah keadilan perdagangan (fair trade) bukan perdagangan bebas (free
trade).
Keempat, memangkas anggaran publik untuk layanan sosial. Kurangi
anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya
itu adalah bantuan dari pemerintah. Seandainya hal ini berkurang berarti peran
pemerintah juga berkurang.
Kelima, deregulasi: hambatan dan hukum perdagangan harus dihapus. Keenam, privatisasi: aktivitas ekonomi harus
dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab
bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”.
Neoliberalisme bertujuan mengembalikan
kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan
pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman
neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja
atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si
pengusaha pemilik modal dan si pekerja.
Pendorong utama kembalinya
kekuatan kekuasaan pasar adalah privasi
aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang
dimiliki-dikelola pemerintah. Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada
negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan
negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi
ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang
menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan. Revolusi neoliberalisme ini
bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan
menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah
perekonomian dengan inflasi rendah dan
pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran
rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat
bergerak bebas dengan baik. Dalam
titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran,
memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk
kesejahteraan publik harus dikurangi.
Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini
menjadi pondasi dasar neoliberalism, menundukan kehidupan publik ke dalam
logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya
menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut,
dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata,
seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme
tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum.
Tidak
ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat
neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya
dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang
implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water
resources sector adjustment loan.
Air dinilai sebagai barang ekonomis yang
pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang
ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya
sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau
konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke
pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme
transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan
penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi
bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau
perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional.
Satu kelebihan
neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan
penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi
mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam
pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan
nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu
cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel
pasar dianggap salah. Kapitalisme
neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa,
ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO, akhirnya kerap
dianggap sebagai Neoimperalisme.
Penyebaran Neoliberalisme
Penerapan agenda-agenda ekonomi
neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan
privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka.
Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia,
menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara
Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz,
dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara
Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bangk Dunia, IMF sepakat meluncurkan
sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.
Agenda
pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program
penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1)
pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam
berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3)
pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi
BUMN.
Dampak
neoliberalisme
Pertama, Industri lokal akan mati. Hambatan
perdagangan dibuat dengan tujuan antara lain untuk melindungi industri dan
tenaga kerja lokal. Dengan ditiadakannya hambatan perdagangan (deregulasi),
maka harga produk dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk
produk dan jasa lokal akan berkurang. Hal ini mengakibatkan matinya industri
lokal perlahan-lahan.
Kedua, Pekerja
(karyawan) tidak mendapat perlindungan dari negara. Dalam pemahaman neoliberalisme
pemerintah tidak berhak ikut campur tangan dalam penentuan gaji para pekerja
(karyawan). Menurut kaum neoliberal, hal ini merupakan urusan antara pengusaha
pemilik modal dan para pekerja (karyawan). Akibatnya adalah hak-hak pekerja
tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara. Pengaturan upah, misalnya,
sepenuhnya menjadi kewenangan pengusaha.
Ketiga,
Privatisasi aktivitas ekonomi . Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi,
swastanisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi
milik pribadi atau dari milik negara menjadi milik swasta . Dalam arti
aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta. Secara teori, privatisasi
aktivitas ekonomi, membantu terbentuknya pasar bebas (neoliberalisme),
mengembangkan kompetisi kapitalis (padahal yang lebih penting adalah
coopetetition dan fair trade), yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga
lebih kompetitif kepada publik. Tetapi teori semacam ini berakibat negatif,
karena layanan publik diberikan ke sektor privat (swasta) yang justru akan
menghilangkan kontrol publik dan pemerintah sehingga mengakibatkan kualitas
layanan yang buruk.
Keempat, Konsumen
tak terlindungi dari produk-produk yang tak layak dikonsumsi. Contoh:
produk-produk yang telah diubah secara genetika. Bisa terjadi pemalsuan produk.
Kelima,
Bergesernya manajemen ekonomi. Ekonomi berbasis persediaan menjadi berbasis
permintaan. Artinya negara berkembang yang tadinya kaya akan SDM, sekarang
malah menjadi tidak menikmati SDM tersebut karena telah “dirampas dan
dikuasai”oleh pemodal. Negara berkembang menjadi negara pengemis atas hasil
tanahnya sendiri. Perekonomian dengan inflasi dan pengangguran tinggi, tetap
lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah; karena bagi neoliberalisme,
penganggur adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan.
Keenam, Masalah
ekonomi adalah soal “komoditi”. Kaum neoliberalisme melihat bahwa seluruh
kehidupan adalah sumber laba korporasi perusahaan. Contoh: air dinilai sebagai
barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya
mengelola barang ekonomis. Jadi, dimensi sosial dalam sumberdaya public goods
direduksi hanya sebatas sebagai komoditas semata.
Ketujuh, Semua
pemikiran di luar rel pasar dianggap salah. Salah satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan
pemikiran politik yang sederhana, sehingga pada titik tertentu tidak lagi
mempunyai makna selain apa yang dilakukan oleh pasar dan pengusaha. Bagi kaum
neoliberalisme, politik adalah keputusan-keptusan yang menawarkan nilai-nilai
dan hanya satu cara yang rasional untuk mengukur nilai yakni pasar. Selain itu,
wilayah politik dianggap sebagai tempat pasar berkuasa dan konsep globalisasi
(perdagangan bebas) dijadikan cara untuk perluasan pasar melaui WTO, sehingga
neoliberalisme yang “kapitalisme” dianggap sebagai neo-imperialisme.
Kedelapan, Semakin lebar jurang antara si kaya
dan si miskin.
Pengaruh Neo Liberalisme bagi
Indonesia
Di Indonesia, walaupun sebenarnya
pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan
1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi,
pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda
krisis moneter pada pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah,
Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan
perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang
disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui
penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya
adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi
peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan
kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Jejak
ekonomi Neoliberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai
memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Ketika kebijakan Orde Baru
(Orba) lebih berpihak pada Barat. Dengan membaiknya politik Indonesia dengan
negara-negara Barat maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia. Penanaman
Modal Asing (PMA) dan utang luar negeri mulai meningkat.
Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium
Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara
industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia
dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari Sosialisme ke arah semi
Kapitalisme.
Memasuki
periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,sistem ekonomi di Indonesia terus
mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah banyak dibawa ke arah
liberalisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri,
maupun sektor perdagangan. Tahun 1988 dapat dianggap sebagai titik tonggak
kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang
selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan
swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi liberal Indonesia saat
itu. Masa pembangunan ekonomi Orba pun akhirnya berakhir. Puncak kegagalan dari
pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter yang diikuti dengan
ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Pasca krisis moneter, memasuki era
reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia semakin liberal. Dengan
mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF Indonesia benar-benar
telah menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu, paling tidak, dapat diukur dari beberapa
indikator utama yaitu:
1. Dihapuskannya
berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga
barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi
BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun
asing.
4. Peran
serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT, yang semakin
memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi
ekonomi dunia atau Kapitalisme global.
Dampak yang Ditimbulkan.
Dampak
ekonomi Neoliberal bagi Indonesia setidaknya ada 3 yaitu:
1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.
1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.
Sebagai contoh di bidang kehutanan.
Sejarah industri perkayuan berawal dari pemberian Hak
Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP No 21 Tahun 1970 tentang
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan(HPHH). Dengan luas
hutan tropis yang sangat menjanjikan pada waktu itu, yaitu 143,7 juta hektar
atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, Pemerintah berharap pemberian HPH
tersebut dapat menopang pembangunan Indonesia. Namun pada masa Orde Baru,
rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$
miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan
sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH. Pada masa Orba tersebut,
sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar
melalui 109 perusahaannya. Memasuki masa Orde Reformasi Indonesia tinggal
menuai getahnya. Diperkirakan kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79
juta hektar dengan laju pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta
hektar per tahun.
Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orba, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya adalah Pertamina dan sebagian kecil swasta nasional lainnya. Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisinya semakin liberal lagi. Jika pada masa-masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli distribusi minyak di dalam negeri maka mulai November 2005 Pemerintah membuka keran investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta dalam negeri maupun asing.
Jika
Pemerintah membuka keran liberalisasi di sektor hilir migas, maka tuntutannya
hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi sebagaimana
yang selama ini diterima oleh Pertamina. Berarti subsidi BBM harus dicabut
sampai 0%. Dapat dipastikan bahwa harga BBM bakal naik lagi. Namun, dengan
merek yang berbeda-beda. Paling tidak sudah siap 7 merek BBM dengan harga yang
sama-sama mahalnya.
