PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Permasalahan
korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah
sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah
merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang
telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum
elite.
Banyak
kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah
satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan
IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua
orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal
yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang
pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp.
25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi?
Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak
(banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak.
Mengingat gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara
Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang
Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan
masyarakat banyak.
Seperti
yang telah diberitakan oleh berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai
mencuat ketika disebutkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai
seseorang yang berkaitan erat dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus
memiliki Rp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita
negara. Sisanya Rp 24,6 miliar menguap entah ke mana. Susno mengutarakan
bahwa ada keterlibatan dari tubuh Polri sendiri dalam kasus manipulasi
pengusutan pajak.
Gayus kemudian dituntut kepolisian dengan tiga pasal,
yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun pada persidangan
itu Gayus hanya dituntut dengan pasal penggelapan, divonis oleh hakim dengan
hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan. Terdapat berbagai kejanggalan
di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman hukuman yang ternyata
lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang hanya
berupa tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran persidangan yang
dilakukan di hari Jumat, di Pengadilan Negeri Tangerang,
yang biasanya tidak digelar persidangan pidana.
Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam.
Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan
Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus
banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk
memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih
pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak
Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu
Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain
kurs Rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil
manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627
ribu
Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan dijerat pasal berlapis yakni korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan, entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak masuk akal.
Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan dijerat pasal berlapis yakni korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan, entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak masuk akal.
Perkembangan dari penanganan kasus korupsi Gayus Tambunan semakin membuat masyarakat
jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi seolah-olah memiliki kuasa
sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Terakhir, dia kembali
mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum, yaitu kepolisian hanya
menjeratnya dengan pasal gratifikasi, di mana dia hanya dapat dihukum maksimal
3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara yang pernah ada, seseorang yang
terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal ini kemudian
menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum dalam
menangani kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang mendesak agar
kasus Gayus ditangai oleh KPK. Akan tetapi, Presiden SBY sendiri tetap
menegaskan bahwa kasus Gayus tetap ditangai oleh Polisi. Padahal, telah jelas
terlihat bahwa Kepolisian sendiri tidak serius dalam menangani kasus korupsi
Gayus sehingga menyebabkan kasus ini tidak menemui ujungnya.
Hal
ini kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua. Ada apa dengan negeri
ini? Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan bersemayam di tubuh semua
lembaga, bahkan di lembaga yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memberantas
korupsi itu sendiri. Ini menjadi tantangan bagi bangsa dan Negara dalam
mengatur dan menata kehidupannya.
PEMBAHASAN
Korupsi
tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana
ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan
itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi.
Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang,
merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari
Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely.
Terdapat
sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan.
Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik
maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik,
korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral,
semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di
Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan
suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan
korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut.
Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah.
Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan
yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan
kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang
di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009: 1)
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Mengacu pada kasus
korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan
oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan
wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak,
memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi
yang demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu
kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri.
Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran
dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai
Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007
Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan
dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam
pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan
banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3
Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus
memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch
(ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat
menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut
menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu.
Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan
tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari
sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia
memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi
kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan
pribadi tetap membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang
seharusnya kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan
mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa
Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian
uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau
memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima
aliran duit sebesar Rp 370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama
Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus Tambunan.
Korupsi
dimulai dari penguasa.
Kaitan
tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha,
secara sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut: penguasa dapat memberikan
akses kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang
merugikan konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan,
dan bagian keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses
tadi, yaitu penguasa.
Ada
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah
korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering
disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi
secara tertutup (idak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar
(pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun
politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest
group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi
yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau
tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya
persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk
dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum seorah-olah telah dipegang oleh
tangan-tangan tertentu.
Sistem korporatisme akan menimbulkan
ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Dalam prakteknya,
korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram lainnya yang
disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para
elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam
prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat
publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak
“koruptif”. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas pada masa Orde Baru,
yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang hanya dinikmati segelintir
orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto) dan terdapat
praktek monopoli dalam produksi (Agus Suradika, op cit., h.7)
Seperti yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi nepotistik).
Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh, seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung (Muhammad Mustofa, 2010: ix)
Seperti yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi nepotistik).
Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh, seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung (Muhammad Mustofa, 2010: ix)
Pola
seperti ini memang memiliki manfaat yang baik. Konsep keluarga besar ini
tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme yang memiliki potensi untuk mengatasi
masalah sosial, seperti pengengguran dan kemiskinan. Namun begitu, konsep
keluarga besar seperti ini juga memiiki potensi yang tak kalah kuatnya untuk
mendorong ke situasi yang kondusif bagi dilakukannya tindakan penyimpangan.
Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab yang diemban untuk saling membantu
anggota keluarga yang sedang susah, seseorang berada pada titik di mana dia
harus memberikan bantuan materil (terkadang pemberian pekerjaan). Keadaan
seperti ini sama saja dengan “lebih besar pasak dari pada tiangnya”
sehingga individu tersebut harus mencari tambahan penghasilan untuk menutupi
kekurangan tersebut. Hal ini lah yang kemudian menyebabkan individu sering
melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan jalan
yang tidak sah, misalnya korupsi (Ibid., h.x)
Korupsi merupakan white-collar crime
Merujuk
kepada pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi
Gayus Tambunan sangat dapat dilihat dari analisis ini.
Yang
pertama sekali harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa
jadi ini dapat menimbulkan pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan
yang hanyalah seorang pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu,
penulis lebih menekankan pengertian white-collar ini sebagai istilah
yang memiliki makna pada awal kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar
yang menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam
pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para
asistennya. Dari sini, Gayus termasuk dalam kategori yang dimaksudkan.
Tipologi dari white-collar
crime yang dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational
criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini
kemudian dibagi menjadi lima tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran
individu sebgai individu, 2) pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3)
pelanggaran pejabat pembuat keibjakan untuk kepentingan umum, 4) pelanggaran
agen korporasi terhadap kepentingan umum, dan 5) pelanggaran oleh pedagan
terhadap konsumen (Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 26)
Kejahatan korupsi adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh
individu sebagai individu, atau pegawai terhadap majikannya (kasus
penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus,
tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai
individu demi keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya
dugaan keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para
petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Gayus (makelar kasus)
sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh organisasi, dalam
bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan melindungi, serta
melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe 4
yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan
oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu;
pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum.
Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus untuk mempermudah
prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak kepolisian untuk
menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
Prof. Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland, berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam different association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi (Muhammad Mustofa, 2010: 43).
Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different association dapat dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika Online, Gayus semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang spektakuler. Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).
Prof. Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland, berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam different association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi (Muhammad Mustofa, 2010: 43).
Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different association dapat dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika Online, Gayus semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang spektakuler. Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).
Tidak hanya kepada
Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang bekerja sama
dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku
bisnis, sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman,
belajar di lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang
memaknai kegiatan mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar
ini, pelanggaran hukum telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka
terisolasi dari pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka
lakukan adalah salah.
Adanya faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia, wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka emban.
Adanya faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia, wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka emban.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Korupsi
adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan
pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara
dan masyarakat.
Korupsi
pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua
kalangan di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus
Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan
atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang
strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
Korupsi juga dapat terjadi karena
kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Ketika di
dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi konsep keluarga
besar menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit dalam
menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat
menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum.
Individu yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab
dan rasa malu di dalam diri pelakunya.
Korupsi juga tidak datang begitu
saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu tindakan melanggara
hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different
association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari
ketika seseorang mulai belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari
keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa mendapatkan
keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan
pelangaran hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan.
Selain itu, semakin bertambahnya anggota yang memiliki paham yang sama tentang
keuntungan tersebut, menjadikan korupsi sebagai lahan untuk mencari uang
sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan kejahatan korporasi.
S a r a n
Semua
faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan:
korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung
jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu,
meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran
seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara
yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini.
Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan
demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja
demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
B u k u
Mustofa,
Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola
White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika,
Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan
Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan,
diakses tanggal 7 Desember, 2010
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar