Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235
kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di
dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan
eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak.
a. Ambalat
Media biasa sebut sebagai Ambalat ini adalah
sebagian blok Nunukan (11), seluruh blok Bukat (12), blok Ambalat (13), blok
Ambalat Timur (14), blok ND-6 (15) & blok ND-7 (16). Penggunaan istilah ini
memang dari awal cukup rancu.
Ambalat pada dasarnya hanya menunjuk kepada blok yg
bernomor 13 & 14 pada peta terlampir, namun dalam perkembangannya, yang
dinamakan kawasan Ambalat adalah blok Ambalat itu sendiri dan seluruh blok
lainnya yg mengelilinginya. Terbentuknya istilah semacam ini secara alami dapat
kita amati sejak 2005, dimana konflik antar kapal perang yang terjadi di
sekitar Karang Unarang pada waktu itu disebutkan terjadi di Ambalat. Dengan
demikian, Karang Unarang dalam pandangan umum dianggap sebagai bagian dari
Ambalat.
b. Karang Unarang
1) Posisi : Latitude 04º 00'
32" North; Longitude 118º 04' 56" East; Sebelah tenggara Sebatik Indonesia.
2) Terletak didalam laut
teritorial Indonesia 12 mil : Jarak terdekat Karang Unarang dengan daratan
Indonesia, adalah ± 9,5 mil (09' 36"). Yaitu dari garis air rendah Tg.
Batu pantai selatan Sebatik.
3) Karang Unarang adalah Low Tide Elevation yang terletak
diatas suatu gosong yang kedalamannya sekitar 35 meter. Kedalaman Karang
Unarang sudah di atas garis air rendah, sehingga merupakan Low Tide Elevation.
Kalau puncak Karang Unarang sudah diatas garis air rendah maka ia sudah
berstatus sebagai objek pemilikan Indonesia (Art.47 pasal 4 Unclos).
4) Di
sebelah Timur Laut Karang Unarang pada jarak 9,5 mil (9' 42") terdapat Light Beacon (Milik ?)
diatas karang “Hand Klip” yang ditemukan oleh Belanda; Hand Klip tersebut juga
berada diatas suatu gosong yang kedalamannya juga sekitar 35 meter, dan bukan
Low Tide Elevation. Dalam Peta Inggris Hand Klip dirubah namanya menjadi
Hand Rock.
5) Antara
kedua karang Unarang dan Hand Klip yang masing-masing terletak pada
gosong yang kedalamannya sekitar 35 meter itu terdapat channel atau alur yang
kedalamannya ± 40 meter.
6) Secara
geomorfologis dasar laut karang Unarang merupakan perpanjangan dasar laut
pantai Timur Kalimantan, sedangkan Hand Klip merupakan
perpanjangan dasar laut pantai Sabah.
7) Karang
Unarang berada jauh dibawah Lintang 4º 10' (± 9,5 mil); Garis lintang 4º 10'
North itu merupakan garis perpanjangan batas daratan antara Malaysia dan
Indonesia di P. Sebatik.
Karang Unarang ini masuk dalam wilayah klaim Malaysia
juga. Secara empiris, ini dapat dibuktikan dengan merasa berhaknya mereka lalu
lalang di situ, bahkan dulu melakukan pengusiran terhadap pekerja kita yg
sedang membangun menara suar Karang Unarang.
Karang
Unarang yg berada beberapa mil laut timur P. Sebatik ini masuk dalam blok
Nunukan. Karang Unarang inilah yang kita jadikan sebagai titik pangkal untuk
mengukur batas teritorial sejauh 12 mil. Sampai batas teritorial 12 mil dari
Karang Unarang itu kita memiliki kedaulatan penuh.
Kedudukan
Karang Unarang sebagai titik pangkal ini tidak diakui Malaysia. Mereka berdalih
bahwa tidak wajar sebuah karang yg tidak terus menerus timbul di permukaan laut
dijadikan sebagai titik pangkal. Mereka memaksa kita untuk mundur ke titik
pangkal awal, yakni ujung pantai pulau terdekat (P. Sebatik). Malaysia dengan
demikian memasukkan Karang Unarang ke dalam wilayah klaimnya (peta kedua
terlampir, ditandai dengan garis merah). Karang Unarang terlalu jauh dari Sipadan/Ligitan,
jadi mungkin maksud Malaysia adalah bahwa Karang Unarang ini termasuk dalam
wilayah hak berdaulatnya.
Tidak boleh ada tumpang tindih dalam wilayah hak
berdaulat (sovereign rights) Bila Malaysia kita biarkan mengklaim wilayah itu
sebagai wilayah hak berdaulatnya, otomatis kita tidak memiliki hak apa-apa lagi
terhadap wilayah yang mereka klaim itu kecuali hak lintas saja. Padahal,
wilayah klaim mereka ini meliputi juga titik pangkal untuk batas teritorial
kita.
Awal persengketaan
a. Konsesi Oil Companies :
1) Malaysia menyerahkan kepada Perusahaan Jepang Teiseki pada tahun 1964 di kawasan Sabah daratan dan
lepas pantai.
2) Indonesia (Pertamina)
menyerahkan ke Total/Japex pada tahun 1966 di kawasan Kalimantan timur dan
kawasan lepas pantai dibawah latitude 4º09' 30"North, artinya 1/2 mil
dibawah garis lintang 4º 10' - garis batas kedua negara Belanda- Inggris yang
dicantumkan dalam peta-peta formal Inggris ONC-L11 (Director of Military
Survey, Minister of Defence, United Kingdom)
b. Persoalan
klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali
mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan
Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo.
b. Pada
tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia
dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia - Malaysia,
c. Kedua
negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang
masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan,
Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak
mengakui peta baru Malaysia tersebut.
d. Pada
tanggal 17 Maret 1970kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut
Indonesia dan Malaysia.
e. Pada tanggal
21 Desember tahun 1979 Malaysia menerbitkan
sebuah peta resmi mengenai Continental shelf boundaries of Malaysia, yang
dicetak oleh Direktorat Pemetaan Negara Malaysia, dan tidak dikirimkan secara
formal kepada Deplu RI. Peta baru tersebut mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang
secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok
maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10'
arah utara melewati Pulau Sebatik.
f. Pemerintah RI kemudian mengirimkan Nota Diplomatik Nomor
D.0118/80/29 tanggal 8 Februari 1980 yang memuat al : “Pemerintah Indonesia
telah mempelajari dengan cermat garis-garis batas yang ditunjukkan dalam
peta-peta dan mencatat dengan penyesalan yang dalam dan kekecewaan yang sangat
bahwa Pemerintah Malaysia telah menarik garis batas landas kontinen Malaysia di
laut Sulawesi, sebelah Timur dari Kalimantan Timur, dengan menggunakan
pulau-pulau Indonesia Sipadan dan Ligitan sebagai titik-titik pangkal”. Indonesia
memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian
Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan
Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya
sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk
melakukan ekspansi terhadap
wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat,
dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
ANALISA PEMBAHASAN
Upaya diplomasi perbatasan atau diplomacy
border yang paling urgen adalah perbatasan darat dan laut
Malaysia dengan Indonesia. Tingkat sensitifitasya cukup tinggi dan selalu
mengancam secara laten timbulnya ketegangan dan permusuhan hubungan kedua
negara wilayah perbatasan umumnya sangat rentan karena mengandung persoalan
keamanan, pertahanan, kejahatan lintas Negara. Termasuk kepentingan kedaulatan
dalam arti ekonomi dan politik kedua negara, merupakan sumber potensiel pemicu
konfrontasi fisik yang sangat berbahaya.
Kegerahan ancaman
militer antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia telah menyeruak dan menjadi
pemberitaan aktual media masa. Terutama karena kapal Malaysia telah berulang
kali melakukan pelanggaran teritorial di blok Ambalat. Sesunguhnya
keadaan memanas seperti itu bukan peristiwa kali pertama terjadi. Pada tahun
2007, keadaan genting ancaman perang timbul antara pemerintahan Indonesia
dengan Malaysia. Ketika itu, pemicu ketegangan adalah disebabkan oleh sikap
Tentara Laut Malaysia yang menghardik kapal-kapal nelayan Indonesia di
sekitar blok Ambalat.
Gelar kekuatan
militer, khususnya angkatan laut dan udara kedua Negara itupun tidak
dapat disembunyikan. Beberapa waktu lalu KRI Kapal Malaysia nyaris bentrok
dengan angkatan laut RI di Ambalat. Karena pihak Kapal Perang Tentara Laut
Diraja Malaysia, Fast
Attak Craft KD Baung- 3509, terang-terang melakukan provokasi.
Mereka juga dipandang melanggar peraturan kode etik diplomasi. Ketika Angatan
Laut RI memberikan peringatan melalui radiogram pada angkatan laut Malaysia
malah mereka menutup komunikasi dialogis. Suatu sikap pelecehan terhadap rasa
kurang memperlihatkan I’tikad baik sesama Negara bertetangga.
Keberanian
Tentara Laut Malaysia untuk melakukan sikap demikian ini tampaknya
berkesesuaian dengan fakta Negara-negara digdaya. Menurut William, E.
Scheurman, dalam bukunya Carl
Schmit and Hans Morgenthau (2007:72) bahwa praktek non-intervensi
terhadap kesepakatan internasional sangat penting untuk memperlihatkan hegemony
politik suatu kekuasaan Negara. Dan kekuatan tersebut dalam faktanya
memperlihatkan peran Amerika Serikat dalam kekuatan daya militernya yang dijadikan
landasan kebijakan dalam dan luar negerinya. Seberapa jauh, kerangka kebijakan
AS juga dipergunakan oleh negeri jiran Malaysia.
Kita disadari
secara langsung atau tidak, rendahnya anggaran biaya alokasi pertahanan dan
keamanan yang nasional, termasuk daya beli pemerintah Indonesia terhadap
alat-alat persenjataan memang diakui jauh kalah dibandingkan dengan Malaysia,
ditambah kondisi alusista pertahanan laut memprihatinkan. Sehingga tidak mengherankan
jika Tentara Laut Diraja Kerajaan Malaysia memiliki nyali keberanian mengingat
peralatan tempur mereka jauh lebih moderen. Sikap mereka meremehkan tersebut
boleh jadi berkaitan dengan absen kekuatan peralatan militer dan fasilitas
tempur Indonesia sebagai penyebab deligitimaasi kekuatan.
Karena itu,
pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan sikap tegas atas posisi blok Ambalat
dan harus berani mengusir dan memaksa kapal Diraja Malaysia keluar dari wilayah
Indonesia merupakan tindakan kedaulatan yang syah, dengan pertimbangan sebagai
beikut :
Pertama, blok Ambalat bukan wilayah
laut Malaysia didasarkan kepada fakta sejarah penguasaan wilayah oleh
pemerintahan kolonial Belanda. Penentuan batas wilayah, baik di darat maupun
laut harus didasarkan pada parameter adanya prinsip uti posidetis. Suatu prinsip dalam hukum
internasional, yang menegaskan wilayah Indonesia sejak pasaka kemerdekaan RI 17
Agustus 1945 adalah mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah
Indonesia dari Sabang sampai Meauke, dan dari pulau Miangas di ujung Sulawesi
Utara sampai Pulau Dana di bagian Selatan Rote NTT.
Sebagai Negara induk, pemerintahan
Belanda, telah meninggalkan seluruh wilayah Indonesia, dimana seluruh wilayah
jajahannya, termasuk blok Ambalat, yang posisinya persis beberapa mill di depan
Kalimantan Timur.
Fakta sejarah menujukan bahwa
sebagian Barat dari pula Kalimantan dulu merupakan jajahan pemerintahan
kolonial Inggris sebagai bukti petunjuk teritorial wilayah Malaysia.
Namun, persoalan dapat timbul ketika penentuan tapal batas (delimitation) dan
pemisahan (demarcation)
secara lebih tegas dan rinci. Sepertinya blok Ambalat berada dalam posisi
persoalan yang memerlukan metode diplomasi dan perundingan perbatasan. Mustahil
upaya tersebut dilakukan secara sepihak.
Kedua, klaim pemerintah Malaysia
atas blok Ambalat secara unilateral, didasarkan kepada UU yang dikeluarkan
sejak tahun 1979. Suatu klaim penetapan batas unilateral oleh pemerintah
Malaysia atas blok Ambalat tidak memiliki argumen hukum kuat. Sekiranya
argumentasi pemerintah Malaysia timbul atas hak Ambalat datangnya
kemudian, yaitu setelah Mahkamah Internasional pada tahun 2002,
memenangkan Malaysia atas kasus pulau Sipadan dan Ligitan. Maka, putusan
Mahkamah Internasional tersebut tidak dapat serta merta dapat dipergunakan
sebagai argumentasi hukum.
Pengaturan tentang penentuan suatu
wilayah berbatasan, baik di laut dan darat mewajibkan adanya suatu kesepakatan
Negara-negara tetangga. Penentuan batas termasuk blok Ambalat di wilayah
perairan Kalimantan Timur oleh Malaysia jelas tidak mendapakan pembenaran hukum.
Sebaliknya cara unilateral tersebut bertentangan dengan prinsip hubungan
internasional, khususnya melanggar prinsip tidak saling menghormati
kedaualatn ekseklusif suatu Negara.
Dalam United Convention on the Law of the Sea,
UNCLOS 1982, ditegaskan “penentuan batas wlayah laut suatu Negara harus
dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral yaitu dengan melibatkan
Negara Negara tetangga (neighboring
countries). Selama ini, penyelesaian sengketa laut yang telah
dilakukan oleh pengadilan nasioal dan pengadilan internasional (International
Court of Justice) telah begitu banyak jumlahnya.
Dalam Malcolm N. Shaw, International Law, 2004,
menyebutkan berbagai kasus yang diselesaikan secara internasional antara lain,
kasus Fisheries Jurisdiction,
1973, suatu sengketa melibatkan Norwegia melawan Inggris. Kasus Maritime delimitation in the Area between Greendland and
Jan Mayen (1992), kasus penentuan batas laut kontinental Continental Shelf 1985
melibatkan Libia dengan Malta. Atas sengketa batas laut internasional tersebut,
pada akhirnya Negara-negara mematuhi putusan-putusan, baik yang dibuat oleh
Mahkamah Internasional di Den Haag, maupun putusan arbitrase
internasional.
Ketiga,
sekiranya memang diakui sejak tahun 1970-an, pemerintah Indonesia dan
Malaysia telah terikat kontrak-kontrak eksplorasi dan eksploitasi, minyak dan
sumber daya alam lainnya, dengan pihak asing, seperti dengan perusahaan Total,
Unilocal, atau Petronas, dengan pihak investor asing Inggris atau Perancis,
seharusnya kedua Negara dapat menyelesaikannya secara damai, gentlement agreement.
Hubungan kedua Negara untuk memperoleh keuntungan bersama secara ekonomi
mengisyaratkan adanya perudingan.
RESOLUSI
a. Gelar kekuatan dan gelar persenjataan
merupakan langkah awal dalam mengamankan Wilayah Ambalat.
b. Membangunan fasilitas sarana dan
prasarana yang memungkinkan, misalnya mercusuar/menara pengawas sebagai sebagai
tanda kepemilikan wilayah NKRI sebagai Negara kepulauan.
b. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang cinta damai, sehingga masih
mengedepankan menempuh proses perundingan padahal posisi Indonesia di kawasan
Ambalat cukup kuat,
c. Sesuai konvensi hukum laut
internasional 1982 batas wilayah laut tidak bisa diklaim oleh satu pihak saja
namun harus melalui kesepakatan dengan pihak lain melalui proses perundingan. “Konvensi
hukum laut 1982 sangat jelas mengatakan perbatasan laut itu seperti juga darat
adalah satu produk dari perundingan, dengan kata lain kita tidak bisa
menetapkan batas laut kita secara sepihak. Kita juga tidak bisa menduduki
katakanlah secara militer dengan begitu bisa diakui oleh masyarakat
international, karena garis batas perairan kita harus merupakan hasil dari
perundingan,”
d. Bagi pemerintah Indonesia, sikap
pro-aktif untuk memberdayakan Tim Kerjasama perundingan lintas perbatasan
(transbaundary
cooperation) yang dipelopori oleh Departemen Luar Negeri perlu
untuk menjadi langkah strategis.
e. Kerjasama kultural menggunakan konsep
perdamaian demokratis (democratic
peace), yaitu mengusulkan agar kedua Negara berupaya mencegah
segala bentuk konfrontasi fisik dan mengutamakan dialog terbuka.
f. Namun, upaya pemerintah Indonesia
dalam diplomasi secara bilateral akan mudah dilecehkan Malaysia jika tidak
dilakukan perubahan meningkatkan pemberdayaan alat-alat tempur dan menujukan
kemampuan militer Indonesia dalam sistem pertahanan dan keamanan untuk membela
kedaulatan Negara, termasuk blok Ambalat yang bukan wilayah Malaysia.
g. Pada hari Senin tanggal 20 Oktober 2008 Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengizinkan perusahaan minyak dan gas asal Italia, PT ENI
E&P mengembangkan proyek migas di Ambalat, Bukat, dan sejumlah lahan di
sekitarnya. Izin penambangan migas tersebut diberikan lantaran pemerintah
merasa blok tersebut merupakan bagian wilayah kedaulatan NKRI.(Sumber : Persda
Network). Keberanian Presiden SBY memberikan ijin pengelolalaan Wilayah Blok
Ambalat selain untuk tentutan kebutuhan ekonomi menambah devisa Negara juga
merupakan langkah politis atas pengakuan wilayah Ambalat sebagai milik Negara
Kesatuan Republik Indobesia, perlu diacungi jempol, akan tetapi tentunya dengan
eksploitasi dan eksplorasi yang bertanggung terhadap masa depan Negara dan
Bangsa Indonesia.
Kesimpulan
a. Permasalahan Blok Ambalat terjadi karena merupakan wilayah
yang kaya akan sumber daya alam (minyak bumi)
sehingga Malaysia mengklain dan menganggap Blok Amabalat merupakan
wilayah ZEE Pulau Sipadan dan Lingkidan.
b. Berdasarkan sejarah blok Ambalat bukan wilayah laut Malaysia
didasarkan kepada fakta sejarah penguasaan wilayah oleh pemerintahan kolonial
Belanda. Penentuan batas wilayah, baik di darat maupun laut harus didasarkan
pada parameter adanya prinsip uti
posidetis.
c. Penyelesaian masalah Ambalat secara menjadi agenda secondary,
dalam artian bukan menjadi isu besarnya. Isu besarnya adalah penentuan garis
batas wilayah keadulatan negara.”
Saran.
a. Keseriusan Pemerintah
Republik Indonesia dalam mengamankan kedaulatannya perlu diriilkan dengan jalan
patroli diperaiaran laut Indonesia, membangunan sarana dan prasarana pada
pulau-pulau/wilayah perbatasan perbatasan serta kepedulian terhadap kehidupan
masyarakatnya.
b. Sebagai Negara Kepulauan
dan Negara Maritim, Isebagaian besar Wilayah ndonesia adalah perairan, sehingga
perlunya peningkatan alutsista (alat utama sistem pertahanan) khususnya bagi
Angkatal Laut dan Udara demi menjaga perairan dan udara wilayah Nusantara.
Dimana langkah awalnya adalah dengan menambah anggaran pertahanan.
c. Terbukti pada kasus Sipadan
dan Ligitan, sikap lunak yang kooperatif bukanlah solusi, tetapi hanya akan
menjadi sebuah malapetaka. Sikap yang benar adalah bersikap tegas, tetapi
dengan tetap membuka jalan diplomasi.