Bidang
energi yang lain adalah batubara. Batubara menjadi sumber energi terbesar kedua
setelah minyak. Minyak memasok 34% dan batubara 23,5% kebutuhan energi dunia. Hampir
sepertiga cadangan batubara dunia ada di kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia
jumlah sumberdaya batubara, termasuk yang ditemukan produsen dan kontraktor
kerja sama, sampai tahun 2001 mencapai 145,8 miliar ton.
Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh penambangan swasta. Dari total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6% dihasilkan oleh penambang swasta. Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis di berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas yang besar.
Indonesia merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteran dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas. Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah aturan-aturan yang menguntungkan Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan modalnya. Dimulai sejak tahun 1967. Perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia (FI). Pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapat konsesi selama 30 tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apa pun.
Pada tahun 1988 secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg. Kemudian mengajukan pembaharuan KK dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden FI hanya US$ 479 juta. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang mampu dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996). Dari pendapatan itu 1% diambil untuk dana pengembangan masyarakat Papua yaitu sebesar US$ 15 juta. Pada zaman Reformasi nasib PT FI semakin bersinar.
Pada tahun 2001 laba bersih yang dibukukan perusahaan ini
mencapai US$ 304,2 juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun
berikutnya, 2003 laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang
mengherankan,dari laba bersih sebesar itu sesungguhnya yang dibagikan sebagai
deviden hanya 15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki
saham sebanyak 9,36%. Sedangkan PT FI menguasai 90,64%.
Dalam
hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing telah terjadi pengaplingan atas
daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk
FI, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat
Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk
British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan sebagainya.
Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa
dan kekuatan modal asing.
2. Bobroknya
lembaga keuangan dan masuknya Indonesia ke dalam jerat utang (debt trap).
Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah adanya liberalisasi di
pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional yang
berbasis pada sistem bunga.
Akibat krisis itu 16 bank dilikuidasi Pemerintah. 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997, dan 13 bank diambil-alih (BTO). Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional hingga pada tahun 2000 Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun. Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggungnya (opini detik.com tanggal 30 April 2008 tentang "Beban Obligasi Rekap"). Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus berlangsung hingga saat ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank ditutup, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan Indonesia. Akibat penutupan itu Pemerintah tentu harus menanggung seluruh kerugian nasabah.
Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada rakyat melalui APBN.
Hal itu belum ditambah dengan kasus pembobolan yang
dilakukan oleh sejumlah orang ke Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai
miliaran. Bahkan, triliunan rupiah. Sampai saat ini tanggungan Pemerintah untuk
dunia perbankan belum juga susut. Tercatat 10 bank besar Indonesia masih
menikmati obligasi Pemerintah. Hal itu membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp
60 triliun setiap tahunnya.
Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank yang sudah mulai sehat harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang lain di lingkup BUMN. Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di bank besar seperti BCA dan Bank Danamon harus dijual ke investor asing. Nasib yang sama juga menimpa BUMN sehat lainnya seperti Indosat Tbk, Telkom Tbk, Wisma Nusantara Indonesia, Bukit Asam Tbk, Semen Gresik, Pelindo II, dan lain-lain.
3. Munculnya
kesenjangan ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik yang
paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa. Pada
masa Orde Baru ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok. Pada tahun 1993 omset
dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya
di antaranya Om Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo
Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2
triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia tahun itu. Di sisi lain, jumlah penduduk
miskin sudah terhampar sedemikian besarnya. Menurut data tahun 1994, dengan
garis kemiskinan Rp 500 per hari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2 juta di
kota dan 26 juta di desa).
KESIMPULAN
Di era
sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak perubahan ke arah yang lebih
mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok adalah terjadinya kekuasaan
menjadi kekuatan pengumpul modal. Oleh karena itu kebijakan Pemerintah dalam
pengembangan proyek lebih banyak untuk memenuhi kepentingan orang kaya
ketimbang rakyat miskin. Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat
diterapkannya ekonomi Neoliberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah
kita diam saja menyaksikan semua ini. Kesabaran rakyat sudah habis. Saatnya
momentum Kebangkitan Nasional ini rakyat menggugat agar pasal 33 UUD 1945
dilaksanakan dengan benar demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
(Fajar Purwawidada, MH., MS.c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar