Minggu, 06 Juli 2014

ANALISIS KONFLIK KOMUNAL DI INDONESIA : KALIMANTAN BARAT, POSO, AMBON DAN MALUKU UTARA

KONFLIK AMBON

            Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural didunia dengan 1.072 etnik hidup didalamnya. Seperti halnya negara-negara lain yang hidup dalam kondisi multikultural, persoalan pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi polemik. Setelah 62 tahun merdeka, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.

Lambang Trijono, dkk (2004), mendefenisikan dua jenis konflik internal, yakni konflik penentuan nasib sendiri (self determination) dan konflik komunal.  Konflik penentuan nasib sendiri dapat ditemui di Papua dan Aceh. Pada kasus Papua konflik terjadi secara vertikal  antara pemerintah pusat dan anggota separatis Operasi Papua Merdeka (OPM), Sementera di Aceh konflik serupa terjadi antara pemerintah dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selanjutnya konflik komunal atau konflik horisontal seperti halnya yang terjadi di Sambas, Pontianak,  Poso, Ambon, dan Maluku Utara. Dalam konflik komunal, pertikaian tidak lebih sebagai akibat dari stereotip antara dua etnis yang berbeda secara genealogis dan kultur, bahkan agama.

Dalam kasus konflik yang terjadi di Kalimantan Barat, Poso, Ambon dan Maluku Utara, kita tidak selamanya harus melihat itu sebagai konflik bernuansa SARA. Namun jauh dari itu harus ditelisik secara mendalam dari segi-segi penyebab lainnya yang akhirnya melahirkan konflik bernuansa SARA itu. Aspek-aspek yang dimaksud seperti halnya aspek social-budaya, ekonomi, serta kebijakan pemerintah. Untuk lebih jelasnya, kita sebaiknya merefleksi kembali beberapa kasus konflik komunal pada beberapa wilayah tersebut.
Konflik Kalimantan Barat.

                Konflik yang terjadi di Kabupaten Sambas sebenarnya melibatkan tiga kelompok etnis, yakni Melayu, Dayak, dan Madura. Sebelum kedatangan orang Madura, secara kewilayahan, wilayah kabupaten Sambas dapat dilihat sebagai dua wilayah dengan kebudayaan yang berbeda. Di daerah pantai barat terdapat wilayah kebudayaan Melayu yang Islam, sebagai sukubangsa dominan yang dimasa lampau terpusat di kesultanan Sambas. Sedangkan di daerah pedalaman (yang sekarang menjadi daerah kabupaten Bangkayang), yaitu di bagian timur dari kabupaten Sambas, adalah wilayah dari kebudayaan yang didominasi suku Dayak dengan corak egaliter.


 Baik orang Melayu maupun orang Dayak menyadari keberadaan dan dominasi kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan saling, menghormatinya. Karena itu hubungan antara dua sukubangsa tersebut berada dalam suatu hubungan yang relatif harmonis dan bercorak simbiotik yang saling menguntungkan. Berbagai sukubangsa pendatang yang menetap di kabupaten Sambas menyadari adanya dua kebudayaan sukubangsa yang dominan tersebut, dan mereka menghormatinya dengan cara hidup sesuai dengan berbagai pedoman yang berlaku menurut kebudayaan dan pranata-pranatanya, sehingga mereka itu cenderung menjadi seperti Melayu atau seperti Dayak, tergantung pada dimana wilayah tempat kehidupan mereka sebagai pendatang. Orang Bugis misalnya, cenderung menjadi seperti orang Melayu dan bahkan menjadi Melayu, seperti orang Jawa di Bandung (Suparlan, 1972).

Orang Madura datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892an. Sebelum perang dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar. Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu didesa-desa dan didusun-dusun maupun didaerah perkotaan.

Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Orang-orang Madura mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dan persengketaan dengan cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disadari oleh semua anggota sukubangsa yang ada di Sambas, dengan cara ancaman dan kekerasan inilah maka secara bertahap kebudayaan dominan Melayu maupun Dayak di tempat-tempat umum di Sambas digeser dan diganti oleh dominasi kekerasan dari kebudayaan Madura. 

Menurut orang-orang Melayu, Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota sukubangsa yang tinggal di kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun yang tinggal di daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan orang Madura hanya merugikan saja. Kerugian harta benda atau kehormatan dan harga diri. Orang-orang Melayu merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang Madura juga tidak memandang sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang mereka junjung tinggi. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan berjualan dan bisnis, monopoli eksploitasi batu dan penambangan emas, kayu dan berbagai hasil hutan lainnya) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan.  

       Dari latar belakang tersebut, Suparlan menjelaskan bahwa kekerasan yang terwujud adalah produk dari hubungan antar sukubangsa yang berlaku setempat. Berbagai sukubangsa pendatang di Sambas telah memperlakukan diri mereka dan orang-orang Melayu atau Dayak sebagai orang-perorang. Dan, oleh karena itu maka pada waktu konflik terjadi diantara mereka yang pendatang dengan anggota masyarakat Melayu atau Dayak maka yang terjadi adalah konflik antar perorangan. Sedangkan orang-orang Madura di Sambas selalu menonjolkan kesukubangsaan Maduranya dan bukan orang-perorangnya. Mereka selalu hidup dan bekerja dalam kelompok-kelompok sebagai orang Madura, membangun solidaritas sosial diantara sesama mereka yang Madura, dan bila terjadi persengketaan antara seorang Madura dengan orang Melayu atau Dayak maka persengketaan tersebut akan selalu diselesaikan oleh kelompok Madura yang bersangkutan.

            Ibarat api dalam sekam, sifat-sifat orang Madura yang sudah tidak bisa ditolerir tersebut akhirnya berubah menjadi konflik. Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura yang terbunuh cukup banyak jumlahnya. 

         Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai oleh orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura. (Suparlan, 2003).

      Orang Madura berani mati karena memang pada dasarnya memegang prinsip “harga nyawa cuma sebenggol”, selain itu orang Madura juga percaya pada do’a dan jimat atau isim yang diberikan oleh para kyai atau guru mereka. Sedangkan orang Dayak memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh panglima perang yang menjadi nenek moyang mereka yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk melindungi dan mempertahankan ketentraman kehidupan mereka. 

      Berbeda dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan, yakni peristiwa “Parit Setia,” yang kronologi awalnya adalah Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari 1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas, tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18 Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Madura lainnya.

         Apa yang menyakitkan hati orang-orang Melayu dari peristiwa penyerangan di desa Parit Setia oleh orang-orang Madura dari desa Sarimakmur adalah teriakan ‘Allah hu Akbar’ berkali-kali yang dikumandangkan oleh para penyerang tersebut. Teriakan ‘Allah hu Akbar’ ini dibarengi dengan teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0” (artinya orang Melayu di desa Parit Setia meninggal 3 orang dan tidak satupun orang Madura yang meninggal ataupun terluka dalam penyerangan tersebut). Peristiwa ini berhasil didamaikan, namun orang-orang Melayu masih sakit hati karena orang Madura tidak pernah meminta maaf atas kelakukan mereka. 

         Pada tanggal 21 Januari seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit. Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman Rodi. 

        Peristiwa kematian pemuda Melayu tersebut membakar kemarahan para pemuda dan remaja Melayu yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua mereka. Pada jam 02.00 pagi hari itu juga mereka menyerang dan membakar serta menghancurkan rumah-rumah dan ruko-ruko milik orang Madura yang ada di desa-desa dan pinggiran kota di wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai. Sejumlah orang Madura meninggal dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah bangunan rumah dan ruko yang dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan orang-orang Madura dan rumah-rumah serta harta benda mereka berlangsung terus sampai tanggal 27 Februari 1999. Kerusuhan itu terus bergejolak walau telah didamaikan beberapa kali. Bahkan orang Madura yang merasa sakit hati, kembali mengusik orang Dayak dan kembali menyebabkan konflik berdarah lainnya pada tahun 1999. 

Konflik Poso

Banyak pihak mengasumsikan bahwa konflik Poso adalah konflik SARA yang lebih mengarah pada agama. Apalagi informasi yang berkembang di masyarakat adalah satu peristiwa malam natal tahun 1998, yang pada saat itu bertepatan dengan bulan ramadhan bagi umat Islam. Seorang remaja dari kampung Kristen, Lombogia, menusuk seorang remaja muslim dari kampung muslim, Kayamanya. Akibat peristiwa sepele ini kemudian menyulut kerusuhan walau masih seputar kota Poso.

Atas dasar inilah kemudian menggiring asumsi public menyimpulkan bahwa kerusuhan Poso adalah konflik agama. Namun bila ditelisik lebih mendalam, sesungguhnya bentuan antara Kisten dan Islam saat itu tidak lebih hanya sebagai bias dari transisi politik, demografi serta ekonomi di Poso Saat itu. Gery Van Klinken (2005) menjelaskan bahwa kerusuhan Poso pertama pada tahun 1998 terjadi bersamaan dengan transisi politik di Kabupaten Poso.

Konflik terkait penentuan pengganti bupati Poso yang sudah menyatakan diri tidak akan mengikuti pilkada lagi. Baik bupati kepala daerah yang masih menjabat maupun calon penggantinya diunggulkan bukan orang-orang yang mempersoalkan agama. Tetapi ketika kelompok pelobi mulai menghimpun dukungan masing-masing, agama kemudian menjadi hal menentukan. Lobi elit Kristen mendukung Yahya Patiro, Sekwilda yang masih menjabat. Meski Yahya anggota partai Gokar, namun dukungan paling kuat dating dari PDI yang memiliki hubungan dengan gereja Protestan GKST berpusat di Tentena dan di pegunungan di selatan Poso. Sementara pelobi muslim mendukung Damsyik Ladjalani, asisten I Sekwilda. Seperti halnya Yahya, Damsyik juga salah satu anggota Golkar namun dukungan lebih kuat dating dari partai PPP serta organisasi-organisasi muslim lainnya. (Klinken, 2005).

Pasca pelantikan gubernur, kedua kubu pelobi muslim dan Kristen kembali menekan gubernur untuk memilih calon bupati yang mereka dukung masing-masing. Kelompok muslim meminta agar Damsyik Ladjalani diangkat sebagai sekwilda setelah pada pemilihan dikalahkan Yahya Patiro. Ketika gubernur menolak membatalkan pilihannya sendiri dan meneguhkan pejabat sekwilda yang bukan dari partai politik. Setelah peristiwa tersebut, kerusuhan mulai menyebar dari Poso hingga ke seluruh wilayah kabupaten. Ratusan prajurit didatangkan dari luar Poso tapi konflik tidak bisa dihentikan, dan berlangsung sampai kurang lebih 3 tahun.

Dari aspek demografi dan ekonomi, Eddy MT Siantury (2005), menjelaskan piramida konflik Poso ini bertingkat tiga. Pada lapisan dasar primida konflik Poso ini ditemukan berbagai transformasi mendasar yang merubah wajah Poso untuk selamanya. Transformasi ini ada dua jenis yaitu; Pertama, transformasi demografik; walaupun Poso telah dimasuki oleh pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara. Para pendatang ini masuk dari arah Utara dan Selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam.

        Kedua, transformasi ekonomi; kegiatan perdagangan secara perlahan, tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Keadaan ini makin menebalkan rasa keterdesakan dari penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen. 

        Kedua transformasi mendasar diatas secara kebetulan melibatkan kedua umat beragama di Poso berhadap-hadapan secara diametral. Kenyataan transfor-masi struktural kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Tepat pada saat inilah para warga setiap umat itu kemudian mulai bertarung. Pertama pertarungan itu dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berba-gai posisi strategis baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi-posisi strategis itu secara berimbang, dan karena itu dirasakan adil dalam wujud powersharing pertarungan itu tidak meletup dalam bentuk kekerasan fisik. Berakhirnya masa jabatan Bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati dan sekwilda baru membuka peluang pertarungan baru yang ternyata gagal diselesaikan secara politik. Maka berubahlah pertarungan itu menjadi pertarungan fisik yang berdarah-darah.

Konflik Ambon

         Seperti halnya Poso, sentimen agama juga berkembang menjadi opini masyarakat dalam menilai konflik Ambon. Peristiwa pemalakan yang dilakukan Nursalim, seorang preman Bugis terhadap Yopi Louhery warga Batumerah yang berbuntut dengan aksi saling serang setelah dipicu teriakan Nursalim yang mengatakan “orang Kristen menyerang saya,” kemudian dianggap sebagai awal dari kerusuhan yang berakhir dengan korban 10.000 orang tewas, 500 buah fasilitas peribadatan dihancurkan, serta 60.000 rumah keluarga menjadi puing itu.

       Dalam tulisan Jacky Manuputy dan Daniel Watimanela tentang Konflik Maluku (2004), diterangkan bahwa konflik Maluku harus dipahami tidak semata-mata sebagai konflik perspektif agama. Konflik Maluku ditengarai merupakan ledakan dari akumulasi ketimpangan atas pilihan model pembangunan. Sebelum terjadi kerusuhan, sejumlah indicator pembangunan telah mengindikasikan tingginya kemiskinan dan keterbelakangan serta rendahnya kualitas hidup di Maluku.

         Data yang dipublikasikan oleh UNSFIR (United Nations Support Facility For Indonesian Recovery) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Maluku dan Maluku Utara adalah sebesar 1.013.900 orang atau 46,1% dari total penduduk Maluku dan Maluku Utara. 

      Selain kemiskinan, keterbelakangan, dan rendahnya kualitas hidup. pada beberapa dasawarsa sebelum kerusuhan pembangunan di Maluku dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan yang terpusat (sentralistik). Hal ini menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kemandirian dan melemahkan kemampuan (kapasitas) kelembagaannya dalam mengelola pembangunan di daerah secara otonom. Kondisi ini kemudian melahirkan praktek pungutan liar yang menciptakan ekonomi biaya tinggi di tengah rendahnya pendapatan. Bersamaan dengan itu perubahan demografi akibat terjadinya migrasi masuk selama ratusan tahun telah menghasilkan suatu interaksi antar masyarakat sehingga menimbulkan pergeseran nilai serta perubahan sikap dan prilaku.

       Sebagai dampak turunan dari kepadatan demografi akibat migrasi tersebut ialah terjadinya pengelompokan pemukiman pendatang yang ekslusif namun kumuh pada wilayah pasar dan lokasi-lokasi di sekitarnya. Dengan munculnya kantong-kantong pemukiman yang berada diluar jangkauan pemerintah daerah juga mengakibatkan mereka sulit dikontol oleh aparat setempat. Dari kalangan itu juga kemudian muncul beberapa perkumpulan preman yang kerapkali beraksi di sekitar pertokoan dan tempat-tempat keramaian. Terjadi praktek broker yang dilakukan oleh distributor kecil dari kelompok BBM (Buton, Bugis, Makassar) untuk menguasai barang dan menentukan harga. 

         Tidak hanya itu, di kalangan pemuda dan mahasiswa pun sejak reformasi digulirkan telah terjadi polarisasi kepentingan kelompok yang semakin menguat. Penentuan jabatan rector dan pembantu rector, serta jabatan dekan di fakultas-fakultas menjadi sangat politis dan dianggap sebagian dari proses kekuasaan. Muncul kubu-kubu yang saling berseberangan dan mulai mempersoalkan relasi antar subjek dengan mengambil latar pebedaan Islam dan Kristen. Presentase dosen pun dipersoalkan dan akhirnya mereka mulai mengambil jalan keluar dengan melakukan perimbangan menurut agama.

        Seperti halnya bom waktu, keempat factor tersebut kemudian meledak dan menjalar begitu cepat sesaat setelah peristiwa tanggal 19 Januari 1999 itu terjadi. Secara tersistematis, unsur-unsur penyebab konflik Ambon telah ada jauh sebelum konflik hingga pada akhirnya berakhir dengan pencatutan atribut agama sebagai dalang dibalik konflik tersebut terus dijadikan bahan acuan opini public untuk menyatakan kasus konflik Ambon adalah konflik SARA yang menjurus pada agama Islam dan Kristen. 

Konflik Maluku Utara

          Konflik etnik di Maluku Utara yang melibatkan orang Kao dan Makian, dan kemudian diidentitaskan sebagai konflik antara Islam dan Kristen sesungguhnya tidak terlepas dari peran para elit politik terutama untuk memperebutkan posisi strategis sebagai gubernur setelah peiode reformasi 1998 digulirkan. Dibutuhkan waktu sampai bulan Oktober 2002, tiga tahun setelah pejabat gubernur yang pertama diangkat dari Jakarta, bagi penduduk Maluku Utara untuk mencapai kesepakatan mengenai gubernur yang berasal dari tengah-tengah mereka sendiri. 

         Gery Van Klinken dalam tulisannya berjudul Pelaku Baru, Identitas Baru : Kekerasan antar suku pada masa pasca Soeharto di Indonesia (2005), menguraikan bahwa seperti halnya Poso dan Ambon, berbagai faksi di Maluku Utara juga menimbulkan pergeseran skala ke atas dengan membangun koalisi. Mereka juga memobilisasi petarung di lapangan dengan cara-cara yang sama. Polarisasi mulai dengan identifikasi kesempatan dan/atau ancaman oleh berbagai pihak. Persepsi mengenai kesempatan/ancaman ini berkembang dengan berinteraksi dengan tiga mekanisme lain, yakni persaingan, perantara, dan pembentukan kategori. Pembentukan kategori merujuk pada penerapan label-label penyeragaman, seperti “Islam” atau “Kristen.”

          Elit provinsi di kabupaten Maluku Utara selalu lebih bergantung pada negara daripada elit setara di Jakarta. Bekerja dalam birokrasi atau mengurus urusan bisnis dengan birokrasi internal bawah arus antara faksi yang normal terjadi menjadi permainan beresiko. Pasca reformasi ditengah-tengah ramalan meluas mengenai Golkar yang akan kehilangan suara dalam jumlah besar ketika pemilu, keuntungan yang dapat diperoleh dengan tetap bertahan dalam mesin pemilihan umum Soeharto berkurang dan kemungkinan akan kalah total meningkat. Krisis itu menjanjikan imbalan bagi prilaku pengusaha dan menghukum birokrasi yang lamban.

           Pada bulan April tahun 1999 sebuah dewan pembagi-bagi imbalan di bawah presiden Habibi sebagai ketua memutuskan untuk membentuk sebuah provinsi baru di Maluku. Presiden Habibi perlu dukungan dari provinsi-provinsi bagi pemilihannya kembali pada bulan Oktober 1999. Sukses kampanye itu dengan segera menaikkan taruhan persaingan di Ternate. Mudaffar berhasil mempertahankan kontrol atas Golkar. Sementara pihak-pihak yang bersaing di Ternate menjadi perantara untuk persekutuan-persekutuan yang berangsur-berangsur meliputi wilayah pedalaman seperti kain perca, ketegangan mulai meningkat di daerah pedesaan, terutama di daerah kaya di bagian utara Halmahera. Kao adalah pintu gerbang ke Halmahera Utara, yang tidak lama kemudian ternyata menjadi titik api konflik.

            Sebuah tambang emas akan segera di buka di Halmahera Utara yang pastinya akan menjanjikan bonanza dalam penerimaan pajak, pekerjaan, dan kekayaan mendadak bagi kepentingan-kepentingan setempat. Tepat di lokasi itu berdiam orang Kao yang sebagian besar dihuni orang Kristen, sekutu Mudaffar. Sementara pasca terpilihnya Mudaffar sebagai ketua Golkar Maluku Utara, terbentuk satu persekutuan anti-Mudaffar yang diperantarai seorang anggota parlemen dari partai Golkar, Saiful Bahri Ruray bergabung bersama semua pejabat kepala daerah sedang berkuasa, sejumlah anggota parlemen dari partai Islam dan kelompok-kelompok pemuda dari KNPI serta HMI ditambah dukungan dari orang-orang Makian.

          Keberadaan suku Makian yang juga terletak di kawasan tambang emas tersebut menjadikan percikan bunga api konflik terus membesar. Pada bulan Juni 1999 orang Makian memukul balik melawan Mudaffar. Hubungan-hubungan birokrasi mereka yang lebih unggul berdampak pada munculnya kesan keberpihakan pemerintah yang kemudian menyatakan bagian Kao Selatan sebagai kecamatan terpisah dengan nama Makian-Malifut. Dan perkelahian pecah ketika para pejabat tiba untuk melaksanakan keputusan tersebut pada bulan Agustus 1999.

            Pada tanggal 24 Oktober tahun 1999 perkelahian kembali pecah di Malifut dan pada saat itu orang Makian menderita kerugian besar. Saat itu juga titik polarisasi di Ternate telah melewati titik yang tidak bisa kembali. Eksodus pengungsi Makian ke Ternate Selatan dan Tidore mencetuskan amarah yang meluas, yang pada gilirannya memperdalam polarisasi. Konflik kemudian semakin berkembang seiring isu identitas agama dihembuskan. Para pembangkang Kao sekarang dilukiskan sebagai Kristen yang mengusir orang-orang Islam dari rumah-rumah mereka. 

        Masing-masing pihak memiliki prajurit yang mengibarkan bendera agama atau kesultanan. Begitu pertarungan pecah, mereka yang memihak HMI diberi cap seragam sebagai pasukan putih, dan Mudaffar Syah memiliki pasukan kuning yang terdiri dari elemen-elemen preman. Pembantaian orang Kristen segala warna muncul di Tidore dan Ternate Selatan. Prajurit Putih Dan Kuning bertempur di jalan-jalan, dan prajurit Kuning mundur, sementara Mudaffar mengaku kalah lalu kemudian memilih lari ke Minahasa Utara bersama istrinya yang beragama Kristen.

         Konflik akhirnya berhasil diakhiri setelah pada bulan Oktober tahun 2002 jabatan gubernur jatuh ke tangan birokrat karir yang tenang tanpa musuh dan tanpa profil publik. Dengan demikian pada tahun 2002 Maluku Utara kembali tenang. 

Kesimpulan

            Konflik di wilayah-wilayah seperti halnya Sambas dan Pontianak di Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Maluku Utara, sesungguhnya tidak boleh hanya dilihat dari sudut pandang Suku, Agama, dan Ras (SARA). Akan tetapi harus didekati dari sekian banyak aspek. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian para peneliti di wilayah-wilayah yang disebutkan diatas, dimana aspek budaya, ekonomi, social, dan demografi, bahkan politik turut punya andil sebagai pemicu konflik hingga berubah kerusuhan komunal.

            Pada kasus kerusuhan di Kalimantan Barat yang melibatkan suku Dayak, Melayu, dan Madura, bangkitnya semangat primordialisme orang Dayak dan Melayu bangkit karena adanya tekanan-tekanan dengan menggunakan kekerasan oleh orang Madura, yang sebenarnya sudah menjadi watak kepribadian mereka. Benturan pun kemudian terjadi setelah orang Madura yang berwatak keras berinterkasi atau berkonfrontasi langsung dengan suku dayak yang tergabung dalam gerakan sosial “mangkuk merah,” yang juga punya karakter lebih kejam. Lain halnya dengan orang melayu. Pada dasarnya mereka bertipikal penyabar, namun peristiwa “Parit Setia” telah membuat mereka berang hingga kemudian menyerang orang Madura bersama atribut-atribut identitas seperti mereka. Dalam hal ini kita bisa menggaris bawahi, kasus konflik di Kalimantan Barat sebagai bentuk akumulasi dari efek dampak migrasi gagal oleh etnik Madura yang tidak berhasil membaur dalam tata cara atau kebiasaan hidup orang Dayak dan Melayu yang sudah sejak lama hidup rukun berdampingan.

      Untuk di Poso dan Maluku Utara, akar konflik sebenarnya berasal dari politik. Kecenderungan elit-elit politik untuk menggerakkan massa atas dasar identitas SARA untuk memuluskan kepentingan politik mereka, seringkali menjadi biang meletusnya konflik komunal. Pada kedua wilayah tersebut, yakni Poso,dan Maluku Utara, kita bisa melihat bagaima reaksi semangat primordialisme berhasil membentuk sikap kesediaan berkorban untuk membela figure elit politik mereka tanpa mengetahui kalau mereka hanya diperalat untuk membela kepentingan-kepentingan politik sang elit.

           Khusus kasus konflik di Ambon, factor-faktor penyebabnya sudah sangat kompleks karena mencakup permasalahan pembangunan yang lebih tersentralistik ke pusat, ekonomi, demografi, budaya, serta politik. Seperti halnya di Kalimantan Barat, dampak dari migrasi juga bisa kita jumpai. 

            Dari berbagai pemaparan kami diatas, satu kesimpulan yang bisa kami tarik adalah kasus-kasus  serupa sangat potensial terjadi kembali di daerah yang sama, mengingat isu SARA sangat sensitive dan bisa setiap saat melahirkan semangat primordialisme dengan melihat segala sesuatu secara subjektif atas nama kepentingan suku, agama, dan ras. Olehnya itu kami menawarkan solusi sebagai berikut :

1.    Di bidang pendidikan harus kembangkan pola pengajaran yang lebih dititikberatkan pada kemampuan menghargai kemajemukan dan melihatnya sebagai potensi sumber daya yang perlu dilestarikan.

2.  Di bidang ekonomi harus terjadi pemerataan pembangunan di segala bidang untuk menghilangkan kesenjangan social. Hal yang paling mendasar sesungguhnya terletak pada kemampuan pemerintah baik pusat maupun daerah, membuka seluas mungkin lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

3.   Di bidang politik dibutuhkan peran aktif setipa partai politik untuk melakukan kaderisasi berbasis nilai-nilai intelektual, humanis, dan pluralis.

4.    Di bidang budaya, pemerintah baik pusat maupun daerah harus pro-aktif mendorong serta memfasilitasi lahirnya lembaga-lembaga seni dan budaya masing-masing etnik dengan sasaran tiap-tiap etnik akan merasakan penghargaan atas warisan leluhur mereka, yang pada akhirnya ini juga akan diharapkan bisa mendongkrak penghasilan pusat maupun daerah dari segi sector pariwisata.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar