Indonesia
sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan
memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta
kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik
yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan
bangsa dan Negara Indonesia.
Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah
satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara.
Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara
serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai klaim kepemilikan atas pulau Sipadan dan
pulau Ligitan.
Kalau dilihat dari dimensinya, konflik
Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional
sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat
dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang
menjajah Malaysia dan
Belanda yang menjajah Indonesia,
menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah
jajahannya. Itulah yang kemudian membuat sengketa itu berkembang, menurun
kepada negara yang mewarisi tanah bekas jajahan tersebut.
Dalam konteks modern, sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu
negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Negara modern selalu
berupaya mencari tambahan penghasilan nasional melalui eksplorasi sumber daya
alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia
dan Indonesia
ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di dua
pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya.
Didorong oleh potensi tersebut, Malaysia
membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.
Keputusan Mahkamah Internasional
Putusan Mahkamah Internasional (MI) atau International
Court of Justice (ICJ) tanggal 17 Desember 2002 yang telah mengakhiri rangkaian
persidangan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena
keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu
orang yang berpihak kepada Indonesia.
Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah
khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya
kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan
kepedulian terhadap tanah air.
Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri
MI yang terlibat, dengan alasan “effective occupation” sepakat menyatakan
bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua
pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah
membangun beberapa sarana dan prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Sia-sialah perjuangan Indonesia selama kurun waktu yang
panjang kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah yurisdiksi
kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam
memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah pemerintah
kurang serius memperjuangkan atas kepemilikan dua pulau yang sangat penting
bagi eksistensi NKRI tersebut ?
Pemantapan Implementasi Wawasan
Nusantara
Dari rangkaian
panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan Mahkamah Internasional sudah final
dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan
tersebut. Tidak patut lagi “kekalahan” ini harus diratapi, yang terpenting
bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi
untuk ketiga kalinya.
Implementasi atau penerapan wawasan
nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang
senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan
pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola
yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi
berbagai masalah menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara senantiasa
berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan
menyeluruh.
Seringkali
terjadi suatu ”attention disorder”
dalam pola pikir pemerintah dalam usaha mengimplementasikan wawasan nusantara.
Proses ”menegara”, atau khususnya pada pembahasan integrasi nasional, bukan
saja dilakukan dengan cara membangun pos-pos pengaman di berbagai daerah
perbatasan atau wilayah pulau terluar. Apa yang perlu dipahami di sini adalah
bagaimana peran aparat pengaman, seperti TNI misalnya, dalam memelihara
integrasi nasional hanyalah berfungsi sebagai striking force murni. Tidak dapat dinafikan begitu saja bahwa
pembangunan dan pemeliharaan pos pengaman integritas itu memiliki peran
penting, tetapi guna lebih menyadarkan masyarakat luas terhadap integritas
wilayah NKRI, sangat perlu untuk kembali memberikan pemahaman tentang wawasan
nusantara kepada segenap elemen bangsa Indonesia. Kemampuan ketahanan nasional
(national surveillance capability) ssesungguhnya
terletak pada kuatnya jejaring pengaman ketahanan (surveillance networking) yang dibentuk yang melibatkan seluruh
elemen masyarakat Indonesia (Soehoed, 2004:50).
Jejaring
ketahanan harus dimulai dari pemberdayaan masyarakat luas (society empowerment) tentang pemahaman wawasan nusantara, yang
bukan hanya dipandang sebagai konsep, melainkan diwujudkan secara implementatif
melalui pemberdayaan-pemberdayaan, seperti halnya pemberdayaan ekonomi, sosial,
budaya, atau segala hal yang berhubungan dengan konsep ketahanan yang
mengerucut pada astagatra (Lemhannas, tanpa tasun). Seringkali para pemegang
tampuk wewenang pengambil kebijakan (pusat, khususnya) lupa bahwa kebijakan
yang populis bagi masyarakat daerah tidak terdistribusi dengan baik, terutama
dalam hal ini bagi masyarakat di daerah perbatasan dan wilayah pulau terluar.
Hal tersebut
dapat dilihat secara riil bagaimana pola pembangunan di daerah perbatasan dan
wilayah pulau terluar terjadi. Pendidikan, kesejahteraan, penghargaan atas
budaya daerah belum tampak direalisasikan sebagai agenda pembangunan dan
pemerataan kesejahteraan. Ironisnya, justru negara tetangga lah yang paham
dengan baik bagaimana daerah perbatasan tersebut memiliki pesona potensi
multiaspek yang tinggi. Justru dengan pemanfaatan wilayah yang profesional
tersebut pada akhirnya Malaysia dengan gemilang mendapatkan dua pulau penuh
pesona tersebut, sekaligus menunjukkan kepada mata internasional bahwa dokumen
hukum sebagai peninggalan sejarah Indonesia atas kepemilikan Pulau Sipadan dan
Ligitan dengan serta merta dapat disangkal dengan pendayagunaan atas wilayah
dan kemanusiaan, seperti apa yang disebut dengan effective ocupation.
Penutup
Apabila
sekali lagi mempertanyakan, siapa yang harus bertanggung jawab atas lepasnya
dua pulau penting, yakni Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan? Secara sepihak,
sebagai Warga Negara Indonesia (yang baik?), muncul sebuah opini bahwa Malaysia
lah yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut. Atau kah warga dua pulau
tersebut mengalami krisis nasionalisme, sehingga dengan mudah mereka
mengafirmasi klaim Malaysia atas kepemilikan dua pulau tersebut, karena
bagaimanapun juga ”seharusnya” mereka menerima kebijakan-kebijakan pusat yang
(mungkin) tidak mengakomodasi kesejahteraan mereka, dan karena nasionalisme
adalah cerminan atas jargon ”right or
wrong is my country (lord)?”.
Apabila
harus berandai-andai, mungkin pihak Malaysia akan menjawab bahwa dirinya pada
dasarnya memiliki tanggung jawab untuk menghidupi atau menyalurkan
kesejahteraan sekaligus memanfaatkan potensi yang ada di dua pulau yang
dimilikinya (yakni Sipadan dan Ligitan), karena dua pulau tersebut berada di
daerah teritorialnya. Mengutip JB. Mangunwijaya, nasionalisme bukan lah
sejauhmana dapat menghafal lagu kebangsaan, menghafal jargon-jargon kebangsaan,
atau menerima begitusaja doktrin-doktrin kebangsaan. Nasionalisme tercipta
karena adanya hubungan interrelasional atas kesamaan tujuan, kesamaan rasa
kepemilikan, dan berbagai macam rasa kepemilikan yang lain (Mangunwijaya,
1995:30). Atas dasar konsepsi nasionalisme tersebut apakah lepasnya Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan sepenuhnya kesalahan warga masyarakat setempat?
Lantas
apakah hal ini merupakan kesalahan bangsa kita sendiri, terutama tanggung jawab
pemerintah? Sebagai negara yang besar, sebagai bangsa ksatria, mengakui
kesalahan sebagai nota pembelajaran untuk kehidupan lebih baik adalah
prasyarat. Konsep negara yang mendikotomikan anatara ”pusat” dan ”periphery”
adalah naif. Bagaimanapun juga, baik secara konstitusi maupun segi teleologis
terjabarkan bahwa Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk
republik. Pemeliharaan atas konsep integralistik Negara ini harus dibumikan
kepada warga masyarakat luas, dengan cara; Negara mengajak partisipasi warga
masyarakat dengan penuh kepercayaan, yakni dengan memberikan kesejahteraan
dengan seadil-adilnya, sesuai apa yang diamanatkan oleh Pancasila dan
konstitusi UUD’45.
Kejadian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan harus dipahami sebagai wahana instropeksi untuk kesatuan nusantara di
masa depan, dengan memberdayakan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, termasuk
memberikan penghargaan segala hal yang dimiliki warga masyarakat perbatasan.
Apabila daerah-daerah tersebut dipelihara sebagai kekayaan, dan bukan sebagai
hal yang marjinal, niscaya persatuan dan kesatuan yang tertuan dari filsafat
kenusantaraan akan tercipta dan terjaga secara abadi.
Daftar Pustaka
Lemhannas, Tanpa Tahun, Materi Pokok Geostrategi dan Tannas, tidak
Diterbitkan.
Mangunwijaya, YB., 1995, Gerundelan Orang Republik,
Pustaka pelajar;
Jakarta.
Mayasari, Mieke, 2005, Persengketaan Daerah Perbatasan di
Wilayah Ambalat
Kaitannya Dengan Konsep dan Implementasi Wawasan Nusantara,
tidak diterbitkan;
makalah.
Purwanegara, Dani, 2009, Handout
Kuliah Teori Wawasan Nusantara, tidak
diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar