Minggu, 06 Juli 2014

ETNIS CHINA DI INDONESIA




 RAS, ETNIS, SUB ETNIK, dan DINAMIKA DALAM KONTEKS
NASIONAL DAN LOKAL : KEBERADAAN ETNIS CINA DI INDONESIA


1.         PENDAHULUAN

Kecenderungan selain etnis Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese ataukah Cino. Di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah kejatuhan Soeharto dan Orde Barunya. Hal sebenarnya merupakan salah satu indikasi adanya proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat etnis Cina di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan keadaan orang-orang Cina di beberapa negara tetangga seperti Philipina ataupun Thailand, dimana orang Cina sudah berakulturasi dan menjadi warga pribumi, maka kedudukan etnis Cina di Indonesia nampaknya belum menemukan format yang tepat. Masih berlaku istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan etnis Cina dengan etnis pribumi yang lain. Sementara terhadap etnis pendatang lain seperti Arab, India, istilah non pribumi ini nampaknya tidak berlaku. Walaupun orang Cina sudah beranak cucu di bumi Indonesia selama ratusan tahun, sampai saat ini masih saja berkembang anggapan orang Cina sebagai perantau, orang yang menumpang hidup dan cari makan di negeri orang. Orang Cina juga menyandang label WNI lengkap dengan berbagai atribusi yang cenderung berkonotasi kurang menyenangkan. Selama ini selalu saja kebijakan para penguasa, membuat kedudukan etnis minoritas ini selalu tersudut baik itu di era kolonial maupun di era kemerdekaan.

2.                    PERMASALAHAN

            Masalah identitas merupakan bagian penting dalam pemecahan ‘masalah keberadaan etnis Cina’ di Indonesia. Bagaimanakah sebenarnya etnis Cina itu ada? Kenapa terjadi konflik pribumi – non pribumi? Bagaimana ekonomi menjadi kekuatan etnis Cina? Bagaimana keberadaan etnis Cina di Indonesia?

3.         PEMBAHASAN

a.            Sejarah Kewarganegaraan Cina Peranakan
Masyarakat etnis Cina / Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad lalu. Mereka melebur manjadi 'warga setempat' yang memiliki pasang-surut sejarah panjang. Suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnis Cina adalah ‘pendatang’ (terlepas dari kenyataan bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi hal ‘baru’). Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian integral kehidupan orang Cina di Indonesia. Hak untuk hidup di tempat tinggalnya sekarang secara legal sudah dilindungi undang-undang, terutama karena warga Cina telah memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), lengkap dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Jadi secara sosiologis, posisi warga etnis Tionghoa telah berubah dari pendatang menjadi penduduk dan warga negara. Jumlah populasi komunitas etnis Cina di Indonesia adalah nomor tiga terbesar setelah komunitas Jawa dan Sunda. Tapi dari hasil sensus penduduk tahun 2000 dimana pertama kali mencatat latar-belakang etnis seseorang, sesungguhnya komunitas Cina hanyalah nomor 15 dari 101 kelompok etnis yang tercatat di sana. Jumlahnya pun dikatakan hanya sebesar 1.738.936 orang atau 0,86% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia sebanyak 201.092.238 orang. Dinyatakan bahwa 26,45% dari jumlah seluruh warga etnis Tionghoa di Indonesia, tinggal di Jakarta yaitu 460.002 orang (5.53% dari seluruh penduduk Jakarta).

Begitu juga di Kalimantan Barat, ada 20,30% dari seluruh warga Tionghoa Indonesia (9.46 % dari seluruh penduduk Kalimantan Barat, nomor 3 terbesar setelah etnis Sambas, dan lainnya). Di Bangka Belitung, warga etnis Tionghoa adalah 11,54% dari seluruh penduduk kepulauan itu, nomor 2 setelah etnis Melayu.

b.            Konflik yang Dihadapi
Di sejarah Indonesia tercatat dua peristiwa yang dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat etnis Cina, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Pilihan terhadap identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cinanya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini, selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini. Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi melting-pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja. Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis Pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan.

Banyak tuduhan miring dialamatkan kepada golongan minoritas, keturunan Cina, seolah-olah mereka adalah sekelompok masyarakat yang hanya peduli terhadap komunitasnya semata, mendekati kekuasaan demi menumpuk kekayaan materi untuk diri sendiri dan kelompoknya.

Bahkan ada pendapat yang lebih ekstrem menyatakan bahwa golongan Cina adalah kelompok yang membuat kemiskinan bagi masyarakat pribumi. Singkatnya, kalangan keturunan Cina enggan berpartisipasi, sebagian besar bersikap apatis. Tuduhan seperti tersebut diatas didasari oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kesenjangan sosial, bahwa golongan Tionghoa sebagian besar secara materi dapat hidup layak. 

Kemampuan ekonomi golongan Tionghoa dianggap oleh masyarakat mengapa golongan ini menjadi ekslusif, tidak membaur dengan pribumi dalam konteks komunikasi sosial, dan tidak responsif terhadap realitas sosial dilingkungannya.

            Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia.
*                    Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
*                  Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
*                 Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
*                 Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
*              Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
*              Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina. 

c.         Basis Ekonomi Sebagai Kekuatan Etnis Cina
            Perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Keistimewaan perilaku ekonom etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk.
            1)         Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1966 – 1986
            Pada tahun 1965 sampai tahun 1968 merupakan tahun-tahun dimana tindakan kekerasan terhadap etnis Cina meningkat akibat peristiwa G 30 S/PKI, yang oleh rezim Soeharto diatasi secara gradual. Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemerintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskri-minasi untuk memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah dan perguruan tinggi negara. Dampak dari perlakuan diskriminatif ini adalah terjadinya pembagian kerja yang bersifat pribumi dan non pribumi. 

Para etnis Cina akhirnya lambat laun mengganti identitasnya menjadi identitas Indonesia, terutama disebabkan atas alasan peran ekonomi mereka. Munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi untuk bekerjasama dalam korporatisasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pribumi dan non pribumi.

2)         Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1986 – 1999
            Masa ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas. Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha. 

Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.

3)         Perilaku Ekonomi Etnis Cina Agustus 1999 – Sekarang
            Kondisi ekonomi yang kondusif pun digalakkan dalam pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan dicabutnya beberapa Kepres ataupun Inpres yang mendiskri-minasikan etnis Cina serta himbauan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi etnis Cina untuk menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air. Akan tetapi, kinerja pemerintah Gus Dur belum meyakinkan banyak pihak termasuk pelaku ekonomi etnis Cina, karena gaya kepemimpinan dan gaya politik Gus Dur sering berubah arah, sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang asing terutama dollar Amerika Serikat di bursa saham Jakarta.Tentu saja, hal ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan pelaku ekonomi etnis Cina. Perilaku ekonomi etnis Cina masih dibumbui oleh berbagai stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis Cina ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis Cina yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis Cina tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana. Bahwa perusahaan kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara-negara Asia dan etnis Cina memiliki 90% dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Khususnya di Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia.

d.         Kebijakan Masa Reformasi
            Orang-orang Cina peranakan yang tinggal menetap turun-temurun di Indonesia, sejak masa reformasi hingga sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang Cina, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum  dan status sosiologis golongan keturunan Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan, meskipun secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu justru lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya Ketika warga Tionghoa telah menjadi penduduk dan WNI, maka kepadanya diberikan identitas tetap, sebagaimana identitas tersebut juga diberikan kepada warga Indonesia dari etnis lain. Konsekwensi dari diperolehnya identitas tetap itu adalah bahwa ada hak dan kewajiban yang melekat padanya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama bagi setiap orang yang disebut sebagai penduduk dan WNI. Dengan kata lain, ada keseragaman identitas (dan posisi) yang dilekatkan pada mereka yang secara legal dinyatakan sebagai penduduk dan WNI.

Keseragaman identitas (dan posisi) sebagai penduduk dan warganegara ini, di satu sisi menempatkan warga Tionghoa Indonesia sejajar dengan warga Indonesia dari etnis lainnya, akan tetapi di sisi lain juga menuntut warga Tionghoa Indonesia untuk tidak boleh (tampil) berbeda dengan WNI lainnya. Oleh karena itu, pandangan sosiologis, bahwa posisi warga etnis Tionghoa telah berubah dari pendatang menjadi penduduk dan warga negara, menjadi valid, karena menurut UU tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia 2006 (pasal 1), Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Setiap WNI dituntut kesetiaannya seperti tertuang dalam sumpah / janji WNI. Selain itu, dalam UUD 1945 (amandemen) Bab X Warga Negara dan Penduduk, Pasal 27, Ayat (3) juga dikatakan bahwa setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jelas bahwa ada persoalan kesetiaan yang ditekankan di sini. Tak heran apabila hubungan dengan komunitas Tionghoa selalu dipermasalahkan. 

4.         KESIMPULAN

            Masyarakat etnis Cina / Tionghoa secara legal formal telah syah menjadi Warga Negara Republik Indonesia yang keberadaannya di jamin oleh Undang – Undang yang setara dengan etnis – etnis yang lain dan memiliki hak dan kuwajiban yang sama. Sejarah panjang lahirnya etnis Cina di Indonesia mempengaruhi karakteristik etnis tersebut. Kesenjangan ekonomi dengan penduduk pribumi karena penguatan kekuatan dan keberhasilan ekonomi sering menjadikan konflik dan diskriminasi terhadap etnis Cina, kekerasan pada konflik pribumi – non pribumi dapat dihindari apabila antar etnis dapat saling hidup menghormati, sadar akan hak dan kuwajibannya sebagai warga negara serta tidak bersikap sebagai golongan yang eksklusif. Asimilasi merupakan suatu usaha untuk mengurangi kesenjangan dan konflik tersebut.

Referensi :
1.         Wang, G. W., dan Jennifer Cushman. (1991). Perubahan indentitas orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
2.         Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas etnis Cina Indonesia dan Muangthai dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggar. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
3.         Leo Suryadinata, Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, Grasindo, Jakarta, 1999.
4.         UUD 1945 (amandemen) Bab X Warga Negara dan Penduduk.
5.         Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi.
6.         http://id.wikipedia.org/Tionghoa-Indonesia.


(Fajar Purwawidada, MH. MS.c)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar