BOM HOTEL JW MARRIOTT |
Aksi terorisme
di Indonesia terus saja terjadi hingga saat ini. Korban jiwa dan material sudah
demikian besar dan nampaknya ini akan terus terjadi di masa yang akan datang.
Aksi-aksi terorisme di Indonesia yang paling menonjol adalah sebagai berikut:
1981
· Teroris menyamar sebagai penumpang dan membajak pesawat DC-9 Woyla
milik maskapai Garuda Indonesia pada 28 Maret 2081. Teroris bersenjata senapan
mesin, granat dan mengaku sebagai Komando Jihad.
2000
· Bom meledak di lantai parker P2
gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), pada 13 September 2000. Sebanyak 10 orang
tewas, 90 lainnya luka-luka dan 104 mobil rusak berat.
· Serangkaian ledakan pada malan Natal,
24 Desember 2000 di beberapa kota Indonesia. Sebanyak 16 orang tewas.
2001
· Bom meledak di Gereja Santa Anna dan
HKBP kawasan Kalimalang, Jakarta Timur pada 22 Juli 2001. Korban 5 orang tewas.
· Bom meledak di Plaza Atrium, Senen,
Jakarta pada 23 September 2001. Korban 6
orang luka-luka.
2002
· Dua ledakan bom terjadi di Paddy’s
Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Secara bersamaan bom juga meledak di Konsulat
Amerika Serikat. Aksi tersebut kemudian dikenal sebagai Bom Bali I yang
menewaskan 202 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Korban sebagian besar
warga negara asing.
2003
· Ledakan dahsyat mengguncang hotel JW
Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003. Sebanyak 11 orang tewas dan 152 lainnya luka-luka.
2004
· Ledakan bom yang disimpan di dalam
sebuah mobil box menghancurkan sebagian kantor Kedubes Australia di Jakarta
pada 9 September 2004. Korban 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
2005
· Bom meledak di pasar Tentena, Poso,
Sulawesi Tengah pada 28 Mei 2005. Aksi tersebut menewaskan sedikitnya 20 orang.
· Bom kembali meledak di Bali pada 5
Oktober 2005. Terjadi di kawasan Kuta dan Jimbaran yang mengakibatkan korban 22
orang tewas. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan Bom Bali II.
2009
· Dua ledakan bom mengguncang hotel JW
Marriott dan Ritz Carlton Jakarta pada 17 Juli 2009. Ledakan menewaskan 9 orang
dan melukai lebih dari 50 orang. Dikenal sebagai Bom Mega Kuningan 2009.
2010
· Terjadi sejumlah penembakan warga
sipil di Aceh. Jaringan teroris pimpinan Abu Tholud melakukan pelatihan militer
di pegunungan Janto Aceh Besar.
· Terjadi perampokan bank CIMB Niaga
Medan pada September 2010, pelaku adalah kelompok jaringan Medan.
2011
· Ledakan bom bunuh diri di Masjid
Mapolresta Cirebon pada 11 April 2011. Bom menewaskan M. Syarif pelaku bom
bunuh diri dan melukai 25 orang lainnya termasuk Kapolresta Cirebon.
· Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil
Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah menewaskan pelaku Ahmad Hayat dan melukai 22 orang lainnya.
2012
· Pelemparan granat dan penembakan terjadi di sejumlah pos polisi
pengamanan Lebaran di solo pada 17, 19 dan 30 September 2012. Korban 1 polisi
tewas dan dua polisi luka-luka. Pelaku teror adalah kelompok Farhan.
Pada 31 September 2012 malam
penyergapan dilakukan di Jalan Veteran menewaskan teroris Muchsin dan Farhan.
Dalam penyergapan itu satu anggota Densus 88 Polri tewas.
· Tiga anggota Brimob Polda Sulteng
ditembak kelompok bersenjata di kawasan Tambarana, Poso pada 20
Desember 2012. Sebelumnya pada Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan
tewas dibunuh di hutan Tamanjeka, Poso.
2013
· Polisi melakukan serangkaian
penangkapan teroris, mulai dari Jakarta, Depok, Bandung, Kendal dan Kebumen.
Kelompok yang berhasil dibongkar jaringannya adalah kelompok Thoriq, Farhan,
Hasmi, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat) serta sejumlah perampokan bank dan
toko emas di berbagai tempat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang
terkait juga kelompok Santoso (Mujahidin Indonesia Timur) di Poso. Sejumlah
teroris tewas dan berhasil ditahan.
· Polisi berhasil menembak mati 7 teroris dan menangkap13 teroris lainnya
dalam penyergapan di Jakarta, Bandung, Kendal dan Kebumen yang berlangsung
selama dua hari tanggal 8-9 Mei 2013.
· Polisi melakukan penyergapan yang
menewaskan 6 teroris kelompok Dayat di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada
31 Desember 2013.
A N A L I S I S
Berdasarkan data aksi terorisme di Indonesia,
setelah pasca reformasi mulai tahun 2000 aksi terorisme marak di Indonesia.
Hampir tiap tahun terjadi serangan teroris. Hal ini disebabkan karena pergantian
kekuasaan Orde Baru yang begitu keras menekan gerakan-gerakan radikal baik kiri
maupun kanan dengan kebijakan undang-undang suversibnya. Tindakan keras dan pencegahan
yang dilakukan terbukti efektif untuk menghentikan aksi terorisme, sehingga
pada Era Orde Baru hampir tidak ada kasus terorisme.
Tetapi setelah berganti Era Reformasi,
penguasa dan politik menjadi gila kebebasan yang dianggap sebagai zaman demokrasi.
Hiporia kebebasan ini akhirnya melemahkan kewaspadaan dan tindakan terhadap
gerakan radikalisme, bahkan dengan emosional dicabutnya undang-undang suversib.
Kebijakan emosional ini akhirnya mengakibatkan geraka-gerakan radikal,
khususnya kanan (Islam) yang selama Orde Lama tiarap beramai-ramai muncul di
permukaan dan berbiak seperti jamur di musim hujan. Mulai gerakan separatis di
Aceh (GAM) hingga terbentuknya laskar-laskar Islam yang merupakan organisasi
massa Islam radikal. Kebangkitan gerakan Islam radikal ini pastinya
menghidupkan ideology lama mereka yang telah terpendam dengan satu tujuan
tegaknya syari’at Islam dalam bentuk Negara Islam Indonesia. Peristiwa inilah
yang kemudian menjadikan Indonesia menjadi hujan bom oleh aksi-aksi teroris gerakan
Islam radikal (politik Islam).
Bila disimak, aksi teroris dari awal tahun
2000 sampai 1999 yang dijadikan target adalah sasaran presentasi asing; hotel
asing, pub / café, Keduataan Besar,
Konsulat Jendral, bank dan tempat pariwisata yang banyak dihuni orang asing
khususnya warga Amerika dan sekutunya. Hal ini dikarenakan fatwa dari Osama bin
Laden pimpinan Al Qaeda yang menyerukan untuk menyerang, membunuh warga Amerika
/ sekutu baik sipil maupun militer dimanapun berada. Fatwa itu muncul karena perkembangan
situasi global di Timur Tengah yang dianggapnya sebagai tindakan
anti-kemanusiaan Amerika terhadap warga negara Islam di Jazera Arab.
Tetapi pada tahun 2010 hingga kini, orientasi
target mereka berubah. Yaitu sasaran mengarah pada aparat pemerintah (polisi)
dan issue kristenisasi atau agama tertentu (Budha). Pergeseran target ini disebabkan
karena perkembangan situasi Lokal (dalam negeri). Polisi dijadikan sasaran
karena dianggap thogut karena bagian dari pemerintah yang bukan berdasarkan
hukum Allah, tetapi berdasarkan hukum buatan manusia. Polisi juga dianggap
sebagai penghalang bagi gerakan dan aksinya untuk mencapai tujuan. Selain itu alasan
lain bahwa polisi telah banyak berbuat dzolim kepada ikhwan-ihwan mereka dengan
menangkap, menyiksa, dan menembak mati. Sehingga aksi penyerangan terhadap
polisi dianggapnya sebagai aksi balas dendam.
Issue kristenisasi sudah lama ada, tetapi
benturan yang paling besar adalah pada konflik di Poso, Ambon dan Maluku Utara.
Aksi terorisme terhadap target Nasrani karena dianggap sebagai balasan terhadap
kesadisan dan pembantaian umat Muslim di daerah konflik tersebut oleh kelompok
Nasrani. Penyebab lain karena adanya issue “Laskar Kristus” yang dianggap
mereka sebagai pasukan tandingan yang sengaja diciptakan Gereja untuk melawan
Laskar Islam. Padahal Laskar Kristus hanyalah bahasa dakwah untuk memerangi
hawa nafsu.
Target komunitas Budha belakangan ini terkai
dengan pembantaian umat Muslim Rohiyang di Myanmar. Serangan terhadap vihara
merupan aksi balas dendam dan simpati terhada saudara-saudara Muslim.
Mulai 2010, setelah Noordin M. Top ditembak
mati di Solo, banyak bermunculan kelompok-kelompok teroris baru sebagai
regenerasi dari jaringan Noordi M. Top. Kelompok Noordin M. Top terpecah dalam
kelompok kecil-kecil dengan jumlah anggota yang tidak banyak. Kelompok yang
lebih kecil akan lebih sulit diakses oleh aparat. Tetapi kelemahannya kelompok
baru ini anggotanya masih pemula sehingga dapat dikatakan premature kurang
pengalaman dibandingkan senior-senior mereka pada jaringan lama. Anggota
kelompok baru hanya mendapatkan pelatihan lokal dengan seadanya dan waktu yang
singkat karena tekanan aparat dan minimnya dana. Sedangkan jaringan lama
mendapatkan pelatihan memadai di berbagai tempat latihan paramiliter baik di
Afganistan dan Moro, Filipina dengan pratek tempur, perlengkapan persenjataan
dan pendidikan yang memadai.
Oleh karena itu diharapkan pemerintah dalam hal ini BNPT terus berupaya dan aktif untuk mengembangkan penanggulangan dengan mengedepankan pencegahan (prefentive) sehingga aksi-aksi teroris tahunan dapat dihentikan. Program-program seperti deradikalisasi dan disengagement harus diaplikasikan hingga pada tataran bawah di daerah untuk menekan pengembangan ideology dan aksi terorisme.
Oleh karena itu diharapkan pemerintah dalam hal ini BNPT terus berupaya dan aktif untuk mengembangkan penanggulangan dengan mengedepankan pencegahan (prefentive) sehingga aksi-aksi teroris tahunan dapat dihentikan. Program-program seperti deradikalisasi dan disengagement harus diaplikasikan hingga pada tataran bawah di daerah untuk menekan pengembangan ideology dan aksi terorisme.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar