Minggu, 26 Oktober 2014

FILSAFAT PEMIKIRAN MANUSIA ABAD MODERN




BAB I.    PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Filsafat

Filsafat berasal dari dua kata, filo berarti cinta dan sopia berarti bijaksana/ mendalam. Secara sederhana filsafat berarti sebuah keinginan untuk mengetahui kebenaran.  Atau dengan kata lain berfilsafat berarti berpikir secara mendalam, baik melalui Metode Deduktif dan Metode Induktif maupun Metode Dialektik.  Sedangkan tujuan filsafat yang sebenarnya adalah mencari hakikat kebenaran yang berlandaskan pemikiran. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Plato (427 SM – 347 SM) bahwa Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.

Pemikiran menjadi suatu aktifitas yang sentral didalamnya, karena tanpa pemikiran tidaklah mungkin ada kemampuan orang untuk mengubah dan mengembangkan sesuatu menjadi sesuatu yang baru. Lebih dari itu, tanpa pemikiran orang tidak akan pernah sadar akan tujuan hidupnya di dalam kelestarian alamnya. Sehingga metodologi tentang pemikiran dan cara berpikir telah dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu sampai abad sekarang ini.
Pada umumnya kriteria modern adalah apabila ada sesuatu yang baru, lain dari biasanya, berada dan bahkan bertentangan dengan kebiasaan- kebiasaan, tradisi atau adat-istiadat termasuk adat keagamaan. Pendek kata, modern adalah kemapanan-kemapanan sosial yang muncul di masyarakat berupa gerakan atau dinamika yang cenderung meninggalkan hal-hal yang telah dan sedang terjadi menuju ke hal-hal atau keadaan-keadaan yang belum pernah terjadi.

Perkembangan pemikiran ke arah tingkah yang disebut modern itu banyak segi-seginya, yang terbentuk atas pengaruh dari keserba-hubungannya dengan yang lain. Perbedaan alam pemikiran sesama manusia lain, sifat-sifat alam pemikiran dan paham-paham keagamaan, semuanya adalah faktor pembentuk pikiran modern. Karena itu, “Sifat-sifat dan keadaan-keadan alam sekitar” biasanya menjadi fakor menentukan bagi perkembangan budaya berfikir.
Akibat adanya perkembangan pemikiran, maka sejak dimulainya abad modern (1500-1800M) lahirlah tokoh-tokoh filsafat modern dengan aliran-aliran yang dianut masing-masing.

BAB II.    KERANGKA TEORI

A.    Tinjauan Sekilas Awal  Perkembangan Filsafat Abad Modern 
Sejarah pertumbuhan filsafat dimulai di Yunani, dimana cara berpikir filsafat pertama kali dirintis oleh Thales, yang hendak menyelidiki asal usul segala yang ada dari segi kenyataannya. Dia akhirnya berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah air. Diikuti oleh Anaximander, yang mengatakan asal segala sesuatu ialah nous  yang artinya tidak berkesudahan. Sedangkan Phitogoras mengatakan asal segala sesuatu adalah angka dan pokok segala angka adalah satu.

Tetapi filsafat alam itu kemudian dikembalikan oleh Socrates kepada filsafat diri yaitu “Setelah engkau menengadah ke langit, sekarang sudah masanya engkau menilik dirimu sendiri.” Maka ilmu jiwa (psychology) akhirnya muncul dengan ilmu etika. Murid Socrates, Plato menyempurnakan ajaran gurunya. Lalu timbul hasil penyelidikan tentang adanya Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tunggal, Penggerak dari segalanya. Itulah Tuhan.
Maka berkembanglah tinjauan terhadap yang ada itu menurut filsafat, dari waktu ke waktu dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sampai akhirnya disambut oleh filsafat modern yang dirintis oleh Rene Descartes (1596-1650 M)   yang merupakan pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. 

B.    Aliran-Aliran  Filsafat Abad Modern (1500-1800M)
Di zaman modern yakni di tahun 1500an - 1800an telah lahir berbagai pemikiran lain diantaranya Aliran Rasionalisme dan Aliran Empirisme. Lalu kemudian  muncul aliran Kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda tersebut. 

1.    Aliran Rasionalisme 
Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang memegang tampuk pimpinan dalam bentuk “mengerti”. 
Pelopor  dari aliran rasionalisme ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M), dimana dalam   bukunya Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.  

Dengan metode “keragu-raguan”, pemikiran Descartes ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berpikir, sehingga akan tampak dengan segera adanya sebab dari proses berpikir tersebut. Oleh karena itu dari metode keraguan ini, munculah kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum” (I think, therefore I am [karena saya berpikir, maka saya ada]).  Unsur cogito (berpikir) menjadi demikian penting dan mendapat kedudukan yang sangat strategis. Akibatnya, segala sesuatu yang lain yang berada di luar diri manusia baru ada kalau sudah diketahui oleh manusia atas cara yang "jelas dan pasti" (clear and distinct). Sedangkan unsur ego menjadi sangat dominan (sum dalam bahasa latin adalah bentuk singkat dari ego, sum [I am]). Sehingga dapat dimengerti, dalam kritik para filsuf modern antara lain Emanuel Levinas, Rene Descartes telah dituduh membangun   egologi  yaitu  filsafat  yang  bertolak  dari  ego  dan  berpikir  pada ego.  

Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) Realitas pikiran (res cogitan), (2) Realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).  Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.  Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Tokoh-tokoh lain dari paham rasionalisme ini adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Leibniz (1646-1716).

2    Aliran Empirisme 
Lawan rasionalisme adalah empirisme, yakni bukan budi yang menjadi  sumber dan pangkal pengetahuan, melainkan indra atau pengalamanlah yang jadi pangkal pengetahuan. Aliran empirisme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Kebalikan dari kaum rasionalis, kaum empiris mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia itu putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan idea innate tersebut.   

3    Aliran  Kritisisme 
Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosof berkebangsaan Jerman mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme. Dia mengatakan masing-masing aliran itu mitra kedaulatan, tetapi jika masing-masing mengklaim benar, maka akan menemui kesulitannya sendiri.

Menurut Kant, benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.  Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.  Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang".  Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.

Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat yang kemudian lahir dimasa selanjutnya sampai masa kini (1800-sekarang ini).
       
BAB III.    KESIMPULAN 
Dari uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Filsafat yang merupakan  pengetahuan tentang segala yang ada serta ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli, dengan menggunakan bermacam-macam metodologi tentang pemikirannya, telah dilakukan oleh manusia sejak abad Sebelum  Masehi sampai Sesudah Masehi yaitu abad modern sampai abad sekarang ini.

Perkembangan pemikiran filsafat pada abad modern (1500-1800 M) disambut oleh Rene Descartes (1596-1650 M)   yang merupakan pelopor kaum Rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Namun pendapat Descartes ini dilawan dengan hadirnya aliran Empirisme yang dibawa oleh David Hume (1711-1776 M) yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.

Pada akhirnya muncul aliran kritisisme, yang dibawa oleh Immanuel Kant (1724-1804 M) yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda tersebut, serta akhirnya meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat yang kemudian lahir dimasa selanjutnya sampai masa kini (1800-sekarang ini).



DAFTAR  PUSTAKA
1.    Artikel Islam, Filsafat Dalam Tinjauan Al Quran, Sunday, 20 March 2005
webmaster@kafemuslimah.com
2.    Redjeki S., Transparansi Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Modern I, BAB.I, jbptgunadarma-gdl-course-2005-timpengaja-210-transpar-i.doc.
3.    Suparlan S., Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2005, 15-69.
4.    Antonius H.W., Ikhtisar Sejarah Pemikiran Filsafat (2):  Jurus-jurus Kajian Rasional. BAB.5.doc
5.    Redjeki S., Satuan Acara Perkuliahan, Mata Kuliah Sejarah  Pemikiran Modern  2,  Fakultas :  Sastra /  Jurusan  Sastra  Inggris, Universitas Gunadarma.
KD-061202.doc
6.    Wisok, J.P., Memandang Lingkungan Secara Dialektis. http://www.pikiran-rakyat.com/ Kamis, 18 Nopember 2004



Tidak ada komentar:

Posting Komentar