WARTA KOTA, PALMERAH - Siapa yang pernah membayangkan, Pulau Bali menjadi sasaran aksi terorisme pada 2002. Bahkan, peristiwa yang kemudian dikenal sebagai tragedi Bom Bali itu tidak hanya terjadi sekali, tetapi berulang pada 2005. Beberapa peledakan bom secara simultan terus terjadi di beberapa daerah, termasuk Jakarta.
Indonesia setelah Orde Baru menjadi salah satu target serangan gerakan terorisme yang memiliki jaringan internasional. Masuknya Indonesia dalam internasionalisasi jihad diungkapkan oleh As’ad Said Ali dalam bukunya yang berjudul Al Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (LP3ES, 2014).
Secara komprehensif dan mendalam mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan penerima doktor honoris causa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini mengungkap seluk-beluk Al Qaeda. Nama Al Qaeda memang menjadi begitu terkenal sebagai organisasi gerakan terorisme sejak terjadinya peristiwa penyerangan gedung World Trade Center di New York atau dikenal sebagai peristiwa 9/11 pada 2001, setahun sebelum bom bunuh diri di Bali.
As’ad yang saat ini juga sebagai Wakil Ketua Umum PBNU menyajikan gagasannya secara sistematis. Buku ini diawali dengan pembahasan aspek ideologi yang mendasari internasionalisasi jihad dalam perang Afganistan. Kemudian, buku ini mengupas proses terbentuknya Al Qaeda dan segala sepak terjangnya secara sosial-politik, juga keterkaitan Al Qaeda dengan Jamaah Islamiyah.
As’ad juga memaparkan bagaimana Al Qaeda memperluas jaringan dan pengaruh di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Apakah setelah Osama bin Laden tewas terbunuh, Al Qaeda akan sirna? As’ad berpandangan bahwa Al Qaeda akan terus eksis karena kekuatan ideologi politik yang dimilikinya.
Jejaring baru
Masuknya Indonesia dalam wilayah operasi gerakan terorisme internasional bukan hanya dibahas dalam buku Al Qaeda. Tiga buku lain yang memilih topik bahasan yang sama ialah Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia (DBJTDI) karya H Ansyaad Mbai (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2013), Jaringan Baru Teroris Solo (JBTS) yang ditulis Fajar Purwawidada (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), dan Temanku, Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda karya Noor Huda Ismail (Penerbit Hikmah, 2010).
Meskipun buku-buku tersebut mengangkat topik tentang gerakan terorisme di Indonesia, masing-masing memiliki fokus dan sudut pandang yang berbeda. Buku DBJTDI menyelisik fakta dan data adanya dinamika baru dalam aksi-aksi teror dari 2010 hingga sekarang. Terjadi metamorfosis gerakan terorisme di Indonesia, yaitu munculnya kelompok-kelompok kecil atau sel jihad, yang anggotanya terdiri dari beberapa orang saja.
Buku JBTS mengurai jaringan teroris Solo yang menurut kajian Fajar Purwawidada merupakan jaringan terbesar, bahkan memiliki hubungan dengan hampir seluruh kelompok dan aksi teror di Indonesia. Lebih dari itu, buku ini juga mendeskripsikan regenerasi dalam organisasi. Muncul kelompok-kelompok baru meskipun pemerintah berusaha mencegah terjadinya pembiakan tersebut.
Berbeda dengan tiga buku lain yang bersifat deskriptif-analitis, buku Temanku, Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda memilih gaya bertutur atau naratif. Noor Huda Ismail yang pernah berprofesi sebagai jurnalis bercerita tentang luka batin yang dialami para korban aksi teror Bom Bali, selain juga pergulatan batin yang dialami Fadlullah Hasan, teman sesama santri di Pondok Pesantren Ngruki yang dituduh terlibat gerakan terorisme. (YKR/LITBANG KOMPAS).
DATA BUKU:
1. Al Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya
2. Jaringan Baru Teroris Solo
3. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia
4. Temanku, Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda.
Copy Warta Kota Jumat, 20 Februari 2015 14:49 WIB.