KONFLIK AMBON |
Indonesia
merupakan salah satu bangsa yang paling plural didunia dengan 1.072 etnik hidup
didalamnya. Seperti halnya negara-negara lain yang hidup dalam kondisi
multikultural, persoalan pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka
persatuan nasional selalu menjadi polemik. Setelah 62 tahun merdeka, pertikaian
antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik intens
berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi.
Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi
etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.
Lambang Trijono, dkk (2004), mendefenisikan dua jenis
konflik internal, yakni konflik penentuan nasib sendiri (self determination) dan konflik komunal. Konflik penentuan nasib sendiri dapat ditemui
di Papua dan Aceh. Pada kasus Papua konflik terjadi secara vertikal antara pemerintah pusat dan anggota separatis
Operasi Papua Merdeka (OPM), Sementera di Aceh konflik serupa terjadi antara
pemerintah dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selanjutnya konflik komunal
atau konflik horisontal seperti halnya yang terjadi di Sambas, Pontianak, Poso, Ambon, dan Maluku Utara. Dalam konflik
komunal, pertikaian tidak lebih sebagai akibat dari stereotip antara dua etnis
yang berbeda secara genealogis dan kultur, bahkan agama.
Dalam kasus konflik
yang terjadi di Kalimantan Barat, Poso, Ambon dan Maluku Utara, kita tidak
selamanya harus melihat itu sebagai konflik bernuansa SARA. Namun jauh dari itu
harus ditelisik secara mendalam dari segi-segi penyebab lainnya yang akhirnya
melahirkan konflik bernuansa SARA itu. Aspek-aspek yang dimaksud seperti halnya
aspek social-budaya, ekonomi, serta kebijakan pemerintah. Untuk lebih jelasnya,
kita sebaiknya merefleksi kembali beberapa kasus konflik komunal pada beberapa
wilayah tersebut.
Konflik Kalimantan Barat.
Konflik yang terjadi di Kabupaten Sambas sebenarnya melibatkan tiga kelompok etnis, yakni Melayu, Dayak, dan Madura. Sebelum kedatangan orang Madura, secara kewilayahan, wilayah kabupaten Sambas dapat dilihat sebagai dua wilayah dengan kebudayaan yang berbeda. Di daerah pantai barat terdapat wilayah kebudayaan Melayu yang Islam, sebagai sukubangsa dominan yang dimasa lampau terpusat di kesultanan Sambas. Sedangkan di daerah pedalaman (yang sekarang menjadi daerah kabupaten Bangkayang), yaitu di bagian timur dari kabupaten Sambas, adalah wilayah dari kebudayaan yang didominasi suku Dayak dengan corak egaliter.
Baik orang Melayu maupun orang Dayak menyadari keberadaan dan dominasi kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan saling, menghormatinya. Karena itu hubungan antara dua sukubangsa tersebut berada dalam suatu hubungan yang relatif harmonis dan bercorak simbiotik yang saling menguntungkan. Berbagai sukubangsa pendatang yang menetap di kabupaten Sambas menyadari adanya dua kebudayaan sukubangsa yang dominan tersebut, dan mereka menghormatinya dengan cara hidup sesuai dengan berbagai pedoman yang berlaku menurut kebudayaan dan pranata-pranatanya, sehingga mereka itu cenderung menjadi seperti Melayu atau seperti Dayak, tergantung pada dimana wilayah tempat kehidupan mereka sebagai pendatang. Orang Bugis misalnya, cenderung menjadi seperti orang Melayu dan bahkan menjadi Melayu, seperti orang Jawa di Bandung (Suparlan, 1972).
Orang Madura datang dan
tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892an. Sebelum perang dunia II,
keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak mempunyai
arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan karena posisi sosial mereka
yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar. Pada masa sekarang, sebelum
terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang Madura hidup di hampir seluruh
pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu didesa-desa dan didusun-dusun maupun
didaerah perkotaan.
Orang Madura hidup
mengelompok diantara sesama orang Madura. Orang-orang Madura mempunyai
kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dan persengketaan dengan
cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disadari oleh semua anggota sukubangsa yang
ada di Sambas, dengan cara ancaman dan kekerasan inilah maka secara bertahap
kebudayaan dominan Melayu maupun Dayak di tempat-tempat umum di Sambas digeser
dan diganti oleh dominasi kekerasan dari kebudayaan Madura.
Menurut orang-orang Melayu,
Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota sukubangsa yang tinggal di
kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun yang tinggal di
daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan orang Madura hanya merugikan saja.
Kerugian harta benda atau kehormatan dan harga diri. Orang-orang Melayu merasa
bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai
manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang Madura juga tidak memandang
sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang mereka junjung tinggi.
Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah
pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan berjualan dan bisnis,
monopoli eksploitasi batu dan penambangan emas, kayu dan berbagai hasil hutan
lainnya) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa
teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan.
Dari
latar belakang tersebut, Suparlan menjelaskan bahwa kekerasan yang terwujud
adalah produk dari hubungan antar sukubangsa yang berlaku setempat. Berbagai
sukubangsa pendatang di Sambas telah memperlakukan diri mereka dan orang-orang
Melayu atau Dayak sebagai orang-perorang. Dan, oleh karena itu maka pada waktu
konflik terjadi diantara mereka yang pendatang dengan anggota masyarakat Melayu
atau Dayak maka yang terjadi adalah konflik antar perorangan. Sedangkan orang-orang
Madura di Sambas selalu menonjolkan kesukubangsaan Maduranya dan bukan
orang-perorangnya. Mereka selalu hidup dan bekerja dalam kelompok-kelompok
sebagai orang Madura, membangun solidaritas sosial diantara sesama mereka yang
Madura, dan bila terjadi persengketaan antara seorang Madura dengan orang
Melayu atau Dayak maka persengketaan tersebut akan selalu diselesaikan oleh
kelompok Madura yang bersangkutan.
Ibarat
api dalam sekam, sifat-sifat orang Madura yang sudah tidak bisa ditolerir
tersebut akhirnya berubah menjadi konflik. Frustasi sosial yang meluas dan
mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka itu didominasi secara curang dan
sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang
Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka,
sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi
tersebut. Mereka hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi
kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang
Madura yang terbunuh cukup banyak jumlahnya.
Kebudayaan
dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai oleh orang Melayu.
Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai
oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang
Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan
dan mampu untuk melawan kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih
kejam dari pada yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura. (Suparlan, 2003).
Orang
Madura berani mati karena memang pada dasarnya memegang prinsip “harga nyawa
cuma sebenggol”, selain itu orang Madura juga percaya pada do’a dan jimat atau
isim yang diberikan oleh para kyai atau guru mereka. Sedangkan orang Dayak
memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh panglima perang yang menjadi
nenek moyang mereka yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk melindungi dan
mempertahankan ketentraman kehidupan mereka.
Berbeda
dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi
sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya
terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara
besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan, yakni peristiwa “Parit
Setia,” yang kronologi awalnya adalah Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula
dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari
1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas,
tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang
di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri
sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan
rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18
Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas
kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati
luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut tidak berani menanggung
resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Madura
lainnya.
Apa yang menyakitkan hati
orang-orang Melayu dari peristiwa penyerangan di desa Parit Setia oleh
orang-orang Madura dari desa Sarimakmur adalah teriakan ‘Allah hu Akbar’
berkali-kali yang dikumandangkan oleh para penyerang tersebut. Teriakan ‘Allah
hu Akbar’ ini dibarengi dengan teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan
“Melayu Kalah 3-0” (artinya orang Melayu di desa Parit Setia meninggal 3 orang
dan tidak satupun orang Madura yang meninggal ataupun terluka dalam penyerangan
tersebut). Peristiwa ini berhasil didamaikan, namun orang-orang Melayu masih
sakit hati karena orang Madura tidak pernah meminta maaf atas kelakukan mereka.
Pada tanggal 21 Januari seorang
preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke arah kota Sambas
tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di dekat desa
Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir yang orang
Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit. Dengan
berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke arah
kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si kenek.
Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang Melayu di
desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja menyerang rumah
si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin Muharap tidak
ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia karena ditembak
dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman Rodi.
Peristiwa kematian
pemuda Melayu tersebut membakar kemarahan para pemuda dan remaja Melayu yang
sudah tidak dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua mereka. Pada jam 02.00
pagi hari itu juga mereka menyerang dan membakar serta menghancurkan
rumah-rumah dan ruko-ruko milik orang Madura yang ada di desa-desa dan
pinggiran kota di wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai. Sejumlah orang
Madura meninggal dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah bangunan rumah dan
ruko yang dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan orang-orang Madura dan
rumah-rumah serta harta benda mereka berlangsung terus sampai tanggal 27
Februari 1999. Kerusuhan itu terus bergejolak walau telah didamaikan beberapa
kali. Bahkan orang Madura yang merasa sakit hati, kembali mengusik orang Dayak
dan kembali menyebabkan konflik berdarah lainnya pada tahun 1999.
Konflik
Poso
Banyak pihak
mengasumsikan bahwa konflik Poso adalah konflik SARA yang lebih mengarah pada
agama. Apalagi informasi yang berkembang di masyarakat adalah satu peristiwa
malam natal tahun 1998, yang pada saat itu bertepatan dengan bulan ramadhan
bagi umat Islam. Seorang remaja dari kampung Kristen, Lombogia, menusuk seorang
remaja muslim dari kampung muslim, Kayamanya. Akibat peristiwa sepele ini
kemudian menyulut kerusuhan walau masih seputar kota Poso.
Atas dasar inilah
kemudian menggiring asumsi public menyimpulkan bahwa kerusuhan Poso adalah
konflik agama. Namun bila ditelisik lebih mendalam, sesungguhnya bentuan antara
Kisten dan Islam saat itu tidak lebih hanya sebagai bias dari transisi politik,
demografi serta ekonomi di Poso Saat itu. Gery Van Klinken (2005) menjelaskan
bahwa kerusuhan Poso pertama pada tahun 1998 terjadi bersamaan dengan transisi
politik di Kabupaten Poso.
Konflik terkait
penentuan pengganti bupati Poso yang sudah menyatakan diri tidak akan mengikuti
pilkada lagi. Baik bupati kepala daerah yang masih menjabat maupun calon
penggantinya diunggulkan bukan orang-orang yang mempersoalkan agama. Tetapi
ketika kelompok pelobi mulai menghimpun dukungan masing-masing, agama kemudian
menjadi hal menentukan. Lobi elit Kristen mendukung Yahya Patiro, Sekwilda yang
masih menjabat. Meski Yahya anggota partai Gokar, namun dukungan paling kuat
dating dari PDI yang memiliki hubungan dengan gereja Protestan GKST berpusat di
Tentena dan di pegunungan di selatan Poso. Sementara pelobi muslim mendukung
Damsyik Ladjalani, asisten I Sekwilda. Seperti halnya Yahya, Damsyik juga salah
satu anggota Golkar namun dukungan lebih kuat dating dari partai PPP serta
organisasi-organisasi muslim lainnya. (Klinken, 2005).
Pasca pelantikan
gubernur, kedua kubu pelobi muslim dan Kristen kembali menekan gubernur untuk
memilih calon bupati yang mereka dukung masing-masing. Kelompok muslim meminta
agar Damsyik Ladjalani diangkat sebagai sekwilda setelah pada pemilihan
dikalahkan Yahya Patiro. Ketika gubernur menolak membatalkan pilihannya sendiri
dan meneguhkan pejabat sekwilda yang bukan dari partai politik. Setelah peristiwa
tersebut, kerusuhan mulai menyebar dari Poso hingga ke seluruh wilayah
kabupaten. Ratusan prajurit didatangkan dari luar Poso tapi konflik tidak bisa
dihentikan, dan berlangsung sampai kurang lebih 3 tahun.
Dari aspek
demografi dan ekonomi, Eddy MT Siantury (2005), menjelaskan piramida konflik
Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan
berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi
ini ada dua jenis yaitu; Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah
dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi
migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya
prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan
udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi
pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat
Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak
mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam.
Kedua,
transformasi ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai
mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di
perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin
menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan
beragama Kristen.
Kedua transformasi
mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso
berhadap-hadapan secara diametral. Kenyataan transfor-masi struktural kemudian
mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat
inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan
itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berba-gai posisi
strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama
masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara
berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud powersharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan
fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan
sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan
secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang
berdarah-darah.
Konflik Ambon
Seperti
halnya Poso, sentimen agama juga berkembang menjadi opini masyarakat dalam
menilai konflik Ambon. Peristiwa pemalakan yang dilakukan Nursalim, seorang
preman Bugis terhadap Yopi Louhery warga Batumerah yang berbuntut dengan aksi
saling serang setelah dipicu teriakan Nursalim yang mengatakan “orang Kristen
menyerang saya,” kemudian dianggap sebagai awal dari kerusuhan yang berakhir dengan
korban 10.000 orang tewas, 500 buah fasilitas peribadatan dihancurkan, serta
60.000 rumah keluarga menjadi puing itu.
Dalam tulisan Jacky Manuputy dan
Daniel Watimanela tentang Konflik Maluku (2004), diterangkan bahwa konflik
Maluku harus dipahami tidak semata-mata sebagai konflik perspektif agama.
Konflik Maluku ditengarai merupakan ledakan dari akumulasi ketimpangan atas
pilihan model pembangunan. Sebelum terjadi kerusuhan, sejumlah indicator
pembangunan telah mengindikasikan tingginya kemiskinan dan keterbelakangan serta
rendahnya kualitas hidup di Maluku.
Data
yang dipublikasikan oleh UNSFIR (United Nations Support Facility For Indonesian
Recovery) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Maluku dan
Maluku Utara adalah sebesar 1.013.900 orang atau 46,1% dari total penduduk
Maluku dan Maluku Utara.
Selain
kemiskinan, keterbelakangan, dan rendahnya kualitas hidup. pada beberapa
dasawarsa sebelum kerusuhan pembangunan di Maluku dilaksanakan dengan
pendekatan pembangunan yang terpusat (sentralistik). Hal ini menyebabkan pemerintah
daerah kehilangan kemandirian dan melemahkan kemampuan (kapasitas)
kelembagaannya dalam mengelola pembangunan di daerah secara otonom. Kondisi ini
kemudian melahirkan praktek pungutan liar yang menciptakan ekonomi biaya tinggi
di tengah rendahnya pendapatan. Bersamaan dengan itu perubahan demografi akibat
terjadinya migrasi masuk selama ratusan tahun telah menghasilkan suatu
interaksi antar masyarakat sehingga menimbulkan pergeseran nilai serta
perubahan sikap dan prilaku.
Sebagai
dampak turunan dari kepadatan demografi akibat migrasi tersebut ialah
terjadinya pengelompokan pemukiman pendatang yang ekslusif namun kumuh pada
wilayah pasar dan lokasi-lokasi di sekitarnya. Dengan munculnya kantong-kantong
pemukiman yang berada diluar jangkauan pemerintah daerah juga mengakibatkan
mereka sulit dikontol oleh aparat setempat. Dari kalangan itu juga kemudian
muncul beberapa perkumpulan preman yang kerapkali beraksi di sekitar pertokoan
dan tempat-tempat keramaian. Terjadi praktek broker yang dilakukan oleh distributor kecil dari kelompok BBM
(Buton, Bugis, Makassar) untuk menguasai barang dan menentukan harga.
Tidak
hanya itu, di kalangan pemuda dan mahasiswa pun sejak reformasi digulirkan
telah terjadi polarisasi kepentingan kelompok yang semakin menguat. Penentuan
jabatan rector dan pembantu rector, serta jabatan dekan di fakultas-fakultas menjadi
sangat politis dan dianggap sebagian dari proses kekuasaan. Muncul kubu-kubu yang
saling berseberangan dan mulai mempersoalkan relasi antar subjek dengan
mengambil latar pebedaan Islam dan Kristen. Presentase dosen pun dipersoalkan dan
akhirnya mereka mulai mengambil jalan keluar dengan melakukan perimbangan
menurut agama.
Seperti halnya bom
waktu, keempat factor tersebut kemudian meledak dan menjalar begitu cepat
sesaat setelah peristiwa tanggal 19 Januari 1999 itu terjadi. Secara
tersistematis, unsur-unsur penyebab konflik Ambon telah ada jauh sebelum
konflik hingga pada akhirnya berakhir dengan pencatutan atribut agama sebagai dalang
dibalik konflik tersebut terus dijadikan bahan acuan opini public untuk
menyatakan kasus konflik Ambon adalah konflik SARA yang menjurus pada agama
Islam dan Kristen.
Konflik Maluku Utara
Konflik etnik di Maluku Utara yang melibatkan orang Kao
dan Makian, dan kemudian diidentitaskan sebagai konflik antara Islam dan
Kristen sesungguhnya tidak terlepas dari peran para elit politik terutama untuk
memperebutkan posisi strategis sebagai gubernur setelah peiode reformasi 1998
digulirkan. Dibutuhkan waktu sampai bulan Oktober 2002, tiga tahun setelah
pejabat gubernur yang pertama diangkat dari Jakarta, bagi penduduk Maluku Utara
untuk mencapai kesepakatan mengenai gubernur yang berasal dari tengah-tengah
mereka sendiri.
Gery
Van Klinken dalam tulisannya berjudul Pelaku Baru, Identitas Baru : Kekerasan
antar suku pada masa pasca Soeharto di Indonesia (2005), menguraikan bahwa seperti
halnya Poso dan Ambon, berbagai faksi di Maluku Utara juga menimbulkan pergeseran
skala ke atas dengan membangun koalisi. Mereka juga memobilisasi petarung di lapangan dengan cara-cara yang sama. Polarisasi
mulai dengan identifikasi kesempatan dan/atau ancaman oleh berbagai pihak. Persepsi
mengenai kesempatan/ancaman ini berkembang dengan berinteraksi dengan tiga
mekanisme lain, yakni persaingan, perantara, dan pembentukan kategori.
Pembentukan kategori merujuk pada penerapan label-label penyeragaman, seperti
“Islam” atau “Kristen.”
Elit
provinsi di kabupaten Maluku Utara selalu lebih bergantung pada negara daripada
elit setara di Jakarta. Bekerja dalam birokrasi atau mengurus urusan bisnis dengan
birokrasi internal bawah arus antara faksi yang normal terjadi menjadi
permainan beresiko. Pasca reformasi ditengah-tengah ramalan meluas mengenai
Golkar yang akan kehilangan suara dalam jumlah besar ketika pemilu, keuntungan
yang dapat diperoleh dengan tetap bertahan dalam mesin pemilihan umum Soeharto
berkurang dan kemungkinan akan kalah total meningkat. Krisis itu menjanjikan
imbalan bagi prilaku pengusaha dan menghukum birokrasi yang lamban.
Pada
bulan April tahun 1999 sebuah dewan pembagi-bagi imbalan di bawah presiden
Habibi sebagai ketua memutuskan untuk membentuk sebuah provinsi baru di Maluku.
Presiden Habibi perlu dukungan dari provinsi-provinsi bagi pemilihannya kembali
pada bulan Oktober 1999. Sukses kampanye itu dengan segera menaikkan taruhan
persaingan di Ternate. Mudaffar berhasil mempertahankan kontrol atas Golkar. Sementara
pihak-pihak yang bersaing di Ternate menjadi perantara untuk
persekutuan-persekutuan yang berangsur-berangsur meliputi wilayah pedalaman seperti
kain perca, ketegangan mulai meningkat di daerah pedesaan, terutama di daerah
kaya di bagian utara Halmahera. Kao adalah pintu gerbang ke Halmahera Utara,
yang tidak lama kemudian ternyata menjadi titik api konflik.
Sebuah
tambang emas akan segera di buka di Halmahera Utara yang pastinya akan
menjanjikan bonanza dalam penerimaan pajak, pekerjaan, dan kekayaan mendadak
bagi kepentingan-kepentingan setempat. Tepat di lokasi itu berdiam orang Kao
yang sebagian besar dihuni orang Kristen, sekutu Mudaffar. Sementara pasca terpilihnya
Mudaffar sebagai ketua Golkar Maluku Utara, terbentuk satu persekutuan
anti-Mudaffar yang diperantarai seorang anggota parlemen dari partai Golkar,
Saiful Bahri Ruray bergabung bersama semua pejabat kepala daerah sedang
berkuasa, sejumlah anggota parlemen dari partai Islam dan kelompok-kelompok pemuda
dari KNPI serta HMI ditambah dukungan dari orang-orang Makian.
Keberadaan
suku Makian yang juga terletak di kawasan tambang emas tersebut menjadikan percikan
bunga api konflik terus membesar. Pada bulan Juni 1999 orang Makian memukul
balik melawan Mudaffar. Hubungan-hubungan birokrasi mereka yang lebih unggul berdampak
pada munculnya kesan keberpihakan pemerintah yang kemudian menyatakan bagian
Kao Selatan sebagai kecamatan terpisah dengan nama Makian-Malifut. Dan
perkelahian pecah ketika para pejabat tiba untuk melaksanakan keputusan
tersebut pada bulan Agustus 1999.
Pada tanggal 24 Oktober tahun 1999 perkelahian kembali
pecah di Malifut dan pada saat itu orang Makian menderita kerugian besar. Saat
itu juga titik polarisasi di Ternate telah melewati titik yang tidak bisa
kembali. Eksodus pengungsi Makian ke Ternate Selatan dan Tidore mencetuskan
amarah yang meluas, yang pada gilirannya memperdalam polarisasi. Konflik
kemudian semakin berkembang seiring isu identitas agama dihembuskan. Para
pembangkang Kao sekarang dilukiskan sebagai Kristen yang mengusir orang-orang
Islam dari rumah-rumah mereka.
Masing-masing
pihak memiliki prajurit yang mengibarkan bendera agama atau kesultanan. Begitu
pertarungan pecah, mereka yang memihak HMI diberi cap seragam sebagai pasukan
putih, dan Mudaffar Syah memiliki pasukan kuning yang terdiri dari
elemen-elemen preman. Pembantaian orang Kristen segala warna muncul di Tidore
dan Ternate Selatan. Prajurit Putih Dan Kuning bertempur di jalan-jalan, dan
prajurit Kuning mundur, sementara Mudaffar mengaku kalah lalu kemudian memilih
lari ke Minahasa Utara bersama istrinya yang beragama Kristen.
Konflik akhirnya
berhasil diakhiri setelah pada bulan Oktober tahun 2002 jabatan gubernur jatuh
ke tangan birokrat karir yang tenang tanpa musuh dan tanpa profil publik. Dengan
demikian pada tahun 2002 Maluku Utara kembali tenang.
Kesimpulan
Konflik di wilayah-wilayah seperti halnya Sambas dan
Pontianak di Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Maluku Utara, sesungguhnya tidak
boleh hanya dilihat dari sudut pandang Suku, Agama, dan Ras (SARA). Akan tetapi
harus didekati dari sekian banyak aspek. Hal ini didasarkan pada hasil
penelitian para peneliti di wilayah-wilayah yang disebutkan diatas, dimana aspek
budaya, ekonomi, social, dan demografi, bahkan politik turut punya andil
sebagai pemicu konflik hingga berubah kerusuhan komunal.
Pada
kasus kerusuhan di Kalimantan Barat yang melibatkan suku Dayak, Melayu, dan
Madura, bangkitnya semangat primordialisme orang Dayak dan Melayu bangkit
karena adanya tekanan-tekanan dengan menggunakan kekerasan oleh orang Madura,
yang sebenarnya sudah menjadi watak kepribadian mereka. Benturan pun kemudian terjadi
setelah orang Madura yang berwatak keras berinterkasi atau berkonfrontasi
langsung dengan suku dayak yang tergabung dalam gerakan sosial “mangkuk merah,”
yang juga punya karakter lebih kejam. Lain halnya dengan orang melayu. Pada
dasarnya mereka bertipikal penyabar, namun peristiwa “Parit Setia” telah
membuat mereka berang hingga kemudian menyerang orang Madura bersama
atribut-atribut identitas seperti mereka. Dalam hal ini kita bisa menggaris
bawahi, kasus konflik di Kalimantan Barat sebagai bentuk akumulasi dari efek
dampak migrasi gagal oleh etnik Madura yang tidak berhasil membaur dalam tata
cara atau kebiasaan hidup orang Dayak dan Melayu yang sudah sejak lama hidup
rukun berdampingan.
Untuk
di Poso dan Maluku Utara, akar konflik sebenarnya berasal dari politik. Kecenderungan
elit-elit politik untuk menggerakkan massa atas dasar identitas SARA untuk
memuluskan kepentingan politik mereka, seringkali menjadi biang meletusnya
konflik komunal. Pada kedua wilayah tersebut, yakni Poso,dan Maluku Utara, kita
bisa melihat bagaima reaksi semangat primordialisme berhasil membentuk sikap
kesediaan berkorban untuk membela figure elit politik mereka tanpa mengetahui kalau
mereka hanya diperalat untuk membela kepentingan-kepentingan politik sang elit.
Khusus
kasus konflik di Ambon, factor-faktor penyebabnya sudah sangat kompleks karena
mencakup permasalahan pembangunan yang lebih tersentralistik ke pusat, ekonomi,
demografi, budaya, serta politik. Seperti halnya di Kalimantan Barat, dampak
dari migrasi juga bisa kita jumpai.
Dari
berbagai pemaparan kami diatas, satu kesimpulan yang bisa kami tarik adalah kasus-kasus serupa sangat potensial terjadi kembali di
daerah yang sama, mengingat isu SARA sangat sensitive dan bisa setiap saat
melahirkan semangat primordialisme dengan melihat segala sesuatu secara
subjektif atas nama kepentingan suku, agama, dan ras. Olehnya
itu kami menawarkan solusi sebagai berikut :
1. Di
bidang pendidikan harus kembangkan pola pengajaran yang lebih dititikberatkan
pada kemampuan menghargai kemajemukan dan melihatnya sebagai potensi sumber
daya yang perlu dilestarikan.
2. Di
bidang ekonomi harus terjadi pemerataan pembangunan di segala bidang untuk
menghilangkan kesenjangan social. Hal yang paling mendasar sesungguhnya
terletak pada kemampuan pemerintah baik pusat maupun daerah, membuka seluas
mungkin lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
3. Di
bidang politik dibutuhkan peran aktif setipa partai politik untuk melakukan
kaderisasi berbasis nilai-nilai intelektual, humanis, dan pluralis.
4. Di bidang budaya,
pemerintah baik pusat maupun daerah harus pro-aktif mendorong serta
memfasilitasi lahirnya lembaga-lembaga seni dan budaya masing-masing
etnik dengan sasaran tiap-tiap etnik akan merasakan penghargaan atas warisan
leluhur mereka, yang pada akhirnya ini juga akan diharapkan bisa mendongkrak penghasilan
pusat maupun daerah dari segi sector pariwisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar