Sabtu, 01 Maret 2014

TINGKATKAN MUTU CALEG DAN PEMILU

BALIHO CALEG


Sebentar lagi Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Partai-partai telah mempersiapkan diri untuk pemenangan diri. Begitu juga para Caleg (Calon Legislatif). Hingar-bingar politik sudah mulai memanas, manuver terus dilakukan. Segala cara dan strategi dikerahkan. Jalan-jalan dan persimpangan jalan telah penuh dengan baliho, poster-poster gambar calon yang entah berantah siapa itu, yang sesungguhnya tidak pernah dikenal sebelumnya. Sampah visual itu telah merubah wajah kota menjadi kumuh. Apa ini cara yang memang harus ditempuh dan efektif untuk berkampanye?

Kita mencintai negeri ini dan berharap NKRI yang besar ini dikelola oleh aktor-aktor yang profesional dan memahami benar permasalahan bangsa. Bukan ditentukan oleh kebijakan anak-anak ingusan dan amatiran. Hak untuk memilih dan dipilih adalah hak setiap warga negara dan dilindungi oleh konstitusi. Tidak ada salahnya siapapun dan dari latar belakang apapun mencalonkan diri sebagai  Calon Legislatif dan pemimpin bangsa ini.

Tetapi sayangnya saat ini sudah sedikit orang yang bisa tau diri, bisa mengukur diri dan punya rasa malu. Mereka berebut mendaftarkan diri sebagai Caleg tanpa mampu mengukur kemampuan dan kelayakan diri. Dianggapnya Pemilu sebagai bahan coba-coba dan lelucon saja. Tidak memiliki misi dan visi yang jelas dan terukur. Baleho dan poster yang dipasang justru hanya memamerkan kegantengan dan kecantikan saja, tidak mengedepankan penjelasan misi dan visi mereka sebagai Caleg.

Kampanye yang dilakukan hanya berupa pembodohan demokrasi bagi masyarakat. Mereka melakukan kampanye hanya mengandalkan kekuatan finansial. Tidak menunjukkan kecerdasan dan kemampuan akademis, kompetensi dan integritas. Lihat saja Celeg yang kampanyenya membagi 1000 pakaian dalem wanita, membagi kalender, sembako, stiker, kaos, uang dll. Hanya sebatas itu yang dilakukan, tidak ada pencerahan pembelajaran berpolitik bagi masyarakat. Perbuatan mereka sesungguhnya merupakan bentuk pelecehan berpolitik, dengan menukarkan satu suara hanya dengan sepasang celana dalam wanita atau selembar uang Rp. 50.000,-.

Ada suatu kampung Caleg. Kenapa disebut kampung Caleg? Ternyata di kampung itu ada sekitar 52 warga yang ikut sebagai Caleg. Setiap sudut kampung berjubel baleho dan poster mereka. Siapa sebenarnya mereka? Sebagian besar adalah baru lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan, sebagian kecil lagi para pensiunan. Jadi bagi mereka Caleg dan Pemilu hanyalah sebagai ajang untuk mencari pekerjaan. Tetapi bagi yang sudah banyak harta, Caleg hanyalah untuk mencari popularitas, kesenangan dan kekuasaan.

Persaingan yang begitu kuat, apalagi dengan sistem terbuka ini membuat Caleg frustasi. Mereka mulai kehabisan akal untuk menggaet suara. Akhirnya keluarlah ide yang aneh-aneh (nyleneh). Lihatlah poster Caleg dengan kostum Supermen, pemain bola, bergambar Obama atau bagi yang tidak punya modal membentuk kelompok Caleg Miskin :-D (maaf saya geli sendiri)…. Bahkan saking frustasinya sampai di baleho malah diberi tulisan “Jangan Dipilih Calon Dibawah ini”  :-D. Mereka hanya beranggapan Pemilu sebagai lelucon belaka. Lihat banyak dari mereka apabila diwawancarai alasannya hanya coba-coba dan baru belajar politik.

Slogan-slogan untuk memajukan, mensejahterakan dan mewakili rakyat hanyalah kamuflase saja. Menjual atas nama rakyat yang sesungguhnya hanya untuk kepentingan kesejahteraan diri sendiri atau ambisi kekuasaan pribadi. Biaya ratusan juta, miliaran rupiah dipertaruhkan untuk mencapai ambisinya di Pemilu untuk mengemis suara. Bagi Caleg yang berhasil akan tombok, apalagi yang kalah bisa stress berat dan gila karena banyak menanggung hutang. 

Mereka setelah jadi hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uangnya kembali seperti prinsip dagang sapi. Bukan mewakili rakyat tetapi sesungguhnya hanya mewakili kepentingan Partai Politik pengusungnya, karena balas jasa mereka dan kesediaannya dijadikan sapi perahan Partainya.

Padahal apa mereka berfikir sebelumnya bahwa menjadi anggota Legislatif itu sangat barat tugas dan fungsinya. Beban nasib ribuan dan juataan rakyat ada di pundaknya. Fungsi Legislatif sebagai Legislator (pembuat undang-undang), Bugeting (penganggaran) dan Pengawasan. Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan oleh orang-orang professional, berpengalaman dan paham benar bidang kerja mereka. Dibutuhkan orang-orang yang memiliki kapabilitas, integritas, intelektual dan bijaksana.  Bagaimana jadinya kalau seorang Legislator menjalankan pekerjaannya kalau selama hidupnya tidak pernah membaca satu pasal pun perundang-undangan? Caleg memiliki misi mewakili suara masyarakat di parlemen tentu dengan ilmu. Mereka dari latar belakang yang entah berantah; artis, pengusaha dll. banyak yang berdalih baru belajar berpolitik ketika menjadi Caleg. Rendahnya mutu anggota Legislatif berakibat buruk bagi kinerja mereka. Tidak heran tugas dan fungsi mereka terbengkalai karena sebenarnya mereka tidak tau dan paham apa yang harus mereka buat selama menjadi anggota Legislatif. Rancangan undang-undang menumpuk dan jauh dari target. Kalaupun jadi produknya amburadul yang justru membuat kacau pelaksanaannya. Banyaknya anggota mangkir dalam rapat dan rendahnya absensi kehadiran. Atau yang lebih parah lagi justru perilaku mereka tidak menunjukkan sikap dewan yang terhormat; tidur saat sidang, terlibat kasus kriminal, narkoba, perselingkuhan, perceraian dan korupsi. Kurangnya ilmu pengetahuan dan akademis hanya menghasilkan debat-debat kusir, saling ngotot dan tindakan arogansi, kebrutalan dan kekerasan dalam rapat parlemen. Lebih parah lagi mereka lebih suka memikirkan dan membahas kenaikan gaji, fasilitas dan tunjangan yang akan didapat.

Korupsi adalah perilaku yang buruk yang paling sering dilakukan. Ada dua analisis kenapa mereka setelah terpilih menjadi anggota Legislatif terlibat korupsi; pertama: karena mereka cerdas dan pintar dengan memanfaatkan celah aturan, kebijakan dan hukum. Kedua, karena bodoh. Kelompok ke dua ini kebanyakan dilakukan oleh mereka anggota-anggota amatir yang sebenarnya tidak tau apa-apa soal penganggaran. Bisanya hanya ikut-ikutan yang lain, akhirnya dimanfaatkan dan terjebak dalam kasus korupsi. Politik dan korusi bagai pusaran yang akan menarik orang-orang sekitarnya, khususnya orang-orang yang lugu, polos dan dungu. Mereka tidak tau dan sadar pelan tapi pasti masuk dalam pusaran. Caleg baru biasanya akan idealis dan sok bersih, tetapi setelah menjabat mereka tidak sadar masuk pusaran korupsi itu. Mereka baru sadar setelah semua terlambat dan berakir di penjara.

Begitulah sebenarnya akhir nasib para Caleg; pertama, apabila kalah maka dia berakhir di rumah sakit jiwa karena stress menanggung  banyak hutang. Kedua, apabila jadi mereka dijadikan sapi perahan Partai dan berakhir di bui / penjara.

Maka tidak heran apabila Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Oleh karena itu Mahfud MD. menyebut negara Indonesia saat ini dalam keadaan Bahaya. Bagaiman negara Indonesia tidak akan ambruk apabila hampir seluruh pejabat-pejabatnya korupsi. Bagaimana nasib rakyat kita…

Pembodohan politik dan negara yang dipimpin oleh anak-anak ingusan dan amatiran akan membawa negara ini kearah yang tidak jelas, bahkan mungkin saja justru menjerumuskan dalam kehancuran. Itu karena Caleg-Caleg yang tidak tau diri, tidak bisa mengukur diri dan tidak punya rasa malu. Masyarakat hanya disuguhkan oleh calon-calon yang memang tidak ada yang lain dapat dipilih. Masyarakat terpaksa memilih kucing dalam karung, yang sejatinya itu sangat menentukan nasibnya sendiri dan bangsanya. Kisah 1000 pakaian dalam wanita dan uang Rp. 50.000,- akan menjadi sejarah perpolitikan di negeri ini. Akankah hanya sebatas itu nilai demokrasi kita.

Kondisi rendahnya kwalitas Caleg diperparah dengan amburadulnya sistem Pemilu kita. Indonesia sudah berkali-kali menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955. Sistem berganti-ganti tanpa henti. Lihat uji materi Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di MK (Mahkamah Konstitusi) baru-baru ini. Uji materi Pemilu itu menunjukkan masih adanya keresahan dalam pelaksanaannya.

Bicara Pemilu berarti berbicara masalah demokrasi. Demokrasi jangan hanya berpandangan identik dengan Pemilu dan Pilkada saja. Sesungguhnya bicara demokrasi tidak terlepas adanya popular control yaitu kontrol masyarakat terhadap setiap kebijakan dan pekerjaan pemerintah. Karena relevansi dari demokrasi adalah terwujudnya welfare / kesejahteraan. Dalam negara berdemokrasi rakyat harus memiliki akses untuk dapat mengontrol terhadap resource dan kesanggupan pemerintah negara untuk dapat memenuhi public goods yang merupakan nilai-nilai dasar kebutuhan citizenship / warga negara. Karena memang tujuan dibentuknya suatu negara adalah untuk menjamin ketersediaan resource dan welfare bagi warga negaranya. Demokrasi bukan merupakan goal, tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Pemilu dan Pilkada dengan sistem one man one vote tidaklah dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi di Indonesia. Apalagi dengan pelaksanaannya yang penuh dengan kecurangan dan politik uang. Sistem one man one vote juga tidak dapat dikatakan sebagai sikap yang demokrasi karena bagaimana mayoritarian dapat menguasai minoritas, dan tidak adanya tempat dan terwakili bagi minoritas. Sistem ini sungguh tidak sesuai dengan demokrasi ideologi Pancasila yang bercirikan kolektif dalam musyawarah mufakat. Sehingga apabila selama ini pemerintah telah berulang kali menyatakan keberhasilan pelaksanaan demokrasi melalui Pemilu dan Pilkada sebenarnya merupakan pengerdilan terhadap demokrasi itu sendiri.

Demokrasi berupa proseduralis dan substantif, tetapi dalam kenyataannya sistem demokrasi di Indonesia baru bersifat proseduralis. Sedangkan substantifnya masih jauh dari yang diharapkan. Di dalam demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, adanya informasi yang menyangkut kebijakan yang dijalankan pemerintah merupakan hal yang sangat penting. Dari Informasi maka memungkinkan adanya popular control atau ikut sertanya rakyat dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Popular control itulah sebenarnya hakekat demokrasi yang sesungguhnya. 

Saat ini pemerintah hanya mengejar predikat “Negara Paling Demokratis se-Dunia”. Penilaian itu dianggapnya sebagai prestasi yang gemilang di dunia. Tapi sesungguhnya Pemilu yang diselenggarakan masih hanya sebatas procedural, seperti disebutkan di atas. Apakah hasilnya benar-benar demokratis? Dengan memaksakan sistem Pemilu saat ini (Nasional dan Daerah) banyak hal yang menjadi kosekwensi. Misalnya masalah dana; dana untuk pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per Pemilihan Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 Triliun. 
Berdasarkan data hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi. Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 Pilkada, atau minimal rata-rata 44 Pilkada per tahun, atau sekiar 1 Pilkada per Minggu. 
Ini merupakan data yang luar biasa. Betapa mahal dan lelahnya demokrasi di Indonesia. Masyarakat sesungguhnya lelah politik akibat prosedural demokrasi yang diterapkan. Energi masyarakat dan negara habis tersita hanya untuk mengejar predikat negara paling demokratis se-dunia. Lebih mengecewakan lagi Pemilu itu hanya menghasilkan pejabat-pejabat aktor korupsi yang justru menderitakan rakyat. Belum lagi dampak konflik horizontal yang diakibatkan Pemilu di berbagai daerah. Kerugian jiwa dan harta begitu besar. Aparat pun lelah terkuras energinya hanya untuk menanggulangi bentrokan dan demonstrasi yang tiada habisnya. Apakah demokrasi ini yang kita harapkan. Pasti ada yang salah dengan demokrasi dan sistem Pemilu kita.
Sebagai penutup sebentar lagi Pemilu 2014 dilaksanakan, masyarakat hendaknya cerdas dalam memilih Calon-Calon Legislatifnya. Pilih yang memiliki kapabilitas, integritas, intelektual dan moral yang baik. Jangan tukar nasib rakyat dan bangsa ini hanya dengan sepasang pakaian dalam wanita atau selembar Rp. 50.000,-. Jangan biarkan bangsa Indonesia yang kita cintai ini hancur akibat dipimpin oleh orang-orang ingusan dan amatiran itu.

REKOMENDASI
 
Dari keresahan tersebut diatas maka rekomendasi yang dapat diberikan: 
1.  Untuk para Caleg agar bisa tau diri, mengukur kemampuan diri dan punya rasa malu. Menjadi seorang anggota Legislatif tidak main-main, karena disitulah kebijakan yang menentukan nasib ribuan dan jutaan rakyat Indonesia 
2.  Buat persyaratan yang jauh lebih ketat terhadap pendaftaran Caleg dari segi kapabilitas,  integritas, akademik dan moral. 
3. Buat aturan kampanye yang lebih cerdas dan tindakan sanksi yang tegas bagi yang melanggar 
4.  Beri pembelajaran politik bagi masyarakat melalui pembinaan, penyuluhan dan peran serta. 
5.  Perlu dikaji lagi efektivitas sistem Pemilu, khususnya untuk Pemilukada. 
6.  Pembatasan jumlah Partai Politik peserta Pemilu melalui persyaratan yang lebih ketat. Ideal 2-5 Partai saja peserta pemilu.



(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar