|
BALIHO CALEG |
Sebentar lagi Indonesia
akan melaksanakan pesta demokrasi
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Partai-partai telah mempersiapkan diri
untuk pemenangan diri. Begitu juga para Caleg (Calon Legislatif). Hingar-bingar
politik sudah mulai memanas, manuver
terus dilakukan. Segala cara dan strategi dikerahkan. Jalan-jalan dan
persimpangan jalan telah penuh dengan baliho, poster-poster gambar calon yang
entah berantah siapa itu, yang sesungguhnya tidak pernah dikenal sebelumnya. Sampah
visual itu telah merubah wajah kota menjadi kumuh. Apa ini cara yang memang
harus ditempuh dan efektif untuk berkampanye?
Kita mencintai negeri
ini dan berharap NKRI yang besar ini dikelola oleh aktor-aktor yang profesional
dan memahami benar permasalahan bangsa. Bukan ditentukan oleh kebijakan
anak-anak ingusan dan amatiran. Hak untuk memilih dan dipilih adalah hak setiap
warga negara dan dilindungi oleh konstitusi. Tidak ada salahnya siapapun dan
dari latar belakang apapun mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif dan pemimpin bangsa ini.
Tetapi sayangnya saat
ini sudah sedikit orang yang bisa tau diri, bisa mengukur diri dan punya rasa malu.
Mereka berebut mendaftarkan diri sebagai Caleg tanpa mampu mengukur kemampuan
dan kelayakan diri. Dianggapnya Pemilu sebagai bahan coba-coba dan lelucon
saja. Tidak memiliki misi dan visi yang jelas dan terukur. Baleho dan poster
yang dipasang justru hanya memamerkan kegantengan dan kecantikan saja, tidak mengedepankan
penjelasan misi dan visi mereka sebagai Caleg.
Kampanye yang dilakukan
hanya berupa pembodohan demokrasi bagi masyarakat. Mereka melakukan kampanye
hanya mengandalkan kekuatan finansial. Tidak menunjukkan kecerdasan dan kemampuan
akademis, kompetensi dan integritas. Lihat saja Celeg yang kampanyenya membagi
1000 pakaian dalem wanita, membagi kalender, sembako, stiker, kaos, uang dll.
Hanya sebatas itu yang dilakukan, tidak ada pencerahan pembelajaran berpolitik
bagi masyarakat. Perbuatan mereka sesungguhnya merupakan bentuk pelecehan
berpolitik, dengan menukarkan satu suara hanya dengan sepasang celana dalam
wanita atau selembar uang Rp. 50.000,-.
Ada suatu kampung
Caleg. Kenapa disebut kampung Caleg? Ternyata di kampung itu ada sekitar 52
warga yang ikut sebagai Caleg. Setiap sudut kampung berjubel baleho dan poster
mereka. Siapa sebenarnya mereka? Sebagian besar adalah baru lulus kuliah dan
belum mendapatkan pekerjaan, sebagian kecil lagi para pensiunan. Jadi bagi
mereka Caleg dan Pemilu hanyalah sebagai ajang untuk mencari pekerjaan. Tetapi
bagi yang sudah banyak harta, Caleg hanyalah untuk mencari popularitas,
kesenangan dan kekuasaan.
Persaingan yang begitu
kuat, apalagi dengan sistem terbuka ini membuat Caleg frustasi. Mereka mulai
kehabisan akal untuk menggaet suara. Akhirnya keluarlah ide yang aneh-aneh
(nyleneh). Lihatlah poster Caleg dengan kostum Supermen, pemain bola, bergambar
Obama atau bagi yang tidak punya modal membentuk kelompok Caleg Miskin :-D
(maaf saya geli sendiri)…. Bahkan saking frustasinya sampai di baleho malah
diberi tulisan “Jangan Dipilih Calon Dibawah ini” :-D.
Mereka hanya beranggapan Pemilu sebagai lelucon belaka. Lihat banyak dari
mereka apabila diwawancarai alasannya hanya coba-coba dan baru belajar politik.
Slogan-slogan untuk
memajukan, mensejahterakan dan mewakili rakyat hanyalah kamuflase saja. Menjual
atas nama rakyat yang sesungguhnya hanya untuk kepentingan kesejahteraan diri
sendiri atau ambisi kekuasaan pribadi. Biaya ratusan juta, miliaran rupiah dipertaruhkan
untuk mencapai ambisinya di Pemilu untuk mengemis suara. Bagi Caleg yang
berhasil akan tombok, apalagi yang kalah bisa stress berat dan gila karena
banyak menanggung hutang.
Mereka setelah jadi
hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uangnya kembali seperti prinsip dagang
sapi. Bukan mewakili rakyat tetapi sesungguhnya hanya mewakili kepentingan
Partai Politik pengusungnya, karena balas jasa mereka dan kesediaannya dijadikan
sapi perahan Partainya.
Padahal apa mereka berfikir
sebelumnya bahwa menjadi anggota Legislatif itu sangat barat tugas dan
fungsinya. Beban nasib ribuan dan juataan rakyat ada di pundaknya. Fungsi
Legislatif sebagai Legislator (pembuat undang-undang), Bugeting (penganggaran)
dan Pengawasan. Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan oleh orang-orang professional,
berpengalaman dan paham benar bidang kerja mereka. Dibutuhkan orang-orang yang
memiliki kapabilitas, integritas, intelektual dan bijaksana. Bagaimana jadinya kalau seorang Legislator
menjalankan pekerjaannya kalau selama hidupnya tidak pernah membaca satu pasal
pun perundang-undangan? Caleg memiliki misi mewakili suara masyarakat di
parlemen tentu dengan ilmu. Mereka dari latar belakang yang entah berantah;
artis, pengusaha dll. banyak yang berdalih baru belajar berpolitik ketika
menjadi Caleg. Rendahnya mutu anggota Legislatif berakibat buruk bagi kinerja
mereka. Tidak heran tugas dan fungsi mereka terbengkalai karena sebenarnya mereka
tidak tau dan paham apa yang harus mereka buat selama menjadi anggota Legislatif.
Rancangan undang-undang menumpuk dan jauh dari target. Kalaupun jadi produknya
amburadul yang justru membuat kacau pelaksanaannya. Banyaknya anggota mangkir
dalam rapat dan rendahnya absensi kehadiran. Atau yang lebih parah lagi justru
perilaku mereka tidak menunjukkan sikap dewan yang terhormat; tidur saat
sidang, terlibat kasus kriminal, narkoba, perselingkuhan, perceraian dan
korupsi. Kurangnya ilmu pengetahuan dan akademis hanya menghasilkan debat-debat
kusir, saling ngotot dan tindakan arogansi, kebrutalan dan kekerasan dalam
rapat parlemen. Lebih parah lagi mereka lebih suka memikirkan dan membahas
kenaikan gaji, fasilitas dan tunjangan yang akan didapat.
Korupsi adalah perilaku
yang buruk yang paling sering dilakukan. Ada dua analisis kenapa mereka setelah
terpilih menjadi anggota Legislatif terlibat korupsi; pertama: karena mereka cerdas dan pintar dengan memanfaatkan celah
aturan, kebijakan dan hukum. Kedua,
karena bodoh. Kelompok ke dua ini kebanyakan dilakukan oleh mereka
anggota-anggota amatir yang sebenarnya tidak tau apa-apa soal penganggaran. Bisanya hanya ikut-ikutan yang lain, akhirnya
dimanfaatkan dan terjebak dalam kasus korupsi. Politik dan korusi bagai pusaran
yang akan menarik orang-orang sekitarnya, khususnya orang-orang yang lugu,
polos dan dungu. Mereka tidak tau dan sadar pelan tapi pasti masuk dalam
pusaran. Caleg baru biasanya akan idealis dan sok bersih, tetapi setelah
menjabat mereka tidak sadar masuk pusaran korupsi itu. Mereka baru sadar
setelah semua terlambat dan berakir di penjara.
Begitulah sebenarnya akhir
nasib para Caleg; pertama, apabila
kalah maka dia berakhir di rumah sakit jiwa karena stress menanggung banyak hutang. Kedua, apabila jadi mereka dijadikan sapi perahan Partai dan
berakhir di bui / penjara.
Maka tidak heran apabila
Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada
ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat
daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan
daerah terlibat korupsi. Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian mencatat ada
277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Di tingkat
provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431
yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total
16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Oleh karena itu Mahfud MD.
menyebut negara Indonesia saat ini dalam keadaan Bahaya. Bagaiman negara Indonesia
tidak akan ambruk apabila hampir seluruh pejabat-pejabatnya korupsi. Bagaimana
nasib rakyat kita…
Pembodohan politik dan
negara yang dipimpin oleh anak-anak ingusan dan amatiran akan membawa negara
ini kearah yang tidak jelas, bahkan mungkin saja justru menjerumuskan dalam
kehancuran. Itu karena Caleg-Caleg yang tidak tau diri, tidak bisa mengukur
diri dan tidak punya rasa malu. Masyarakat hanya disuguhkan oleh calon-calon
yang memang tidak ada yang lain dapat dipilih. Masyarakat terpaksa memilih
kucing dalam karung, yang sejatinya itu sangat menentukan nasibnya sendiri dan
bangsanya. Kisah 1000 pakaian dalam wanita dan uang Rp. 50.000,- akan menjadi
sejarah perpolitikan di negeri ini. Akankah hanya sebatas itu nilai demokrasi
kita.
Kondisi rendahnya
kwalitas Caleg diperparah dengan amburadulnya sistem Pemilu kita. Indonesia
sudah berkali-kali menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955. Sistem
berganti-ganti tanpa henti. Lihat uji materi Undang-Undang No 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di MK (Mahkamah Konstitusi)
baru-baru ini. Uji materi Pemilu itu menunjukkan masih adanya keresahan dalam
pelaksanaannya.
Bicara Pemilu berarti berbicara
masalah demokrasi. Demokrasi jangan hanya berpandangan identik dengan Pemilu
dan Pilkada saja. Sesungguhnya bicara demokrasi tidak terlepas adanya popular control yaitu kontrol masyarakat
terhadap setiap kebijakan dan pekerjaan pemerintah. Karena relevansi dari demokrasi
adalah terwujudnya welfare /
kesejahteraan. Dalam negara berdemokrasi rakyat harus memiliki akses untuk
dapat mengontrol terhadap resource
dan kesanggupan pemerintah negara untuk dapat memenuhi public goods yang merupakan nilai-nilai dasar kebutuhan citizenship / warga negara. Karena
memang tujuan dibentuknya suatu negara adalah untuk menjamin ketersediaan resource dan welfare bagi warga negaranya. Demokrasi bukan merupakan goal, tetapi hanya merupakan alat untuk
mencapai tujuan. Pemilu dan Pilkada dengan sistem one man one vote tidaklah dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan
demokrasi di Indonesia. Apalagi dengan pelaksanaannya yang penuh dengan
kecurangan dan politik uang. Sistem one
man one vote juga tidak dapat dikatakan sebagai sikap yang demokrasi karena
bagaimana mayoritarian dapat menguasai minoritas, dan tidak adanya tempat dan
terwakili bagi minoritas. Sistem ini sungguh tidak sesuai dengan demokrasi
ideologi Pancasila yang bercirikan kolektif dalam musyawarah mufakat. Sehingga
apabila selama ini pemerintah telah berulang kali menyatakan keberhasilan
pelaksanaan demokrasi melalui Pemilu dan Pilkada sebenarnya merupakan
pengerdilan terhadap demokrasi itu sendiri.
Demokrasi berupa proseduralis dan substantif, tetapi dalam kenyataannya sistem demokrasi di Indonesia
baru bersifat proseduralis. Sedangkan
substantifnya masih jauh dari yang
diharapkan. Di dalam demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, adanya
informasi yang menyangkut kebijakan yang dijalankan pemerintah merupakan hal
yang sangat penting. Dari Informasi maka memungkinkan adanya popular control atau ikut sertanya
rakyat dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Popular control itulah sebenarnya hakekat demokrasi yang
sesungguhnya.
Saat ini
pemerintah hanya mengejar predikat “Negara Paling Demokratis se-Dunia”.
Penilaian itu dianggapnya sebagai prestasi yang gemilang di dunia. Tapi
sesungguhnya Pemilu yang diselenggarakan masih hanya sebatas procedural, seperti disebutkan di atas. Apakah hasilnya
benar-benar demokratis? Dengan memaksakan sistem Pemilu saat ini (Nasional dan
Daerah) banyak hal yang menjadi kosekwensi. Misalnya masalah dana; dana untuk
pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya
pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata biaya per
Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per Pemilihan
Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara untuk pilkada di
Indonesia minimal Rp. 30 Triliun.
Berdasarkan
data hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten
administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi.
Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 Pilkada, atau minimal
rata-rata 44 Pilkada per tahun, atau sekiar 1 Pilkada per Minggu.
Ini merupakan data yang luar biasa.
Betapa mahal dan lelahnya demokrasi di Indonesia. Masyarakat sesungguhnya lelah
politik akibat prosedural demokrasi yang diterapkan. Energi masyarakat dan
negara habis tersita hanya untuk mengejar predikat negara paling demokratis se-dunia.
Lebih mengecewakan lagi Pemilu itu hanya menghasilkan pejabat-pejabat aktor korupsi
yang justru menderitakan rakyat. Belum lagi dampak konflik horizontal yang
diakibatkan Pemilu di berbagai daerah. Kerugian jiwa dan harta begitu besar. Aparat
pun lelah terkuras energinya hanya untuk menanggulangi bentrokan dan
demonstrasi yang tiada habisnya. Apakah demokrasi ini yang kita harapkan. Pasti
ada yang salah dengan demokrasi dan sistem Pemilu kita.
Sebagai penutup sebentar lagi Pemilu
2014 dilaksanakan, masyarakat hendaknya cerdas dalam memilih Calon-Calon
Legislatifnya. Pilih yang memiliki kapabilitas, integritas, intelektual dan
moral yang baik. Jangan tukar nasib rakyat dan bangsa ini hanya dengan sepasang
pakaian dalam wanita atau selembar Rp. 50.000,-. Jangan biarkan bangsa
Indonesia yang kita cintai ini hancur akibat dipimpin oleh orang-orang ingusan
dan amatiran itu.
REKOMENDASI
Dari keresahan tersebut diatas maka
rekomendasi yang dapat diberikan:
1. Untuk para Caleg agar bisa tau diri,
mengukur kemampuan diri dan punya rasa malu. Menjadi seorang anggota Legislatif
tidak main-main, karena disitulah kebijakan yang menentukan nasib ribuan dan
jutaan rakyat Indonesia
2. Buat persyaratan yang jauh lebih
ketat terhadap pendaftaran Caleg dari segi kapabilitas, integritas, akademik
dan moral.
3. Buat aturan kampanye yang lebih
cerdas dan tindakan sanksi yang tegas bagi yang melanggar
4. Beri pembelajaran politik bagi
masyarakat melalui pembinaan, penyuluhan dan peran serta.
5. Perlu dikaji lagi efektivitas sistem
Pemilu, khususnya untuk Pemilukada.
6. Pembatasan jumlah Partai Politik
peserta Pemilu melalui persyaratan yang lebih ketat. Ideal 2-5 Partai saja
peserta pemilu.
(Fajar Purwawidada,
MH., M.Sc.)