PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN
TRANFORMASI ELEKTRONIK DENGAN EUROPEAN CONVENTION ON CYBER CRIME
PENDAHULUAN
Cyberlaw
adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya
diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek
hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang
perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau
maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law.
Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak
ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa
ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world).
1. Istilah,
Pengertian, dan Bentuk-bentuk Cyber Crime.
Ada berbagai istilah yang
dikenal dalam tulisan dan praktik penegakan hukum terhadap kejahatan yang
terjadi di dunia maya ini. Diantaranya:
a. kejahatan
komputer;
b. kejahatan
siber;
c. kejahatan
yang berhubungan dengan komputer;
d. kejahatan
mayantara;
e. cyber crime.
Dalam beberapa literatur, cyber crime sering diidentikan dengan computer crime. US Departement of Justice merumuskan computer crime secara sempit, yaitu “Setiap perbuatan melawan hukum
dimana pengetahuan komputer diperlukan untuk pelaksanaan penyidikan atau
penuntutan” (any illegal act for which
knowledge of computer technology is essential for its perpetration,
investigation or prosecution). Sementara Indra Safitri mengemukakan,
kejahatan dunia maya adalah “Sejenis kejahatan yang berkaitan dengan
pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik
yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat
keamanan yang tinggi dan kredibilitas”.
Dalam
laporan Kongres PBB ke X Tahun 2000 tentang The
Prevention of crime and The treatment Of Offender, ditemui dua kategori
untuk cyber crime yaitu:
- Cyber crime in a narrow sense (computer crime), any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them;
- Cyber crime in a broader sense (computer related crimes), any illegal behavior committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possessions, offering or distributing information by means of a computer system or network.
Dari pengertian
di atas maka dapat dimasukkan dalam klasifikasi pertama, perbuatan yang baru
ada atau dikenal setelah dunia mengenal komputer, karena komputer dan data atau
sistem yang ada di dalamnya sebagai target kejahatan (computer crime). Sedangkan dalam kategori kedua termasuk
perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya telah dikenal sebelum adanya teknologi
komputer, namun sejak ditemukannya komputer lalu dilakukan dengan media
komputer (cyber crime).
Dari berbagai definisi
cyber crime di atas, kita
lihat kemudian berbagai bentuk perbuatan yang termasuk kategori kejahatan ini. Dengan
merujuk kepada European Covention on
Cyber Crime tahun 2001, maka perbuatan tersebut antara lain:
a. Delik-delik
terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer,
yaitu:
1) mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces);
2) Tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman
dan pemancaran (illegal interception);
3)
tanpa hak merusak data (data interference);
4) tanpa hak mengganggu sistem (system interference);
5)
menyalahgunakan perlengkapan (misuse of device).
- Delik-delik yang berhubungan dengan komputer, pemalsuan, dan penipuan (computer related offences; forgery and fraud);
- Delik-delik yang bermuatan pornografi anak (content-related offences, child pornography);
- Delik-delik yang berhubungan dengan hak cipta (offences related of infringements of copyrights).
Berbagai
bentuk perbuatan cyber crime dalam European Convention di atas menjadi
sandaran untuk menilai pengaturan cyber
crime dalam UU ITE dan menilai sejauhmana terdapat harmonisasi hukum dalam
pengaturan tersebut. Pengaturan cyber
crime dalam European Convention
tersebut merupakan pengaturan yang paling komprehensif, dan sebagai suatu
instrumen hukum internasional diakui oleh banyak negara.
2. Permasalahan
Pada makalah ini akan dibatasi pembahasannya dengan permasalahan
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
perbandingan antara Undang-Undang Informasi dan Transformasi Elektronik dengan European Convention On Cyber
Crime Tahun 2001?
b. Bagaimanakah Pengaturan Kerjasama Antar
Penegak Hukum Dalam Rangka
Penegakan Hukum Cyber Crime Menurut UU
ITE ?
PEMBAHASAN
3. Perbandingan
Pengaturan Cyber Crime Dalam UU ITE Dengan European Convention On Cyber Crime
Tahun 2001.
European Convention on Cyber Crime
merupakan konvensi tentang cyber crime
yang disepakati oleh Negara-negara anggota Uni Eropa,
namun konvensi ini terbuka bagi Negara lain di luar Uni Eropa untuk
mengikutinya. Oleh karena banyak Negara yang mengikuti konvensi tersebut, maka
isi perjanjian ini menjadi model bagi banyak pengaturan cyber crime di berbagai
Negara. Oleh karenanya menjadi penting bagi Negara kita untuk merujuk konvensi
ini sebagai salah satu pembanding bagi pengaturan cyber crime di Indonesia.
Dalam konvensi ini cyber crime diatur mulai dari pasal (article) 2 sampai dengan Pasal 7. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya bahwa cyber
crime dalam pembicaraan konvensi ini terbagi dalam 2 kategori dasar, yaitu cyber crime dalam arti sempit dan dalam
arti luas, maka pengaturan cyber crime
dalam konvensi ini juga mengikuti klasifikasi tersebut. Cyber crime dalam arti sempit adalah perbuatan yang diatur dalam
bab 1. Sedangkan cyber crime dalam
arti luas, perbuatan yang terkait dengan komputer karena dilakukan dengan
komputer, serta kejahatan yang terkait dengan pornografi anak, dan pelanggaran
hak atas kekayaan intelektual. diatur dalam bab
2 sampai bab 4.
Secara lengkap pengaturan cyber crime dalam konvensi tersebut sebagai berikut :
Title 1. Offences against the confidentiality, integrity and availability of computer odata and systems.
Article 2-Illegal access
Article 3-Illegal interception
Article 4-Data interference
Article 5-System interfernce
Article 6-Misuse of devices
Title 2. Computer-related offences
Article 7- Computer-related forgery
Article 8-Computer-related fraud
Title 3 CONTENR-RELATED OFFENCES
Article 9-Offences related to child pornography
Title 4 Offences related to infringegements of copyright and related right.
Article 10 Offences related to infringements of copyright and related rights.
Dengan mengatur perbuatan yang dikatagorikan sebagai syber crime, konvensi juga mengatur sanksi bagi orang lain yang juaga dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya suatu cyber crime, termasuk mereka yang melakukan percobaan, membantu atau memerintahkan. Bahkan konvensi mengatur secara khusus terhadap korporasi yang melakukan kejahatan ini, sebagaimana terdapat dalam pasal 12. Lengkapnya peratuaran tersebut adalah :
Title 5 Ancillary liability and sanctions
Article 11-Attemt and aiding or abetting
Article 12-Corporate liability
Pengaturan cyber crime yang mengelompokkan berbagai perbuatan ke dalam 2 klasifikasi besar, kemudian dibagi lagi dalam beberapa kelompok berdasarkan pasal-pasal di atas, dipedomani oleh pembuat UU ITE. Hanya saja pembuat UU ITE tidak mengelompokkan perbuatan tersebut secara eksplisit sebagaimana terdapat dalam konvensi tersebut. Lebih jelas pengaturan cyber crime dalam UU ITE adalah sebagai berikut :
Secara lengkap pengaturan cyber crime dalam konvensi tersebut sebagai berikut :
Title 1. Offences against the confidentiality, integrity and availability of computer odata and systems.
Article 2-Illegal access
Article 3-Illegal interception
Article 4-Data interference
Article 5-System interfernce
Article 6-Misuse of devices
Title 2. Computer-related offences
Article 7- Computer-related forgery
Article 8-Computer-related fraud
Title 3 CONTENR-RELATED OFFENCES
Article 9-Offences related to child pornography
Title 4 Offences related to infringegements of copyright and related right.
Article 10 Offences related to infringements of copyright and related rights.
Dengan mengatur perbuatan yang dikatagorikan sebagai syber crime, konvensi juga mengatur sanksi bagi orang lain yang juaga dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya suatu cyber crime, termasuk mereka yang melakukan percobaan, membantu atau memerintahkan. Bahkan konvensi mengatur secara khusus terhadap korporasi yang melakukan kejahatan ini, sebagaimana terdapat dalam pasal 12. Lengkapnya peratuaran tersebut adalah :
Title 5 Ancillary liability and sanctions
Article 11-Attemt and aiding or abetting
Article 12-Corporate liability
Pengaturan cyber crime yang mengelompokkan berbagai perbuatan ke dalam 2 klasifikasi besar, kemudian dibagi lagi dalam beberapa kelompok berdasarkan pasal-pasal di atas, dipedomani oleh pembuat UU ITE. Hanya saja pembuat UU ITE tidak mengelompokkan perbuatan tersebut secara eksplisit sebagaimana terdapat dalam konvensi tersebut. Lebih jelas pengaturan cyber crime dalam UU ITE adalah sebagai berikut :
a. Indecent Materials/ Illegal
Content (Konten Ilegal)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan, mentransmisikan, dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik serta pemerasan, pengancaman serta
yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan atas SARA serta yang berisi ancaman
kekerasan (Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE)
- Illegal Acces (Akses Ilegal)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses komputer dan/ atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan
cara apapun untuk memperoleh Informasi elektronik serta melanggar, menerobos,
melampaui atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30 UU ITE).
c. Illegal Interception (Penyadapan Ilegal)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
intersepsi atas Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dalam suatu
Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan
perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/
atau penghentian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan (Pasal 31 UU ITE).
d. Data Interference (Gangguan Data)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, atau mentransfer suatu Informasi
Elektronik milik orang lain atau milik publik kepada Sistem Elektronik orang
lain yang tidak berhak, sehingga mengakibatkan terbukanya suatu Informasi
Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat
diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
(Pasal 32 UU ITE).
e. System Interference (Gangguan Sistem)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
tindakan apapun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/ atau
mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya
(Pasal 33 UU ITE).
f.
Misuse of Devices (Penyalahgunaan
Perangkat)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi,
menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan
atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau
secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang dan
sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu, yang
ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat akses dengan tujuan memfasilitasi
perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE).
g. Computer Related Fraud and
Forgery (Penipuan dan Pemalsuan yang berkaitan
dengan Komputer)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan Informasi
Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik
(Pasal 35 UU ITE).
Sebagaimana umumnya UU di luar KUHP yang mengatur
perbuatan dengan sanksi pidana, dalam UU ITE perumusan perbuatan dan sanksi
pidana juga dicantumkan secara terpisah. Semua perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27
sampai Pasal 35 di atas, diancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 45-52.
Jika
diteliti pengaturan cyber crime dalam UU ITE maka terlihat bahwa semua
perbuatan yang direkomendasikan dalam European
Convention on Cyber Crime telah diatur dalam UU ITE. Perbedaannya hanya
pada tata letak atau urutan pengaturan berbagai perbuatan tersebut. Jika
Konvensi memulai dengan perbuatan yang terkategori sebagai cyber crime dalam arti sempit (murni), maka pengaturan dalam UU ITE
tidak mengikuti pola tersebut. Hal ini terlihat bahwa pasal pertama yang
mengatur tentang cyber crime
tersebut, justru mengatur perbuatan yang sebenarnya merupakan tindak pidana
konvensional (ada dalam KUHP), hanya saja sekarang dilakukan dengan media
komputer berikut jaringannya. Perhatikan Pasal 27 yang melarang perbuatan orang
yang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang
memilik muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik,
ataupun pemerasan.
Meskipun
pengaturan cyber crime dalam UU ITE
telah mengupayakan pengaturan semua bentuk cyber
crime dalam konvensi tersebut, namun masih ada beberapa bentuk cyber crime dalam praktik sehari-hari
yang belum terakomodasi dalam UU ITE. Di antara perbuatan tersebut adalah:
a. Spamming, baik untuk email spamming
maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb;
b. Virus dan worm komputer (pengaturan tentang ini hanya bersifat implisit dalam Pasal 33). Hal yang lebih
penting dalam pengaturan virus komputer ini terutama untuk pengembangan dan penyebarannya;
Sesungguhnya menjadi pertanyaan juga bagi peneliti, tentang kedua bentuk kejahatan di atas yang tidak diatur dalam UU ITE. Jika dikaitkan dengan tujuan diaturnya suatu perbuatan dalam hukum positif sebagai suatu tindak pidana dan diberi sanksi, maka pertimbangan pertama tentunya adalah bahwa perbuatan tersebut dianggap menimbulkan kerugian terhadap orang lain atau masyarakat. Memang kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan itu mestilah diprediksi cukup besar sehingga layak diancam dengan sanksi pidana. Pertimbangan berikut adalah cost and benefit analyse, tentunya tidak menghendaki suatu perbuatan yang dikriminalisasi ternyata tidak begitu efektif mencapai tujuannya (dalam bentuk social defence).
Jika dikaitkan dengan tingkat
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan spamming,
memang secara ekonomis tidak begitu berarti. Namun perbuatan tersebut tetap
menimbulkan perasaan terganggu atau perasaan tidak senang, bagi pihak yang
menjadi korban. Perbuatan yang demikian, menimbulkan perasaan tidak senang pada
orang lain, diatur dalam KUHP, meski hanya terkategori sebagai pelanggaran.
Jika KUHP saja yang dibuat seabad yang lalu sudah menghargai terganggunya
perasaan atau tidak senangnya seseorang karena tindak pidana, mengapa di zaman
yang semakin modern yang menjunjung tinggi HAM, perbuatan yang menimbulkan
akibat yang sama melalui media komputer berikut jaringannya tidak dianggap
sebagai perbuatan yang perlu dikriminalisasi. Hal ini harus menjadi
pertimbangan para pembuat UU di negeri ini, karena tidak seharusnya terganggu/tidak
senang oleh perbuatan orang lain, tidak diancam dengan sanksi pidana, meski
pelaku mungkin tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perbuatannya itu.
4. Pengaturan Kerjasama Antar Penegak
Hukum Dalam Rangka Penegakan Hukum Cyber
Crime Menurut UU ITE.
Sebagaimana UU lain yang mengatur
tentang suatu tindak pidana khusus, hukum pidana khusus, UU ITE juga mengatur
tentang penyidikan tindak pidana yang diatur di dalamnya. Pasal pertama yang
mengatur tentang hukum pidana formal dalam hal ini adalah Pasal 42, yang menentukan
bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ini dilakukan menurut
ketentuan KUHAP dan menurut UU ini. Rumusan demikian sedikit berbeda dari
rumusan dalam UU lain, yang biasanya merumuskan sebagai berikut “penyidikan
terhadap tindak pidana dalam UU ini dilakukan menurut ketentuan hukum acara
pidana yang berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini”.
Perumusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 42 menimbulkan konsekuensi berbeda dari rumusan umum tadi. Jika terdapat pengaturan dalam UU ITE yang berbeda, maka ketentuan mana yang harus diterapkan? Dengan rumusan yang umum dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus di atas, jelaslah bagi praktisi hukum bahwa yang harus diberlakukan adalah UU ITE, karena pernyataan „sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini“ menjadi pembatas berlakunya ketentuan yang umum tadi. Banyak pihak beranggapan bahwa dalam hal demikian, berlakulah asas lex specialis derogaat legi generali. Jika dalam hal ini UU ITE dianggap sebagai ketentuan khusus, maka UU ITE lah yang berlaku jika terjadi pengaturan yang berbeda.
Perumusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 42 menimbulkan konsekuensi berbeda dari rumusan umum tadi. Jika terdapat pengaturan dalam UU ITE yang berbeda, maka ketentuan mana yang harus diterapkan? Dengan rumusan yang umum dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus di atas, jelaslah bagi praktisi hukum bahwa yang harus diberlakukan adalah UU ITE, karena pernyataan „sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini“ menjadi pembatas berlakunya ketentuan yang umum tadi. Banyak pihak beranggapan bahwa dalam hal demikian, berlakulah asas lex specialis derogaat legi generali. Jika dalam hal ini UU ITE dianggap sebagai ketentuan khusus, maka UU ITE lah yang berlaku jika terjadi pengaturan yang berbeda.
Dalam UU ini diatur beberapa hal
penting dalam rangka penegakan hukum cyber
crime, termasuk juga pengaturan
kerjasama antar instansi penegak hukum. Pengaturan tersebut antara lain:
a.
Adanya Penyidik Pegawai Negei
Sipil, yang mengakui PNS di bidang informasi dan transaksi elektronik sebagai
Penyidik.
b.
Adanya alat bukti yang lebih
luas daripada ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam UU ITE alat bukti yang
digunakan ditambah dengan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).
c.
Kerjasama PPNS dalam UU ITE
dengan Penyidik Polri dalam rangka pemberitahuan dimulainya penyidikan dan
penyerahan berkas hasil penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum.
d.
Adanya kewajiban untuk
mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan dalam rangka penggeledahan dan
penyitaan.
e.
Adanya kewajiban untuk meminta
persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri melalui Penuntut Umum dalam hal hendak
melakukan penangkapan dan penahanan.
f.
Kerjasama dengan penyidik dari
negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti, dalam hal penyidikan tindak
pidana di bidang ITE.
Dari
berbagai pengaturan di atas, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, diantaranya:
a.
Kewajiban untuk meminta persetujuan
dari Ketua Pengadilan Negeri melalui Penuntut Umum dalam melakukan penangkapan
dan penahanan. Ketentuan ini sesungguhnya mengadopsi pemikiran yang berkembang
dalam penyusunan Revisi KUHAP yang sedang berlangsung sekarang ini. Namun
karena Revisi KUHAP itu sendiri belum tentu mendapat persetujuan dari DPR
nantinya, maka pemberlakuan Pasal 43 ayat (6) ini akan menimbulkan masalah
dalam praktik penegakan hukumnya. Pertama adalah pengaturan dalam pasal
tersebut menyebutkan “Penyidik”, yang berarti berlaku baik penyidik Polri
maupun penyidik PNS. Padahal selama ini penyidik dapat melakukan sendiri upaya
paksa tersebut, tanpa meminta izin PN apalagi harus melalui JPU. Kedua,
permintaaan izin dilakukan melalui Penuntut Umum, yang berarti memperpanjang
prosedur pelaksanaan upaya paksa, yang sebenarnya harus dilakukan secara cepat,
mengingat kemungkinan tersangka telah melakukan tindakan lain yang dapat
menghambat proses penyidikan. Misalnya melarikan diri, menghilangkan alat
bukti, dan lain sebagainya. Ketiga, prosedur yang panjang itu bersifat
kontradiktif dengan sifat cyber crime
sendiri yang begitu maya dan borderless,
sehingga alat bukti yang diperlukan dapat dihilangkan dengan cara cepat.
b.
Terkait dengan pengaturan alat
bukti elektronik sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal, di antaranya
Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3). Alat bukti
elektronik tersebut mempunyai sifat yang berbeda dari alat bukti umum yang
diatur dalam KUHAP. Salah satu perbedaannnya adalah bentuknya yang bersifat
digital (non paperbased) sehingga
membutuhkan keahlian khusus untuk dapat memahami arti dan makna serta keaslian
alat bukti digital tersebut. Terkait dengan hal ini tidak terdapat
pengaturannya dalam UU ITE, apakah sebuah alat bukti elektronik dapat diterima
begitu saja sebagai alat bukti di persidangan, ataukah harus mememnuhi standar
tertentu yang menjamin keaslian alat bukti tersebut. Hal ini berbeda dengan
praktik di berbagai negara yang mengatur Standard
Operational Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik, yang
dikembangkan dari SOP yang dibuat oleh International Organization of Computer
Evidence (IOCE) yang merupakan standar intenasional.
c.
Terkait dengan pengaturan
kerjasama internasional, karena cyber
crime seringkali bersifat lintas batas teritroial (transnational bounderies). Dalam UU ITE hanya terdapat satu pasal
yang mengatur kerjasama ini, yaitu bahwa penyidik dapat bekerjasama dengan
penyidik dari negara lain untuk melakukan berbagi informasi dan alat bukti.
Sesungguhnya pengaturan yang demikian tidaklah memadai jika dibandingkan dengan
tingkat kesulitan pembuktian cyber crime,
dan keniscayaan akan kerjasama internasional dalam penanganan cyber crime ini. Seharusnya UU ini
menjadi payung bagi pengaturan kerjasama intenasional dalam penanganan tindak
pidana yang bersifat transnational
bounderies, khususnya cyber crime.
Dengan pengaturan yang lebih lengkap mengenai kerjasama tersebut, maka
kerjasama internasional dalam penanganan cyber
crime ini dapat diterapkan pula dalam penanganan tindak pidana lain yang
juga bersifat lintas batas teritorial.
PENUTUP
5. Kesimpulan
Dari berbagai uraian makalah diatas, maka dapatlah
diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
a.
Pengaturan cyber crime dalam UU
ITE telah mengakomodir perbuatan yang direkomendasikan oleh European Convention
on Cyber Crime 2001. Hanya saja susunan pengaturan dalam UU ITE lebih
mendahulukan perbuatan yang merupakan kejahatan konvensional, karena sudah ada
dalam KUHP, seperti Pasal 27 yang mengancam terhadap tindak pidana pronografi,
perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan.
b.
Masih terdapat beberapa
perbuatan yang ada dalam masyarakat terkait cyber crime yang belum dikriminalisasi,
seperti spamming dan pengaturan perbuatan terkait virus computer yang belum
memadai.
c.
Dalam hal pengaturan
kerjasama antar penegak hukum terdapat hal-hal baru yang mungkin akan
menimbulkan masalah dalam praktiknya. Misalnya keharusan untuk mendapat izin
Ketua Pengadilan Negeri dalam hal akan dilakukan upaya paksa penangkapan dan
penahanan, yang harus dilakukan oleh penyidik melalui Penuntut Umum. Sementara
pengaturan kerjasama internasional kurang memadai karena hanya terdapat satu
ayat yang mengatur tentang dapatnya penyidik bekerjsama dengan penyidik dari
negara lain untuk bertukar informasi dan alat bukti dalam tindak pidana cyber.
6. S a r a n
Dari
berbagai kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:
a.
Pembuat UU perlu menyikapi
pengaturan tentang spamming, yang secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian
yang besar, tetapi menimbulkan gangguan atau perasaan tidak senang kepada
korban.
b.
Pembuat UU perlu
mempertimbangkan melakukan revisi terhadap pengaturan tindak pidana terkait
virus komputer masih belum memadai, khususnya terhadap kemungkinan perkembangan
virus komputer di masa depan.
c.
Perlunya pengaturan yang lebih
komprehensif terhadap kerjasama internasional. Dalam hal ini UU ITE dapat
dijadikan payung pengaturan kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana
yang bersifat lintas batas teritorial. Dengan demikian kerjasama internasional dalam penanganan
tindak pidana lain yang bersifat transnasional, seperti trafficking in person, terorisme, dan money laundering dapat mengacu kepada ketentuan dalam UU ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid dan Muhammad Labib (2005). Kejahatan Mayantara (cyber crime). Bandung:
PT Rafika Aditama.
Agus Rahardjo (2002). Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya
Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
Ahmad Zakaria, 2007. Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai
Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus Website
Anshar.net). Tesis, Program Pascasarjana-UI, Depok.
Barda Nawawi Arief (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung:
Citra Aditya Bhakti.
Boer Mauna (2002). Peran Hukum Internasional Dalam Era Globalisasi. Jakarta: Rajawali
Press.
Eddy Junaedi Kartasudirja (1999). Bahaya Kejahatan Komputer. Jakarta:
Tanjung Agung
Ilhamd Wahyudi (2006). Kebijakan Pidana Terhadap Kejahatan Mayantara. Padang,
Tesis. Program Pascasarjana UNAND-UNRI.
J.G. Starke (1997). Pengantar Hukum Internasional. Ed 10, terjemahan Bambang Iriana D,
Jakarta: Sinar Grafika
Lucky Raspati (2007). Cyber Crime dalam Hukum Pidana Indonesia.
Jurnal Delicit Nomor 3 Volume 2, Padang: Fakultas Hukum-UNAND.
Muladi (1998). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas
Diponegoro Press.
Ninik Suparni (2001). Masalah Cyberspace: Problematika Hukum dan
Antisipasi Permasalahannya. Jakarta: Fortuna Mandiri Karya.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
(2007). Penelitian Hukum Normatif : Suatu
Tinjauan Singkat, Ed. 1 Cet.10, Jakarta: Rajawali Press.
Harian Kompas, Kamis, 21 Januari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar