DEMOKRASI ONE MAN ONE VOTE ? |
DEMOKRASI jangan hanya berpandangan identik dengan Pemilu dan Pilkada saja. Sesungguhnya bicara demokrasi tidak terlepas adanya popular control yaitu kontrol masyarakat terhadap setiap kebijakan dan pekerjaan pemerintah. Karena relevansi dari demokrasi adalah terwujudnya welfare / kesejahteraan. Dalam negara berdemokrasi rakyat harus memiliki akses untuk dapat mengontrol terhadap resource dan kesanggupan pemerintah negara untuk dapat memenuhi public goods yang merupakan nilai-nilai dasar kebutuhan citizenship / warga negara. Karena memang tujuan dibentuknya suatu negara adalah untuk menjamin ketersediaan resource dan welfare bagi warga negaranya.
Demokrasi bukan merupakan goal, tetapi
hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Pemilu dan Pilkada dengan
sistem one man one vote tidaklah dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan
demokrasi di Indonesia. Apalagi dengan pelaksanaannya yang penuh dengan
kecurangan dan politik uang. Sistem one man one vote juga tidak dapat
dikatakan sebagai sikap yang demokrasi karena bagaimana mayoritarian
dapat menguasai minoritas, dan tidak adanya tempat dan terwakili bagi
minoritas. Sistem ini sungguh tidak sesuai dengan demokrasi ideologi
Pancasila yang bercirikan kolektif dalam musyawarah mufakat. Sehingga
apabila selama ini pemerintah telah berulang kali menyatakan
keberhasilan pelaksanaan demokrasi melalui Pemilu dan Pilkada sebenarnya
merupakan pengerdilan terhadap demokrasi itu sendiri.
Demokrasi berupa proseduralis dan substantif, tetapi dalam kenyataannya sistem demokrasi di Indonesia baru bersifat proseduralis. Sedangkan substantifnya masih jauh dari yang diharapkan. Di dalam demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, adanya informasi yang menyangkut kebijakan yang dijalankan pemerintah merupakan hal yang sangat penting. Dari Informasi maka memungkinkan adanya popular control atau ikut sertanya rakyat dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Popular control itulah sebenarnya hakekat demokrasi yang sesungguhnya.
Saat ini pemerintah hanya mengejar predikat “Negara Paling Demokratis se-Dunia”. Penilaian itu dianggapnya sebagai prestasi yang gemilang di dunia. Tapi sesungguhnya Pemilu yang diselenggarakan masih hanya sebatas procedural, seperti disebutkan di atas. Apakah hasilnya benar-benar demokratis? Dengan memaksakan sistem Pemilu saat ini (Nasional dan Daerah) banyak hal yang menjadi kosekwensi. Misalnya masalah dana; dana untuk pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per Pemilihan Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 Triliun.
Berdasarkan data hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi. Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 Pilkada, atau minimal rata-rata 44 Pilkada per tahun, atau sekiar 1 Pilkada per Minggu.
Ini merupakan data yang luar biasa. Betapa mahal dan lelahnya demokrasi di Indonesia. Masyarakat sesungguhnya lelah politik akibat prosedural demokrasi yang diterapkan. Energi masyarakat dan negara habis tersita hanya untuk mengejar predikat negara paling demokratis se-dunia. Lebih mengecewakan lagi Pemilu itu hanya menghasilkan pejabat-pejabat aktor korupsi yang justru menderitakan rakyat. Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus
Belum lagi dampak konflik horizontal yang diakibatkan Pemilu di berbagai daerah. Kerugian jiwa dan harta begitu besar. Aparat pun lelah terkuras energinya hanya untuk menanggulangi bentrokan dan demonstrasi yang tiada habisnya. Apakah demokrasi ini yang kita harapkan. Pasti ada yang salah dengan demokrasi dan sistem Pemilu kita.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar