RAS, ETNIS, SUB ETNIK, dan DINAMIKA
DALAM KONTEKS
NASIONAL
DAN LOKAL : KEBERADAAN ETNIS CINA DI INDONESIA
1. PENDAHULUAN
Kecenderungan selain etnis Cina
seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina,
Tionghoa, Chinese ataukah Cino. Di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan
kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah kejatuhan
Soeharto dan Orde Barunya. Hal sebenarnya merupakan salah satu indikasi adanya
proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat etnis
Cina di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan keadaan orang-orang Cina di
beberapa negara tetangga seperti Philipina ataupun Thailand, dimana orang Cina
sudah berakulturasi dan menjadi warga pribumi, maka kedudukan etnis Cina di
Indonesia nampaknya belum menemukan format yang tepat. Masih berlaku istilah pribumi dan
non-pribumi untuk membedakan etnis Cina dengan etnis pribumi yang lain.
Sementara terhadap etnis pendatang lain seperti Arab, India, istilah non
pribumi ini nampaknya tidak berlaku. Walaupun orang Cina sudah beranak cucu di
bumi Indonesia selama ratusan tahun, sampai saat ini masih saja berkembang
anggapan orang Cina sebagai perantau, orang yang menumpang hidup dan cari makan
di negeri orang. Orang Cina juga menyandang label WNI lengkap dengan berbagai
atribusi yang cenderung berkonotasi kurang menyenangkan. Selama ini selalu saja kebijakan para penguasa, membuat kedudukan etnis
minoritas ini selalu tersudut baik itu di era kolonial maupun di era
kemerdekaan.
2.
PERMASALAHAN
Masalah identitas
merupakan bagian penting dalam pemecahan ‘masalah keberadaan etnis Cina’ di
Indonesia. Bagaimanakah sebenarnya etnis Cina itu ada? Kenapa terjadi konflik
pribumi – non pribumi? Bagaimana ekonomi menjadi kekuatan etnis Cina? Bagaimana
keberadaan etnis Cina di Indonesia?
3. PEMBAHASAN
a.
Sejarah
Kewarganegaraan Cina Peranakan
Masyarakat etnis Cina / Tionghoa sebenarnya sudah hadir
berabad-abad lalu. Mereka melebur manjadi 'warga setempat' yang memiliki
pasang-surut sejarah panjang. Suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa
warga etnis Cina adalah ‘pendatang’ (terlepas dari kenyataan bahwa
kedatangannya terjadi berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi
hal ‘baru’). Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai
bagian integral kehidupan orang Cina di Indonesia. Hak untuk hidup di tempat
tinggalnya sekarang secara legal sudah dilindungi undang-undang, terutama
karena warga Cina telah memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), lengkap dengan
segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Jadi secara sosiologis, posisi
warga etnis Tionghoa telah berubah dari pendatang menjadi penduduk dan warga negara.
Jumlah populasi komunitas etnis Cina di Indonesia adalah nomor tiga terbesar
setelah komunitas Jawa dan Sunda. Tapi dari hasil sensus penduduk tahun 2000
dimana pertama kali mencatat latar-belakang etnis seseorang, sesungguhnya
komunitas Cina hanyalah nomor 15 dari 101 kelompok etnis yang tercatat di sana.
Jumlahnya pun dikatakan hanya sebesar 1.738.936 orang atau 0,86% dari jumlah
seluruh penduduk Indonesia sebanyak 201.092.238 orang. Dinyatakan bahwa 26,45%
dari jumlah seluruh warga etnis Tionghoa di Indonesia, tinggal di Jakarta yaitu
460.002 orang (5.53% dari seluruh penduduk Jakarta).
Begitu
juga di Kalimantan Barat, ada 20,30% dari seluruh warga Tionghoa Indonesia
(9.46 % dari seluruh penduduk Kalimantan Barat, nomor 3 terbesar setelah etnis Sambas,
dan lainnya). Di Bangka Belitung, warga etnis Tionghoa adalah 11,54% dari
seluruh penduduk kepulauan itu, nomor 2 setelah etnis Melayu.
b.
Konflik
yang Dihadapi
Di sejarah Indonesia tercatat dua peristiwa yang
dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat etnis Cina, yaitu
peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Pilihan terhadap
identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan
asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas
Cinanya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi
inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan
orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan
tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak
sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan
sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan
minoritas ini, selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga
akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina
ini. Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal,
sebagaimana asimilasi melting-pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada
kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan
masyarakat begitu saja. Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina
juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra
yang kurang menguntungkan di mata etnis Pribumi maupun kalangan birokrasi
pemerintahan.
Banyak tuduhan miring dialamatkan kepada golongan
minoritas, keturunan Cina, seolah-olah mereka adalah sekelompok masyarakat yang
hanya peduli terhadap komunitasnya semata, mendekati kekuasaan demi menumpuk
kekayaan materi untuk diri sendiri dan kelompoknya.
Bahkan
ada pendapat yang lebih ekstrem menyatakan bahwa golongan Cina adalah kelompok
yang membuat kemiskinan bagi masyarakat pribumi. Singkatnya, kalangan keturunan
Cina enggan berpartisipasi, sebagian besar bersikap apatis. Tuduhan seperti
tersebut diatas didasari oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kesenjangan
sosial, bahwa golongan Tionghoa sebagian besar secara materi dapat hidup layak.
Kemampuan
ekonomi golongan Tionghoa dianggap oleh masyarakat mengapa golongan ini menjadi
ekslusif, tidak membaur dengan pribumi dalam konteks komunikasi sosial, dan
tidak responsif terhadap realitas sosial dilingkungannya.
Selama
Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak
mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa
peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia.
*
Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996
tentang masalah ganti nama.
*
Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967
tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam
Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
*
Ketiga, Surat
Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok
WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses
asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta
adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina
diganti dengan nama Indonesia.
*
Keempat,
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang
disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan
setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
*
Kelima, Instruksi
Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di
Indonesia.
*
Keenam, Surat
Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang
larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
c. Basis Ekonomi Sebagai Kekuatan Etnis
Cina
Perilaku
ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang
situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Keistimewaan
perilaku ekonom etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem
jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap
terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan
mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka
akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu bisnis keluarga menjadi salah satu ciri
jaringan kerja yang mereka bentuk.
1) Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1966 –
1986
Pada
tahun 1965 sampai tahun 1968 merupakan tahun-tahun dimana tindakan kekerasan
terhadap etnis Cina meningkat akibat peristiwa G 30 S/PKI, yang oleh rezim Soeharto
diatasi secara gradual. Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian
dirangsang oleh pemerintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan lebih banyak
usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki
oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan
perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di
luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status
sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih
dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskri-minasi untuk
memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah
dan perguruan tinggi negara. Dampak dari perlakuan diskriminatif ini adalah
terjadinya pembagian kerja yang bersifat pribumi dan non pribumi.
Para etnis Cina akhirnya lambat laun
mengganti identitasnya menjadi identitas Indonesia, terutama disebabkan atas
alasan peran ekonomi mereka. Munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai
etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi
untuk bekerjasama dalam korporatisasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang
muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pribumi dan non pribumi.
2) Perilaku
Ekonomi Etnis Cina Tahun 1986 – 1999
Masa
ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi
yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah
satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan
pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi
kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa
perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan
sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan
nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan
atas. Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan
dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi
tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang
“menyakitkan” dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena
ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya,
serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan
Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan
terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan
Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh
pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha.
Orang Cina yang trauma akibat
kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang
melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar
banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari
mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan
keadaan.
3) Perilaku
Ekonomi Etnis Cina Agustus 1999 – Sekarang
Kondisi
ekonomi yang kondusif pun digalakkan dalam pemerintahan mantan Presiden
Abdurrahman Wahid, dengan dicabutnya beberapa Kepres ataupun Inpres yang
mendiskri-minasikan etnis Cina serta himbauan yang ditujukan kepada pelaku
ekonomi etnis Cina untuk menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air. Akan
tetapi, kinerja pemerintah Gus Dur belum meyakinkan banyak pihak termasuk
pelaku ekonomi etnis Cina, karena gaya kepemimpinan dan gaya politik Gus Dur
sering berubah arah, sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang
asing terutama dollar Amerika Serikat di bursa saham Jakarta.Tentu saja, hal
ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan
pelaku ekonomi etnis Cina. Perilaku ekonomi etnis Cina masih dibumbui oleh
berbagai stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis Cina dalam
masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia
adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis Cina ke luar negara;
(b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis Cina yang
mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas
yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis
Cina tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana. Bahwa
perusahaan kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak
negara-negara Asia dan etnis Cina memiliki 90% dari perusahaan-perusahaan
tersebut.
Khususnya di
Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk
Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia.
d. Kebijakan
Masa Reformasi
Orang-orang Cina peranakan yang
tinggal menetap turun-temurun di Indonesia, sejak masa reformasi hingga
sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai
orang Cina, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena
alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan
B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian
Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah
pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi
untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada
umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah
menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda,
Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan Tionghoa
di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan, meskipun
secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu
justru lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat
Indonesia pada umumnya Ketika warga Tionghoa telah menjadi penduduk dan WNI,
maka kepadanya diberikan identitas tetap, sebagaimana identitas tersebut juga
diberikan kepada warga Indonesia dari etnis lain. Konsekwensi dari diperolehnya
identitas tetap itu adalah bahwa ada hak dan kewajiban yang melekat padanya.
Hak dan kewajiban ini berlaku sama bagi setiap orang yang disebut sebagai
penduduk dan WNI. Dengan kata lain, ada keseragaman identitas (dan posisi) yang
dilekatkan pada mereka yang secara legal dinyatakan sebagai penduduk dan WNI.
Keseragaman
identitas (dan posisi) sebagai penduduk dan warganegara ini, di satu sisi
menempatkan warga Tionghoa Indonesia sejajar dengan warga Indonesia dari etnis
lainnya, akan tetapi di sisi lain juga menuntut warga Tionghoa Indonesia untuk
tidak boleh (tampil) berbeda dengan WNI lainnya. Oleh karena itu, pandangan
sosiologis, bahwa posisi warga etnis Tionghoa telah berubah dari pendatang
menjadi penduduk dan warga negara, menjadi valid, karena menurut UU tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia 2006 (pasal 1), Warga Negara adalah warga
suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Setiap
WNI dituntut kesetiaannya seperti tertuang dalam sumpah / janji WNI. Selain
itu, dalam UUD 1945 (amandemen) Bab X Warga Negara dan Penduduk, Pasal 27, Ayat
(3) juga dikatakan bahwa setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara. Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan
sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jelas bahwa ada persoalan kesetiaan yang
ditekankan di sini. Tak heran apabila hubungan dengan komunitas Tionghoa selalu
dipermasalahkan.
4. KESIMPULAN
Masyarakat etnis
Cina / Tionghoa secara legal formal telah syah menjadi Warga Negara Republik Indonesia
yang keberadaannya di jamin oleh Undang – Undang yang setara dengan etnis –
etnis yang lain dan memiliki hak dan kuwajiban yang sama. Sejarah panjang
lahirnya etnis Cina di Indonesia mempengaruhi karakteristik etnis tersebut.
Kesenjangan ekonomi dengan penduduk pribumi karena penguatan kekuatan dan
keberhasilan ekonomi sering menjadikan konflik dan diskriminasi terhadap etnis
Cina, kekerasan pada konflik pribumi – non pribumi dapat dihindari apabila antar
etnis dapat saling hidup menghormati, sadar akan hak dan kuwajibannya sebagai
warga negara serta tidak bersikap sebagai golongan yang eksklusif. Asimilasi
merupakan suatu usaha untuk mengurangi kesenjangan dan konflik tersebut.
Referensi :
1. Wang, G.
W., dan Jennifer Cushman. (1991). Perubahan
indentitas orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
2. Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas etnis Cina
Indonesia dan Muangthai dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman,
Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggar. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
3. Leo Suryadinata, Sastra Peranakan
Tionghoa Indonesia, Grasindo, Jakarta, 1999.
4. UUD 1945 (amandemen) Bab X Warga Negara dan Penduduk.
5. Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi.
4. UUD 1945 (amandemen) Bab X Warga Negara dan Penduduk.
5. Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi.
6. http://id.wikipedia.org/Tionghoa-Indonesia.
(Fajar Purwawidada, MH. MS.c)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar